Syekh Syarif Syam: Paradigma Dakwah Tulis dan Tutur di Era Kesultanan Cirebon

Cirebon adalah salah satu kota penting dalam sejarah perkembangan penyebaran Islam di pulau Jawa. Kota yang secara geografis masuk ke wilayah administrasi Jawa Barat ini memiliki aktivitas yang cukup sibuk sejak zaman dahulu hingga sekarang. Cirebon memiliki pelabuhan yang sangat strategis sehingga banyak pendatang yang berlayar dari berbagai penjuru. Oleh karena itu, sejak dulu sudah menjadi titik pertemuan dan pertukaran budaya dari berbagai golongan dan etnis. Para pendatang tersebut memiliki tujuan yang sangat beragam baik dengan tujuan perdagangan, berdakwah maupun hanya berkunjung biasa.

Dalam Sejarah Cirebon, pada era Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Cirebon menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi. Mengapa, pertama karena ingin bertemu dan berguru dengan Sunan Gunung Jati sendiri, atau lumrah dengan istilah nyantri belajar agama Islam, kedua Cirebon menjadi kota pertemuan para wali yang tergabung dalam Walisongo. Ketiga Cirebon merupakan pusat peradaban dan kekuasaan Islam di Jawa setelah Demak di Jawa bagian tengah.

Diantara pendatang yang ingin bertemu dengan Sunan Gunung Jati adalah Syekh Syarif Syam yang berlayar dari Timur Tengah. Dalam beberapa catatan seperti dalam buku Sejarah Cirebon karya Kiai Mahmud Rais, Syarif Syam adalah nama lain dari Syekh Magelung Sakti atau juga dikenal dengan Pangeran Karangkendal. Tokoh satu ini sangat familiar bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya, bahkan menjadi legenda dalam Sejarah Cirebon.

Mengapa demikian, pertama dalam cerita rakyat, Syekh Syarif Syam adalah seorang ulama sakti yang memiliki rambut panjang dan kuat. Tidak ada yang bisa mencukurnya kecuali oleh Sunan Gunung Jati, kedua karena ia berhasil meminang wali perempuan Nyi Mas Gandasari yang merupakan murid kesayangan Sunan Gunung Jati. Selain kedua alasan ini, ia sangat dikenal karena ia termasuk salah satu distributor kitab kuning pada era Kesultanan Cirebon. kedatangan syarif syam dari Timur Tengah tidak kosongan, melainkan membawa beberapa jenis kitab kuning yang berbahasa Arab untuk bisa diajarkan di Cirebon. Untuk yang terakhir ini bagi saya menarik dan akan kita bahas.

Dialog Syarif Syam dengan Syekh Bentong tentang Distribusi Kitab Kuning

Dalam buku Sejarah Cirebon karya KH, Mahmud Rais diceritakan bahwa Syarif Syam datang dari Timur Tengah untuk bertemu dengan seorang guru yang dikenal dengan kewalian dan kebijaksanaannya di daerah Cirebon, yang ia cari tentu tidak lain adalah Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Setelah ia melewati lautan yang sangat luas hingga akhirnya sampai di tanah Jawa dan terus bertanya menuju cirebon, sesampainya di cirebon ia bertemu dengan seorang yang sudah berusia senja, Lantas ia mengenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan datang ke tanah Jawa. Orang tua tersebut adalah Syekh Bentong.

Dalam buku Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke-17.( Apipudin 2010). Syekh Bentong dijelaskan sebagai putra dari Syekh Quro yang berlabuh di Muara Jati Cirebon yang kemudian berdakwah di Karawang. Syekh Bentong juga dijelaskan berpisah dengan sang ayah untuk menuju ke Gresik bertemu dengan beberapa anggota Walisongo, ia juga dicatat memiliki putri yang berma Siu Ban Ci yang kelak menjadi ibu dari Jin Bun atau Raden Fatah, setelah Raden Fatah menguasai Demak ia kembali berdakwah ke daerah barat yaitu Cirebon dan sekitarnya dan wafat di Karawang.

Kembali ke Syarif Syam, setelah berkenalan dengan Syekh Bentong, Syarif Syam bercerita panjang tentang perjalanan dan perkembangan Islam. Di sela-sela obrolan itu ia menjelaskan bahwa kedatangannya ke Cirebon juga membawa oleh-oleh berupa kitab-kitab klasik atau sekarang dikenal kitab kuning yaitu kitab-kitab berbahasa Arab yang disusun oleh para ulama di Timur Tengah. Kitab-kitab tersebut merupakan kodifikasi dari ajaran Islam meliputi Ilmu Fiqih, Tasawuf, Filsafat, Tafsir dan disiplin ilmu lainnya.

Setelah Syekh Bentong mendengarkan semua ceritanya ia mulai membuka suara dengan berpendapat bahwa kitab-kitab tersebut belum waktunya untuk Masyarakat cirebon dan sekitarnya, mengingat Masyarakat cirebon masih asing dengan Bahasa arab. Dan hanya para santri yang paham dengan kitab Bahasa Arab.

Mendengar nasihat dari Syekh Bentong tersebut, ia mencoba menyadari bahwa kapasitas masyarakat Cirebon pada masa itu belum bisa menerima ajaran Islam yang terkodifikasi dalam kitab-kitab klasik yang dibawa oleh Syarif Syam. Itu alasannya mengapa para wali pada periode awal penyebaran lebih menekankan tradisi tutur dan figuristik, dibandingkan tulisan,

Masyarakat Jawa pada masa awal penyebaran Islam lebih bisa menangkap ajaran Islam melalui nasehat, wejangan, kajian lisan atau penguatan figur seorang wali. Efek dakwah seperti ini dapat membentuk otoritas keagamaan yang tersentralisasi oleh figur seorang ulama. Oleh karena itu Masyarakat Jawa lebih mengenal figur para Walisongo sebagai penyebar agama Islam yang santun dibanding karya-karyanya.

Tawaran kitab kuning yang dibawa oleh Syarif Syam menunjukan bahwa budaya di Jawa dan Timur Tengah memiliki gap yang berbeda, dari budaya tutur figuristik dan budaya tulisan. Skema dakwah yang ingin dibentuk oleh Syarif Syam sebenarnya cukup revolusioner namun belum cocok untuk masyarakat saat itu.

Berbicara tentang kitab kuning atau buku kodifikasi ajaran Islam memang sudah berkembang pesat di wilayah Timur Tengah sejak dahulu dan maju pesat pada masa keemasan Khilafah Utsmani berkuasa. Bahkan beberapa kisah perlawanan para ulama untuk pemerintah yang zalim, mereka melawan menggunakan sebaran kitab yang tersusun untuk dibaca oleh Masyarakat. Misalnya Ibnu Rusyd di era Khalifah Al Mansur, Bediuzzaman Said Nursi era pra kehancuran Khilafah Utsmani. Oleh karena itu tidak mungkin kalau Walisongo tidak mengenal budaya kitab atau tulis, karena mayoritas pendapat mengatakan mereka berasal dari Timur Tengah, namun ketika Walisongo sampai di Jawa mereka Menyusun skema dakwah sendiri dengan mengakulturasikan budaya Jawa dan Islam agar mudah diterima oleh khalayak umum.

Setelah Syekh Syarif Syam dengan Syekh Bentong berdiskusi lama terkait persebaran Islam di Cirebon, tidak terasa sudah masuk waktu Dzuhur, lalu Syarif Syam menghendaki untuk sholat terlebih dahulu dan pada momen ini Syekh Bentong menunjukan karomahnya kepada Syarif Syam yang digambarkan dalam Anekdot berikut:

“Syahdan, pada saat itu sudah masuk Dzuhur Syarif Syam menanyakan tempat sholat kepada Syekh Bentong. Lalu Syekh Bentong mempersilakan Syarif Syam masuk ke dalam bumbung (sepotong bambu besar) yang ada pada dinding dan diterangkanlah oleh Syekh Bentong bahwa dalam Bumbung itu bisa digunakan untuk sholat. Mendengar keterangan demikian Syarif Syam tercengang dalam hatinya bertanya apakah bumbung ini dapat dimasuki manusia. Namun semuanya tidak ada yang tidak mungkin, Syekh Bentong bisa masuk dan sholat di dalam bumbung tersebut, setelah sholat ia melemparkan biji mangga dan secara tiba-tiba biji tersebut tumbuh pohon mangga yang memiliki buah banyak, setelah itu ia melemparkan jaring ke halaman masjid dan tiba-tiba ia mendapatkan ikan yang besar,”

Dari cerita yang digambarkan dengan anekdot ini merupakan ilmu mahal dari Syekh Bentong untuk Syarif Syam, yang mana secara tidak langsung ia menunjukan bahwa dakwah di Jawa sangat berat dan tidak mudah untuk mengajak masyarakat Jawa memeluk Islam. Karena Masyarakat Jawa memiliki keyakinan yang kuat dengan ajaran nenek moyangnya, dan kepercayaan mereka terhadap ajaran moyangnya dikuatkan dengan fenomena-fenomena gaib yang tidak masuk akal, oleh sebab itu dakwah di awal persebaran Islam di Jawa sangat berat karena harus menggeser otoritas keagamaan Hindu Budha yang kuat. Wallahu a’lam bishowab.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/af/syekh-syarif-syam-paradigma-dakwah-tulis-dan-tutur-di-era-kesultanan-cirebon-b249083p/