Kisah si Bungkuk: Menjaga Standar Etik, Kejujuran, Keadilan di atas Segala Keculasan

Tak ada lain, tak ada bukan keselamatan menjadi keadaan yang senantiasa diharapkan semua insan. Baik keselamatan di dunia dari hidup dan mati dalam kondisi rugi maupun keselamatan di akhirat dari ancaman siksaan atas seluruh amalan. Senantiasa setiap insan memohon keselamatan kepada Allah Yang Maha Menyelamatkan. Namun tak jarang ketika seseorang dihadapkan dengan kondisi yang tidak pasti dan diharuskan menalar aral, batin dan pikiran terjungkir dan terbalik oleh kecemasan.

Bagi seseorang yang bertindak dengan berpijak pada kecemasan sesungguhnya tengah melangkah ke dalam liang kerugian. Lantas bagaimana kiat untuk selamat?

Melalui buku bertajuk Kisah Si Bungkuk yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi dan Mustafa Mahdamy pembaca diajak untuk membaca jarak yang teramat dekat antara kepanikan dan kerugian. Seperti falsafah dari salah seorang cendikia muslim masa silam bahwa kepanikan adalah separuh penyakit.

Alkisah, serupalah pesan cendikia muslim masa silam tersebut dengan jalan cerita buku ini. Cerita dibuka dengan penjahit bernama Zakzuk yang melangsungkan niat baiknya mengajak makan seorang bungkuk bernama Arandas. Zakzuk dan istrinya menghidangkan masakan terbaik guna mereka santap bersama si bungkuk Arandas. Mulanya suasana cair dan obrolan riang saja.

Namun niat baik tak selamanya berbuntut baik. Suasana melahap santapan yang berseling dengan obrolan yang menyenangkan tersebut menjadi kepanikan yang mencengkam. Apa hal? Arandas yang bungkuk sekarat lantaran tersedak sajian yang ia santap.

Kepanikan atas bayang-bayang hukum yang tajam membayang dipikiran dan perasaan suami-istri tuan rumah itu. “Bukan main bingungnya Zakzuk dan isterinya melihat keadaan si bungkuk Arandas. Apa yang harus dilakukannya? Hukuman apa yang bakal menimpanya andaikata orang tahu si bungkuk Arandas mati di rumahnya? Bukankah mereka bisa dihukum gantung karena disangka membunuh?” (halaman 5).

Pikiran mereka yang kadung diselimuti kepanikan ganjaran hukuman membuat tindakannya pendek saja: mencari pertolongan untuk Arandas. Malam-malam dengan tergopoh-gopoh mereka antar Arandas ke kediaman tabib yang sudah tidur. Namun niat mencari pertolongan untuk Arandas tiba-tiba tandas saja. Kecemasan atas tiang gantungan yang membayang menekuk niat baik mereka terhadap si bungkuk menjadi niat sekadar mencari keselamatan diri pribadi.

Lempar batu sembunyi tangan, walhasil tubuh Arandas ditinggalkan saja di kediaman tabib. Tabib dan isterinya yang baru saja terbangun pun sama kaget dan cemasnya. Mereka bawa dan geletakkan tubuh si bungkuk Arandas ke kediaman orang kaya guna mencari aman atas semua tuduhan. Begitupun si tajir pemilik rumah melihat kondisi Arandas, buru-buru ia membawa Arandas dan meninggalkannya di kedai dekat masjid.

Singkat cerita, kecemasan terakhir berakhir pada seorang mu’adzin yang menemukan tubuh Arandas. Segala tuduhan sebagai pembunuh jatuh pada dirinya. Tibalah hari penghakiman itu. Di hadapan tiang gantung yang disaksikan seluruh warga termasuk penjahit Zakzuk, tabib dan si tajir beserta istri-istri mereka hakim mengadili terdakwa mu’adzin. Suasana tegang bukan main.

Namun Allah Yang Maha Agung dari Segala Hakim Agung, membalik hati mereka yang terlibat. Niat mencari keselamatan diri pribadi dengan mengorbankan keselamatan hidup mereka yang tidak bersalah menjadi rubah. Tak ada satupun keraguan, tak ada satupun kecemasan.

Satu persatu yang diduga pelaku memberikan keterangan. Di hadapan tiang pancung si tajir mengacung. Ia beri pengakuan bahwa ia pembunuhnya. Tak berselang, usai pengakuan itu diceritakan, dari kerumunan persidangan bantahan lantang diajukan oleh tabib. “Sebetulnya aku masih ingin lebih lama hidup di dunia ini, menolong orang-orang yang sakit. Aku ingin berbuat baik kepada sesama manusia. Tapi apa daya, tangan mencencang bahu memikul. Barangsiapa yang berbuat harus menerima balasannya.” (halaman 15).

Pengakuan tabib pada akhirnya juga dibatalkan oleh penjahit Zakzuk yang mengaku sebagai pembunuh. Mendengar tiga pengakuan, Hakim terkesan atas keberanian dan kejujuran yang baru kali itu ia temukan sepanjang kariernya sebagai hakim. Kejadian mengesankan atas standar etik dan kejujuran yang tinggi dicontohkan para terdakwa itu dilaporkan segera kepada sang raja. Singkatnya setelah Raja dan Menterinya datang, mereka menyaksikan dan memeriksa dengan teliti fakta persidangan, pelaku dan korban.

Akhirnya setelah ditimbang tak ditemukannya unsur sengaja dan sekadar culpa, Raja memerintahkan Menterinya yang cerdik melakukan pengecekan pada tubuh korban yang didapati masih hidup. Menteri segera memberikan pertolongan yang pada akhirnya si bungkuk Arandas selamat, persidangan ditutup dan terdakwa diberikan vonis bebas.

Terlepas dari kekurangan yang dapat pembaca titi pada penutupan buku ini, pemilihan tema cerita yang dilakukan Mahbub Djunaidi dan Mustafa Mahdamy patut pembaca acungi apresiasi. Dua penyadur dalam karyanya tersebut seakan berpesan lantang bahwa tema tentang menjaga standar etik, kejujuran, keadilan di atas segala keculasan menekuk bungkuk hukum dan hakim demi keselamatan, menjadi tema yang meskipun nampak mundur dan uzur, tak akan pernah mati terkubur!

Dus, melalui kisah ini, pembaca diajak menghitung ulang ambang keselamatan dengan rumus usang yang telah banyak dibuang. Rumus keselamatan yang basis kalkulasinya ilahi itu berbunyi, urip kang utama, mateni kang sampurna.

Judul                          : Kisah si Bungkuk

Penulis                       : Kamil Kailani

Penyadur                    : H. Mahbub Djunaidi & Mustafa Mahdamy

Penerbit                     : P.T. Alma’arif, Bandung

Cetakan                      : Pertama, 1976

Tebal                          : 19 halaman

ISBN                           : –

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/enw/kisah-si-bungkuk-menjaga-standar-etik-kejujuran-keadilan-di-atas-segala-keculasan-b248978p/