Indonesia yang Perlu Terus Dibaca

Saat ingar-bingar menuju peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia, kita disuguhi film garapan Cristopher Nolan, Oppenheimer pada 19 Juli 2023. Bayak mata tergerak untuk lekas menonton, sebab meski berlatar Amerika Serikat, kisah dalam film itu secara waktu memiliki keterhubungannya dengan kemerdekaan Indonesia. Bom atom yang dijatuhkan Sekutu ke Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, membuat Jepang luluh lantah dan menyerah.

Pada tahun 1942 – 1945 Jepang menjajah di negeri yang kemudian pada 17 Agustus 1945 menyatakan proklamasi kemerdekaan. Oh, bulan Juli penerbit Marjin Kiri justru agak abai terhadap kehadiran film. Mereka malah memilih menerbitkan buku garapan tiga intelektual—Jemma Purdey, Antje Missbach, dan Dave McRae yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Haripin dengan judul Indonesia: Negara dan Masyarakat dalam Transisi.

Buku itu tentu tidak membahas kebudayaan masyarakat dalam menyambut HUT RI, katakanlah dengan mengecat jalan, memasang lampu yang berkelip, hingga pemasangan bendera beraneka warna—tak sekadar merah putih. Buku itu berkisah hal besar dan lumrah sebagaimana banyak tulisan-tulisan lain. Dugaan itu kita sekilas membaca pada bagian pengantar:

“Dalam buku ini, kami berupaya membekali pembaca dengan ulasan komprehensif mengenai perkembangan politik, masyarakat, dan budaya kontemporer Indonesia, serta relasi Indonesia dengan dunia luar, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.” (hlm. 2). Indonesia masih seputaran sosial dan politik, belum beranjak dari kepungan sejarah panjang akan demokrasi. Lema demi lema mudah kita dapatkan: kemiskinan, ketimpangan, korupsi, hingga otoritarianisme.

Baca juga:  Trilogi Tilikan Terhadap Keindonesiaan

Lema itu mudah membuat bosan, namun kita ingin pamrih menyimak isi buku. Penulis memulai dalam cakupan situasi yang terjadi sebelum kemerdekaan, tepatnya adalah pelaksanaan Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27-28 Oktober 1928. Di peristiwa itu lah terdapat konsensus akan imajinasi mengenai Indonesia—tanah air, bangsa, dan bahasa. Kalangan muda menjadi inisiator pergerakan. Mereka merasakan proses dari pendidikan.

“Pendidikan memainkan peran kunci dalam membangun masa depan pembangunan nasional, dan setiap investasi yang ditanamkan di sektor itu sekarang bakal memiliki dampak panjang bagi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sepanjang abad ke-21.” (hlm. 177). Kalimat malah mengingatkan esai garapan salah seorang cendekiawan Indonesia, Sukidi. Di rubrik “Analisis Kebudayaan” Harian Kompas edisi 24 Agustus 2023, ia menulis esai “Menagih Janji Kemerdekaan”.

Ia mengetengahkan dengan riset terbaru yang dilakukan World Population Review—yang menunjukkan IQ warga Indonesia rata-rata 78,49. Dengan skor itu menempatkan Indonesia di perngkat ke-130 dan terendah kedua di Asia Tenggara. Sukidi menegaskan bahwa kecerdasan berpengaruh pada kesenjangan yang terjadi. Tulisnya, “Kecerdasan yang rendah berkolerasi dengan banyaknya penduduk yang hidup dalam kemisknan multidimensi.”

Hal yang kurang disorot di buku secara mendalam saya kira adalah posisi Indonesia terhadap ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Terlebih kalau mengacu pada kondisi mutakhir dunia riset Indonesia, praktis ada semacam cara pandang yang berbeda setelah lembaga-lembaga riset dilebur menjadi satu bernama Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) sejak tahun 2021. Kita tak bisa mengelak, bahwa kenyataan itu membawa dilema dan situasi pelik.

Baca juga:  Gus Dur dan Gagasannya tentang Kepesantrenan

Hal ini pula mungkin yang menyebabkan bangsa Indonesia justru menjadi generasi latah dengan periodesasi yang dihadapi. Apa yang disebut dengan sastrawan Seno Gumira Ajidarma (2019) sebagai generasi latah 4.0. Ada kegagapan yang dialami dalam bahasa birokrasi terhadap ingar-bingar kemajuan, akan tetapi situasi yang terjadi harus diakui masih saja stagnan.

Sebuah bunga rampai berukuran tipis berjudul Transformasi Masyarakkat Indonesia pernah diterbitkan Kelomok Studi pada 1986. Buku disunting oleh Denny. J. A, memuat kumpulan sekian pemikir Indonesia: Sutan Takdir Alisjahbana, Kuntowijoyo, Loekman Soetrisno, Mochtar Lubis, Y.B. Mangunwijaya, Soerjanto Poespowardoyo, dan Djohan Effendi.

Tulisan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berjudul “Indonesia di Tengah Bangkitnya Dunia Baru”. Di sana STA menyigi lanskap kebudayaan secara kompleks, berkait ilmu, seni, teknologi, hingga ekonomi. Tulis STA: “Di sini jelas oleh kita, bahwa kemajuan ilmu dan teknologi dimungkinkannya. Tentulah ilmu juga bergantung kepada kemajuan ekonomi dapat menyediakan uang dan alat untuk penyelidikan dan pemikiran ilmu yang lebih berhasil.”

Selesainya membaca buku ini, kita mendapatkan pelajaran akan keberadaan Indonesia itu terus perlu dibaca. Dengan cara apa? Dengan cara sebisanya akan peran yang bisa dilakukan. Dengan situasi yang seperti itu, rasanya kita mudah cemburu dengan data di sekian banyak bidang yang ketika dibandingkan dengan negara lain.

Baca juga:  Sabilus Salikin (106): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (1)

Kita dibuat merasa masih ketinggalan pada banyak hal. Dari sana, kita bisa menemui bagaimana memaknai ke-Indonesia-an itu sendiri. Itu kemudian membawa kita pada upaya memegang komitmen bersama terhadap masa depan. Ada banyak periodesasi yang menjadi perubahan zaman mesti dihadapi. Kesadaran itu penting, sebagai landasan untuk melakukan tindakan demi tindakan untuk kebaikan bersama.[]

Judul              : Indonesia: Negara dan Masyarakat dalam Transisi

Penulis            : Jemma Purdey, Antje Missbach, dan Dave McRae

Penerbit         : Marjin Kiri

Ukuran           : 14 cm x 20,3 cm; xiv + 402 Halaman

Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Juli, 2023

ISBN              : 978-602-0788-43-2

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/joko-priyono/indonesia-yang-perlu-terus-dibaca-b248902p/