Yang Bermakna dalam Jenaka

Rumor tentang humor yang tersebar itu benar adanya. Humor memang seakan sebuah kanta atau sebuah pisau bermata dua. Humor nampak layaknya sebuah kanta manakala ia diamati sebagai manifestasi diri penghumor itu. Menyimak humor yang terlontar keluar dari diri penghumor, penyimak dapat mengukur sejauh mana kecerdasan seseorang, mengukur seberapa besar keseriusan seseorang dalam membungkus pesan dengan kelucuan logika yang berantakan dan diksi serta polah tingkah yang tak tertaksir. Sedangkan layaknya sebuah pisau bermata dua, humor bisa menegangkan hubungan yang kendur pun bisa mengendurkan hubungan yang tegang, bisa meretakkan hubungan yang rekat pun bisa merekatkan hubungan yang retak.

Melalui puing kliping-kliping yang dihimpun dan dibangun ulang oleh M. Quraish Shihab sebagai sebuah buku berjudul Yang Ringan Jenaka ini, pembaca dapat membuktikan sendiri rumor tentang humor maupun dapat menyimak rumor-rumor yang terkandung dalam humor. Rumor bahwa humor dapat menegangkan hubungan yang kendur pun merekatkan yang retak dapat pembaca simak dalam judul gadis masa kini dan masa lalu. Hikayat itu secara singkat menceritakan pergeseran peradaban dalam memandang perempuan.

Perempuan masa lalu dikisahkan layaknya konco wingking yang terkurung dan asing dari berbagai akses–tidak diperbolehkan keluar rumah dan sekadar menanti hari sampai ketika datang seorang suami mengajaknya berumah tangga. Waktu bergulir dan peradaban lama lingsir, perempuan memberontak terhadap sekat yang mengurung dirinya. Namun gerakan perempuan itu mendapat berbagai respon keraguan. Dr. Robert Thomson, seorang pakar sosiolog Inggris misalnya menyatakan, “Gadis masa kini gagal menjaga dirinya. Penggembala yang mahir pun masih meminta bantuan anjing yang terpercaya untuk menjaga kambing-kambingnya dari serigala.

Sungguh satu keluguan bila kita menjaga kambing kita, tetapi tidak menjaga gadis-gadis kita”. Jawaban gamang seorang sosiolog itu direspon jinawab melalui perumpamaan cerdas, guna menghindari banyaknya tabrakan mobil dewasa ini, bukanlah dengan kembali mengendarai unta-unta di jalan raya! “Kita harus mengajarnya tetang perbedaan antara kebebasan dan lepas kendali, dan antara cara-cara serigala serta manuver unta dan domba. Adapun menetapkan penjaga buat para gadis dewasa ini, maka itu adalah upaya lugu yang sia-sia karena dewasa ini mendidik serigala lebih mudah daripada mengurung domba-domba (halaman 22-23).

Membaca kumpulan humor yang jenaka dalam buku ini selain dapat membuktikan rumor tentang humor, pembaca dapat membuktikan kebenaran rumor dalam beberapa humor. Rumor bahwa ada jenis umat Islam yang senang geguyonan dan justru disukai Baginda Kanjeng Nabi. Pembaca dapat menyimaknya dalam bab santainya rasul saw dan paa sahabat beliau. Dikisahkan tentang Nu’aiman bin ‘Amr bin Rafa’ah yang tak hanya sering bergurau di hadapan Nabi saw tetapi juga bergurau bersama Nabi saw. Syahdan, Nu’aiman tidak mengunjungi Nabi saw kecuali ‘membeli’ sesuatu dan membawanya untuk beliau sambil berkata, “Bayarlah!”. Kanjeng Nabi yang bingung pun bertanya, “Bukankah engkau menghadiahkannya untukku?” Nu’aiman pun menjawab, “Saya tidak memiliki uang, sedang saya ingin Engkau makan (bersamaku). Nabi saw tertawa lalu membayarnya (halaman 125).

Barangkali bagi sebagian sahabat dan umat, Nu’aiman dianggap sebagai sosok yang kurang ajar dan kurang menaruh hormat kepada Baginda Nabi Muhammad, namun bagi mereka yang teliti akan mengamati bagaimana Nu’aiman membuktikan rumor bahwa Kanjeng Nabi merupakan sosok junjungan agung yang penyayang pada umatnya, ikhlas dan dermawan.

Humor juga menjadi senjata perlawanan – kritik dengan bentuk-bentuk sarkastis. Hal ini dapat pembaca lihat dalam kisah perjalanan niaga Nu’aiman bersama Sayyidina Abu Bakar ra dan Suwaidan ke Bashrah (Irak). Ketika Sayyidina Abu Bakar tidak di tempat, Nu’aiman meminta makan kepada Suwaidan yang bertugas membawa perbekalan namun Suwaidan enggan memberikannya sebelum Sayyidina Abu Bakar kembali. Nu’aiman yang kesal dan suka bercanda itu mengancamnya seraya pergi meninggalkannya.

Usut punya usut, Nu’aiman pergi menemui beberapa orang dan menawarkan pada mereka untuk membeli hamba sahayanya dengan harga yang sangat murah. Harga hamba sahaya yang jeblok itu ujarnya sebanding dengan kelemahannya (pikiran/kesadarannya) yang sering kali menyatakan dirinya seorang merdeka. Ketika Nu’aiman mendapat calon pembeli yang sepakat, dari kejauhan ia menunjuk hamba sahayanya yang merupakan tempat Suwaidan tengah duduk. Suwaidan sontak kaget dan menolak ketika didatangi orang yang ingin membawanya sebagai hamba sahaya sembari mengatakan dirinya orang yang merdeka. Ribut-ribut itu untung diketahui Sayyidina Abu Bakar dan lekas diselesaikannya. Kisah keusilan Nu’aiman ini sampai ke telinga Kanjeng Nabi dan saban kali diceritakan ulang, Nabi tak kuasa membendung tawanya.

Pembacaan yang teliti dalam hal ini pasti lebih menyoroti bagaimana kritik Nu’aiman atas kepatuhan mutlak Suwaidan terhadap Abu Bakar yang layaknya kepatuhan seorang hamba sahaya kepada tuannya. Padahal konteksnya dalam perjalanan niaga ke Bashrah tersebut mereka merupakan tiga orang merdeka.

Menyusun humor tidak hanya dapat dilakukan dengan cara meruntuhkan logika. Penghumor yang baik bahkan mengerti bagaimana menyusun humor dengan dua logika yang berbeda serta mengikatnya dengan makna yang erat. Hal ini terbukti melalui jawaban seorang ulama atas pertanyaan lugu yang sedikit lucu. “Apa yang dilakukan seseorang yang menjadikan iblis marah dan Tuhan marah?” sang ulama’ yang arif itu menjawab, “mencumbu dan mengganggu istri iblis” (halaman 147).

Melontar humor juga patut dilakukan dengan bijak sebab humor dapat meretakkan hubungan yang rekat pun dapat merekatkan hubungan yang retak. Kejelian dalam menyimak humor akan membuat seseorang mengerti tensi keseriusan penghumor, dimensi sempit-luasnya, dalam-dangkalnya pemikiran penghumor tersebut – sehingga penangkap humor yang baik akan mampu merespon sikap yang tepat untuk humor yang diterimanya. Dikisahkan, seorang usil melakukan body shaming terhadap seorang gemuk yang hendak naik kereta listrik. Sang usil itu menggapil, “Saya tadinya tidak menyangka bahwa kereta listrik ditumpangi juga oleh gajah.”

Mendengar humor yang ganjil dan merendahkan itu, sontak ia genap menjawab, “Kereta yang bagus adalah yang menampung gajah juga keledai.” Bagian ini menjadi bagian yang sungguh menghibur pembaca lantaran pembaca disadarkan bahwa orang mesti cerdas merespons dunia yang sebatas sendau gurau belaka. Singkatnya apabila masih mampu membalas banyolan dengan banyolan mengapa mesti membalas banyolan dengan kemarahan atau sikap serius yang membuat kening berkerut?!

Membaca buku yang ditulis oleh cendikiawan M. Quraish Shihab ini sungguh memberi keasyikan tersendiri sebab apabila ditemukannya lubang-lubang kekurangan dalam penyajiannya hal itu justru tersulam dengan nasihat yang sarat dikandung kisah-kisah jenakanya.

Akhirnya, rumor tentang humor yang tersebar itu benar adanya: bahwa humor menjadi berguna bagi yang membaca dan menjadi berarti bagi yang mengerti.

Judul            : Yang Ringan Jenaka

Penulis         : M. Quraish Shihab

Penerbit       : Lentera Hati

Cetakan        : Pertama, September 2007

Tebal            : vii + 269 halaman

ISBN             : 978-979-9048-50-9

 

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/enw/yang-bermakna-dalam-jenaka-b248887p/