Kalau kita menengok sejenak diskursus sastra yang ada di Indonesia, kelihatannya kita masih sulit menjumpai karya sastra yang menghamparkan keberadaan sains. Dugaan sementara, sains masih lamban bergerak pada cerita fiksi, novel, hingga puisi. Walakin, kita tidak boleh lupa—sejarah itu pernah ada, meski hanya sedikit. Beberapa novel gubahan Dewi Lestari tentu menjadi salah satu representasi di zaman ini.
Hamzah Muhammad dengan karyanya, Teori Penciptaan Waktu & 37 Puisi Lainnya (2023) ingin mengisi kekosongan peran dalam gubahan puisi terkait dengan sains. Sebelum Hamzah, kita mengenal sosok keberadaan penulis muda, Abinaya Ghina Jamela. Melalui kumpulan puisinya berjudul Resep Membuat Jagat Raya (2017), ia dibilang berhasil mengisahkan beberapa peristiwa sains dalam bait-bait puisi.
Salah satu judul puisi Abinaya “Resep Membuat Jagat Raya”, yang dibuat pada 2016 terbaca: Ambil sebutir proton/ yang sangat kecil/ lebih kecil dari pasir/ lalu lempar ke tempat jauh/ dan meledak lebih hebat/ dari letusan gunung merapi/ muncul jagat raya kosong/ seakan rumah ditinggal penghuni/ 3 menit kemudian bumi/ dan matahari dan planet-planet/ dan meteor bermunculan//.
Kita diajak seorang bocah berkisah mengenai sejarah pembentukan alam semesta. Konsep yang secara matematis menempatkan sosok fisikawan Stephen Hawking dengan tinggalan teori yang masih misterius berupa “M-Theory”. Jika Naya memberikan pengisahan mengenai ruang, Hamzah justru cenderung memberikan sajian akan tilikannya terhadap waktu. Kendati demikian, dalam konsep ilmu fisika, kedua hal tersebut saling berkait.
Di puisi berjudul “ledakan besar (1)” terbaca: sebelum ada semua,/ tidak pernah ada/ apa pun// aku terkecuali// seberkas cahaya/ meruang dingin// dengan jentikan,/ membusalah/ awan//. Puisi tersebut kita maknai cara Hamzah ingin mengajak kita untuk menyoal “Big Bang”. Kita membaca puisi berjudul “konotasi”: bayangkan jarum/ jam berjalan terbalik// atau melambat/ detaknya// bayangkan kau/ semata-mata/ puisi//. Puisi mulai mempersoalkan keberadaan waktu.
Hamzah memberikan dan membuktikan janji akan keterhubungan bahasa terhadap sains. Ia, sekaligus membuktikan atas apa yang pernah dituliskan oleh Nirwan Ahmad Arsuka dalam esainya, Puisi dan Pengetahuan (2020). Nirwan menulis, puisi, atau sastra, bisa membuktikan diri mampu mengatakan kekuatan dan pesona ilmu pengetahuan dengan cara yang bahkan para ilmuwan sendiri pun tak sanggup melakukan.
Pada konteks ini, tentunya Hamzah memberi andil pada persebaran sains yang justru di kalangan akademisi, saintis, dan pegiat sains masih kewalahan. Pada hamparan diskursus akademis, sains justru malah laris bergerak di artikel ilmiah dengan keketatannya pada jenama jurnal bereputasi internasional. Hamzah bisa sedikit jumawa, bahwa ia tak perlu menjadi seorang dosen ilmu fisika, namun puisinya bisa menjelaskan sekian teori fisika.
Keterangan tersebut senada dengan apa yang pernah diungkapkan oleh pengajar komunikasi sains di Edinburg Napier University, Sam Illingworth (2022). Menurutnya, puisi juga menjadi alat yang efektif di ujung lain spektrum komunikasi sains. Penyebaran yang baik dapat menjadi vital, menyediakan informasi yang dapat diandalkan maupun digunakan untuk menentang kebohongan.
Diskursus Lanjut
Puisi dan sains memungkinkan kesamaan berupa metafora, meski dalam lanskap sains ada batasan-batasan. Yang lebih mendasar, justru kalau kita mengacu pada sejarah perkembangan—sains lahir dari sebuah puisi. Itu dapat kita ketahui bagaimana para filosof menyandarkan bentang alam semesta sebagai pusat (kosmosentris). Di sana mereka mengajukan pertanyaan demi pertanyaan untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.
Kata demi kata termunculkan yang membentu sebuah bahasa keilmuan. Di sinilah letak upaya pemilahan kata dalam mengemukakan makna. Di buku, Hamzah memuat sekian lema yang tak lazim digunakan di keseharian. Keberadaan puisi-puisinya setidaknya mengharuskan pembaca untuk pamrih membuka kamus-kamus yang merujuk pada keilmuan— kamus fisika maupun kamus sains hingga ensiklopedia.
Kita bisa menyebutkan beberapa lema yang ditulis dalam buku: lubang hitam, apolo, aksioma, frekuensi, atmosfer, genesis, evolusi, anatomi, quark, dawai, molekul, anatomi, avontur, singularitas, hidrogen, hingga sintesis. Puisi demi puisi bisa membuat kerepotan para pembaca dalam menafsirkan. Bait demi bait akhirnya adalah pertaruhan pembaca terhadap teks, yang kemudian melahirkan sebuah tanya: apakah puisi sains hanya cukup mengandalkan pilihan kata yang indah dan memukau?
Pertanyaan tersebut membawa kita perlu menyangsikan dengan betul. Jika hanya menekankan pada metafora dan keindahan pilihan kata, ini berbahaya. Hal tersebut dapat berdampak pada adanya miskonsepsi yang berlaku dalam logika sains itu sendiri. Itu tak lepas bagaimana kait kelindan antara fiksi dengan sains. Fiksi, dengan imajinasinya memang memberi kemungkinan yang terjadi pada sains. Akan tetapi, yang tidak dapat ditampik adalah fiksi berkemungkinan pula menyalahi khazanah sains.
Oleh sebab itu, saya menaruh keyakinan bentuk sastra—baik itu puisi, cerpen, maupun novel yang hendak menyusun konsep pengetahuan ilmiah, menyaratkan metode yang ketat. Baik riset, agihan data, latar sosial dan budaya, hingga tautan sejarah dari tiap keilmuan. Ini yang memberikan arti bagaimana keberadaan sastra memiliki kesahihan yang berarti dalam upaya menyesuaikan terhadap perkembangan ilmu.
Salah seorang astronom perempuan Indonesia, Premana W. Premadi menulis esai berjudul “Keindahan, Seni, dan Sains” (Kompas, 31/12/2020). Ia dengan fasih memberikan uraian bagaimana sains dalam perkembangannya membutuhkan keindahan. Tulisnya, “Dalam dunia modern, semakin jelas bagaimana sains dan estetika saling memengaruhi manusia dalam upaya manusia memahami kerja alam dan mendeskripsikannya, yang acapkali dimulai dari ranah imajinasi yang diinspirasi oleh gagasan indah.” Kita tahu, keindahan itu salah satunya terletak pada puisi.[]
Baca Juga
https://alif.id/read/joko-priyono/hamzah-muhammad-puisi-dan-sains-b248849p/