“Amal-amal yang baik itu hasil dari keadaan hati (ahwal) yang baik, dan ahwal yang baik terbit dari kebenaran maqamat yang turun (dari Tuhan ke dalam batin hamba).”
حُسْنُ الأَعْمَالِ نَتائِجُ حُسنِ الأحْوَالِ و حُسْنُ الأحْوَالِ مِن التَّحَقُّقِ فِى مَقامَاتِ الإِنزَالِ
***
Hakikat melengkapi amal syariat, layaknya ruh bagi tubuh jasmani. Melihat realitas ketuhanan dan membenarkannya di dalam batin, adalah suatu “hal”. Suatu kondisi spiritual, yang dirasakan oleh orang yang beramal dengan ubudiyahnya.
Amal itu sendiri tentu saja adalah kewajiban yang telah disyariatkan, sebagai ketaatan atas perintah-Nya melalui Nabi yang mulia. Ditambah lagi dengan amal-amal sunah, dengan kesungguhan ingin mendekat kepada Tuhan Yang Mahaagung. Amal seperti apa?
Amal aik berupa amal zahir–yang dilakukan secara fisik, seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, bershalawat, sedekah, dsb–maupun amal batin dalam rangka pembersihan hati, seperti sabar, rela hati, ikhlas, tawakal, cinta, dan seterusnya.
Hakikat tanpa syariat batil atau sia-sia, sebaliknya (amal) syariat tanpa hakikat hampa, kosong. Syekh Arsyad dalam Fathur Rahman menyebut susunan syariat, tarikat dan hakikat itu seperti buah kelapa: kulitnya yang keras harus dikupas dengan mujahadah syariat, daging/isinya dinikmati atau diolah dengan rasa tarekat, hingga menghasilkan minyak atau makanan/minuman yang bermanfaat sebagai hakikatnya.
Amal zahir itu akan menjadi baik dengan sendirinya, ketika ia dilakukan dengan hati yang tulus (ikhlas, ridha, sabar) sebagai wujud dari penghambaan yang sempurna. Apabila baik batin seseorang, kata pengarang Futuhul ‘Arifin, baiklah pula seluruh amal zahirnya. Untuk mendapatkan hati yang tulus demikian, maka pengenalan yang benar atas Kemahakasihan-Nya penting untuk dihayati-dan-renungkan. Mengekali zikir dan tafakur, adalah jalan mengenal-Nya.
Dalam hal terakhir inilah diperlukan latihan (riyadhah) dan kesungguhan (mujahadah). Adapun anugerah pengenalan (makrifah) itu sendiri datangnya dari Allah, bukan sesuatu yang dapat diupayakan. Untuk memahaminya perlu pemahaman yang benar, terkait af’al, bahwa Allah adalah Yang Mencipta (Khalik) sedangkan hamba hanya mampu berusaha (kasib). Usaha yang tulus mendatangkan makrifat ke dalam batin hamba, banyak-sedikitnya amal diupayakan sesuai kemampuan dan kesungguhan si salik. Ia yang telah berencana dan berkehendak kuat, lalu mencoba dan terus berupaya akan mendapatkan buah dari upayanya. Kecintaannya mendatangkan Cinta-Nya, dan berbuah mawahib laduni, serupa bunga yang bermekaran di dalam hati.
Pengetahuan yang benar akan menghapus segala keraguan di hatinya. Imam al-Ghazali, kutip Ibnu Ubbad, menyatakan: Haruslah di setiap maqam dari maqamat (tingkatan) yakin itu beriringan dari ilmu, hal, dan amal. Amal menghasilkan hal, begitupula hal menghasilkan amal. Keduanya tak terpisah dan saling berkesinambungan, dan dengan dorongan pengetahuan (ilmu) yang benar atas apa yang diperbuat.
Kesadaran yang demikian akan terus mendorong seseorang berbuat baik. Jika ia ragu dan bimbang, baiknya ia merenungkan apa yang dikerjakannya, apakah keadaannya menjadi lebih baik dengan amalnya, apakah amalnya menjadi makin baik dengan keadaannya yang sekarang?
Melihat kebaikan harus pula melibatkan Tuhan. Tanpa pengenalan yang benar terhadap-Nya, jangan-jangan yang kita sangka baik justru sebaliknya. Siapa tahu standar kebaikannya hanyalah standar relatif yang rendah, karena tampak baik di mata orang sekelilingnya yang hanya lebih buruk darinya. Renungkanlah, hai salik, karena kecintaanmu pada-Nya.
Allah Swt berfirman (Q.S. Ali Imran: 31), “Katakanlah (hai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
Baca Juga
https://alif.id/read/hajriansyah/hikmah-memahami-syariat-dan-hakikat-b249098p/