Penetapan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal dalam Pandangan KH. Ali Maksum

Laduni.ID, Jakarta – Sering kali terjadi perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Perbedaan ini tidak lain disebabkan oleh metodologi yang dipakai dalam menentukan awal bulan tersebut.

Secara umum ada dua metode yang dipakai dalam hal itu, yakni metodi hisab (penghitungan) dan ru’yatul hilal (melihat hilal). Tidak jarang kedua metode tersebut menghasilkan satu kesimpulan yang berbeda, tetapi juga sering menghasilkan kesimpulan yang sama. Ketika terjadi perbedaan itulah, maka biasanya para ulama di Indonesia mengambil jalan tengah dalam menetapkannya, dengan diadakannya Sidang Itsbat yang difasilitasi langsung oleh negara melalui Kementerian Agama. Tapi bagaimanapun hasilnya, perbedaan pendapat itu dipandang biasa dan tidak perlu diperselisihkan sampai menimbulkan perpecahaan.

Dalam tulisan ini perlu kiranya memaparkan secara utuh pandangan menarik dari KH. Ali Maksum Krapyak mengenai penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal sebagaimana terdapat di dalam kitabnya yang berjudul Hujjatu Ahlissunnuah wal Jama’ah.

***

Berikut penjelasan KH. Ali Maksum, Krapyak (Rais Aam PBNU 1981-1984):

Pada masa kini, kira-kira sejak setengah abad yang lalu di Indonesia misalnya, pernah terjadi perdebatan yang cukup seru di kalangan kaum Muslimin seputar penetapan awal Ramadhan untuk memulai berpuasa dan awal Syawal untuk berhari raya Idul Fitri.

Kami berpesan kepada para ulama yang berkompeten agar mengkaji masalah ini dengan semangat kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis/Sunnah Nabi, serta berpegang teguh kepada tali agama Allah (hablullah) secara menyeluruh dan menghindari perpecahan. Karena penetapan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri merupakan bagian dari syi’ar Allah dan simbol penyatuan kata melalui kalimat tauhid: La Ilaha Illallah.

Dalam persoalan ini, para ulama besar dunia melakukan kajian secara ‘ilmiyyah syar’iyyah. Di antara kesimpulan yang perlu kita ketahui adalah:

1. Imam mazhab empat sepakat, bahwa penetapan awal bulan Ramadhan tiada lain adalah melalui salah satu dari dua cara, yaitu ru’yatul hilal, atau menyempurnakan bilangan tiga puluh hari bulan Sya’ban, jika hilal tidak berhasil dilihat dalam ru’yatul hilal disebabkan terhalang oleh mendung, awan, debu dan sejenisnya.

2. Mereka sepakat, bahwa masuknya awal bulan Syawal juga ditetapkan dengan cara seperti di atas, yakni dengan ru’yatul hilal. Jika hilal Syawal tidak berhasil dilihat, maka wajib menyempurnakan bulan Ramadhan tiga puluh hari.

3. Seluruh kaum Muslimin pada dasarnya telah melakukan “tradisi keagamaan” seperti itu, tanpa kecuali, karena kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli qiblat (orang Islam) di luar Ahlussunnah wal Jama’ah, sebelum munculnya perselisihan pendapat di masa kini.

4. Baik Ahlusunnah wal Jama’ah maupun golongan lainnya, kesemuanya itu telah menyepakati ketidakbolehan menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal, jika hal ini diberlakukan untuk kalangan umum. Namun, jika terbatas untuk kalangan ahli hisab sendiri beserta para muridnya, hanya Imam Syafi’i saja yang memperbolehkannya. Sedangkan para ulama lainnya, baik dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maupun golongan lainnya, tidak memperbolehkannya secara mutlak, baik untuk kalangan umum maupun kalangan terbatas.

5. Perkara yang dianggap sah dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat hilal, bukan dengan terwujudnya hilal­ yang terjadi dalam kenyataan (wujudul hilal bil fi’li fil waqi’) yang terkadang dapat diketahui melalui jalan hisab.

Kelima kesimpulan tersebut diketahui dari hasil kajian sebagai berikut:

Dalam Kitab Al-Madzahib Al-Arba’ah dijelaskan, bahwa awal bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan salah satu dari dua cara, yaitu:

Pertama, dengan cara ru’yatul hilal jika langit cerah dan terbebas dari sesuatu yang menghalangi keberhasilan ru’yat  seperti mendung, kabut, debu dan sejenisnya.

Kedua, dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari, jika langit tidak cerah atau terhalang oleh sesuatu yang menyebabkan ketidakberhasilan ru’yat. Keterangan ini berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah berikuti:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ اَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ

“Berpuasalah karena berhasil melihat hilal dan berbukalah (berhari raya Idul Fitri) karena berhasil melihat hilal. Jika terjadi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban berumur tiga puluh hari.” (HR. Bukhari)

Mengenai sabda Nabi SAW yang berbunyi: “Fa in ghumma ‘alaikum” (jika terjadi mendung atas kalian), kami menemukan pendapat dari ulama Hanabilah yang bersikap hati-hati, bahwa yang dimaksudkannya adalah jika hilal terhalang mendung ketika matahari tenggelam pada tanggal 29 Sya’ban, maka tidak perlu menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, namun wajib menginapkan niat puasa di malam harinya dan berpuasa pada hari berikutnya, baik hari itu menurut kenyataannya masih termasuk bulan Sya’ban ataupun sudah masuk bulan Ramadhan, kemudian berniat puasa Ramadhan. Jika di tengah menjalankan puasanya itu ternyata terbukti bahwa hari itu masih termasuk bulan Sya’ban, maka ia tidak perlu meneruskan puasanya.

Pendapat Hanabilah tersebut berkaitan dengan pelaksanaan awal bulan Ramadhan. Jika berkaitan dengan akhir bulan Ramadhan, mereka berpendapat sama seperti yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah, yaitu wajib menyempurnakan bilangan 30 hari bulan Ramadhan, jika terjadi mendung (sehingga hilal tidak berhasil di-ru’yah/dilihat). Kesemuanya itu sebagai bentuk kehati-hatian mereka dalam beribadah.

Demikian itulah hasil kesepakatan para Imam Mazhab empat yang hanya membahas tentang ru’yatul hilal dan ikmal saja. Tidak ada cara lain menurut mereka, selain dengan jalan ru’yatul hilal atau ikmal. Hal ini sebagai bentuk pengamalan mereka terhadap Hadis yang disebutkan di atas.

Dengan begitu, pendapat ahli nujum atau ahli hisab dipandang tidak sah, sehingga tidak wajib atas diri mereka sendiri untuk berpuasa berdasarkan hasil hisab-nya dan juga tidak wajib atas orang-orang yang percaya kepada ucapan ahli hisab tersebut.

Hanya saja, Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah mengatakan, bahwa pendapat ahli nujum atau ahli hisab dianggap sah (boleh diikuti) terbatas untuk ahli hisab itu sendiri dan orang-orang yang membenarkannya. Sedangkan kaum Muslimin pada umumnya tidak wajib berpuasa atas dasar pendapat ahli hisab tersebut, menurut pendapat yang rajih (unggul atau terkuat).

Ulama yang menolak penggunaan hisab berargumentasi, bahwa Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menggantungkan pelaksanaan puasa kepada tanda-tanda (fenomena alam) yang tetap, lagi tidak berubah selamanya, yaitu dengan cara melakukan ru’yatul hilal dan ikmal, yakni menyempurnakan usia bulan 30 hari.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata:

تَرَائَ النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang sama melihat hilal, lantas aku kabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa aku melihatnya, lantas beliau berpuasa dan memerintahkan kepada para sahabat agar berpuasa.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata:

أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلَى النَّبِيِّ، فَقَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ، فَقَالَ: أَتَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللَّهُ ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَذِّنْ فِى النَّاسِ يَا بِلَالُ، اَنْ يَصُوْمُوْا غَدًا

“Seorang A’rabi (orang nonarab) datang menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Aku telah melihat hilal.’ Rasulullah lalu bertanya, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?’ ‘Ya, benar!’, jawabnya. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?’ ‘Ya, benar!’, jawabnya. Beliau lantas bersabda: ‘Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang, agar mereka berpuasa besok.” (HR. Al-Khamsah [Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmidzi])

Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban.

Menurut saya, dari sini dapat kita pahami, bahwa yang dianggap sah dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal, adalah dengan cara melihat hilal, bukan sebab terwujudnya hilal, dan bukan dengan mengetahui wujudnya hilal melalui berbagai metode hisab.

Hadis-Hadis tentang rukyatul hilal tersebut merupakan penafsiran terhadap isi kandungan firman Allah berikut ini:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُـمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“… Karena itu, barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, ….” (QS. Al-Baqarah: 185)

Maksudnya, siapa saja yang menyaksikan masuknya bulan dengan cara ru’yatul hilal, maka wajib berpuasa bagi orang yang melihatnya dan orang yang mendengar kabar dari orang yang melihat hilal. (Lihat: Tafsir Al-Jalalain dan Hasyiyah As-Shawi).

Argumentasi tersebut memperkuat pendapat, bahwa yang dianggap sah dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara ru’yatul hilal (melihat hilal), dan bukan disebabkan oleh wujudnya hilal sebagaimana yang diketahui melalui hisab, atau dengan cara ikmal, yakni menyempurnakan bulan Sya’ban (30 hari) untuk memulai berpuasa dan menyempurnakan bulan Ramadhan untuk berhari raya Idul Fitri.

Pendapat ahli hisab, sekalipun hal itu didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu hisab yang cukup rumit, saya benar-benar menyaksikan ternyata masih terjadi perselisihan di kalangan mereka. Dengan kata lain, hasil perhitungan mereka sering berbeda.

Kemudian Hadis-Hadis tersebut tidak mengindikasikan perlunya menggunakan hisab, tetapi membatasi tanda-tanda masuknya suatu bulan dengan cara ru’yatul hilal atau ikmal. Sementara cara hisab terkadang tidak sesuai (berbeda hasilnya) dengan ikmal.

Cara penetapan bulan Syawal juga sama seperti penetapan bulan Ramadhan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) di kalangan ulama mazhab empat dan ulama lain di luar Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu saya paparkan kepada Anda pendapat Sayyid Ibnul Qasim Al-Khu’iy, seorang ulama dari kalangan Syi’ah Al-Imamiyah di dalam kitabnya yang berjudul Al-Masail Al-Mutanajjiyah. Beliau menyatakan bahwa pendapat ahli hisab dan yang serupa dengannya dipandang tidak sah, selain apa yang telah kami jelaskan, yakni ru’yatul hilal Ramadhan atau ikmal bulan Sya’ban 30 hari. Demikian pula penetapan 1 Syawal juga harus menggunakan salah satu dari dua cara seperti telah disebutkan, yakni dengan ru’yatul hilal disertai kesaksian dua orang saksi yang adil, atau dengan menggenapkan bilangan 30 hari. Jika tidak ditetapkan seperti itu, maka tidak boleh berbuka.

***

Jadi dari penjelasan di atas, justru KH. Ali Maksum menegaskan bahwa metode yang paling tepat dan akurat sebagaimana petunjuk Al-Qur’an dan Hadis dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan ru’yatul hilal, dan jika dalam hal itu tidak berhasil melihat hilal, maka kemudian wajib menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari, atau yang disebut dengan ikmal. Adapun metode hisab dalam penentuan itu dalam pandangan beliau, sebagaimana alasan yang dipaparkan di atas, masih diragukan keabsahannya. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Ahmad Sya’roni

https://www.laduni.id/post/read/525631/penetapan-awal-bulan-ramadhan-dan-syawal-dalam-pandangan-kh-ali-maksum.html