Laduni.ID, Jakarta – Perdebatan akan asal-usul manusia atau bahkan kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini masih menjadi tanda tanya besar dan diskusi panjang yang tiada habisnya. Beberapa teori ilmiah telah mencoba untuk menjawab itu semua. Akan tetapi terus mengalami keraguan dan kesangsian setelah diuji seiring perubahan waktu yang menjadikannya tidak dapat diterima di antaranya adalah teori evolusi yang ditelorkan oleh Darwin. Konsep kehidupan yang menurutnya berawal dari satu spesies hingga memunculkan beragam makhluk hidup seperti sekarang ini.
Penting kiranya kita ketahui kronologi perihal buku Darwin The Origin of Species (Asal Mula Spesies) ini. Teori Charles Darwin ini mendasarkan teorinya pada beberapa pengamatan yang dilakukannya sebagai seorang ilmuwan muda di atas kapal H.M.S Beagle, yang berlayar pada akhir 1831 dalam perjalanan resmi lima tahun keliling dunia. Darwin muda sangat terpengaruh oleh keanekaragaman jenis (binatang) yang dia amati, terutama berbagai burung finch di kepulauan Galapagos. Perbedaan pada paruh burung-burung ini, menurut Darwin adalah sebagai hasil dari penyesuaian diri terhadap lingkungan mereka yang berbeda. Setelah pelayaran ini, Darwin mulai mengunjungi pasar-pasar hewan di Inggris. Dia mengamati bahwa pemula sapi menghasilkan suatu keturunan sapi baru dengan mengawinkan sapi-sapi yang berbeda sifat.
Menurut Joesoef Sou’yb dalam bukunya Adam dan Hawa Bukan Manusia Pertama di Bumi, berdasarkan pengalaman ini kemudian Darwin bersama dengan keanekaragaman jenis burung finch yang diamatinya di kepulauan Galapagos, memberi andil dalam perumusan teorinya. Di tahun 1859, ia menerbitkan pandangannya dalam bukunya The Origin of Species (Asal Mula Spesies). Dalam buku ini dia merumuskan bahwa semua spesies berasal dari satu nenek moyang, berevolusi dari satu jenis ke jenis yang lain sejalan dengan waktu melalui perubahan-perubahan kecil. Teori Darwin ini disinyalir tidak berdasarkan fakta-fakta ilmiah, yaitu dengan hanya mengamati “proses peralihan kejadian” dari satu species kepada species lainnya, dengan hanya berdasarkan “inference” (kesimpulan-kesimpulan) di dalam pemikiran belaka.
Banyak ahli ilmu pengetahuan mendukung teori evolusi yang mengatakan bahwa makhluk hidup (manusia) berasal dari makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian mengalami evolusi dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini. Hal ini diperkuat dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah berupa fosil seperti jenis Pitheccanthropus dan Meghanthropus.
Di lain pihak banyak pakar agama yang menentang adanya proses evolusi manusia tersebut. Hal ini didasarkan pada berita-berita dan informasi-informasi yang terdapat pada kitab suci masing-masing agama yang mengatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Yang menjadi pertanyaan adalah termasuk dalam golongan manakah Adam? Apakah golongan fosil yang ditemukan tadi atau golongan yang lain? Lalu bagaimanakah keterkaitannya? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang senada dengan seputar penciptaan Adam.
Tanpa harus mengkonfrontir asumsi eksistensi manusia purba dengan Al-Quran, sebenarnya ilmu pengetahuan kontemporer sudah mematahkannya. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori tentang manusia purba semakin jelas tidak validnya. Bukti-bukti ilmiah yang dahulu sering diajukan oleh kalangan evolusionis, satu persatu kini terpatahkan. Semakin hari semakin terkuak fakta bahwa asumsi eksistensi manusia purba adalah hal yang tidak valid.
Dalam islamiconline hal ini pernah diungkapkan Ahmad Sarwat dalam artikel “Dulu mana Manusia Purba dengan Nabi Adam” menyatakan bahwa selama ini kita memang dicekoki teori manusia purba dalam kurikulum pendidikan. Para evolusionis telah merekayasa skema khayalan dengan sangat fantastis. Bahkan seringkali dilengkapi dengan ilustrasi yang nampak sangat realistis. Anehnya, semua itu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di seluruh dunia, termasuk di dunia Islam. Mereka memasukkan Australopithecus, ras kera yang telah punah sebagai ras ‘nenek moyang manusia’. Padahal ada perbedaan besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia.
Melihat fungsi yang ada pada Al-Qur’an, sesuai kehendak manusia, yang menginginkan redaksi yang dipakainya mudah dipahami dan bersifat jelas, namun Tuhan berkehendak lain, sehingga hal tersebut tidak selalu terjadi dalam teks-teks Al-Qur’an, dengan kata lain hal ini sesuai dengan qudrat dan iradat-Nya. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas atau pasti yang sering disebut muhkamat dan yang bermakna samar atau tidak pasti disebut mutasyabihat yakni ayat yang masih memerlukan interpretasi atau pentakwilan, artinya perlu adanya penjelasan makna supaya dapat mudah dipahami dan dimengerti.
Dengan adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tersebut, berakibat terjadi berbagai corak dan ragam penafsiran. Inilah suatu hal yang perlu dicermati, sehingga orisinalitas makna dan nilai yang terkandung di dalamnya tetap terjaga.
Menurut Ibnu Katsir, Kisah-kisah Adam tercantum dalam surat Al-Baqarah, surat Al-A’raf, surah Al-Isra’, surat Al-Kahfi, surat Thaha, surat Al-Hijr dan surat Shad. Meskipun memiliki substansi yang sama yaitu tentang kisah Adam, namun pokok bahasan yang ditekankan dalam ayat-ayat tersebut berbeda dan diiringi dengan ungkapan dengan lafaz yang berbeda-beda pula.
Sampai sekarang memang masih terdapat kontroversi dalam menentukan siapakah manusia pertama di bumi ini. Para pakar agama menyatakan Adam, sesuai yang termaktub atau yang memberikan indikasi dalam kitab suci mereka, sedangkan para antropolog menolak pendapat tersebut meskipun mereka belum menemukan jejak yang pasti. Penemuan-penemuan fosil manusia masih memberikan kesimpulan yang terkesan kabur, masih diliputi kesangsian. []
Penulis: Kholaf Al Muntadar
Editor: Mas Lis
https://www.laduni.id/post/read/525530/benarkah-manusia-berasal-dari-ras-kera-australopithecus.html