Laduni.ID, Jakarta – Panggung sejarah umat manusia tidak lepas dari cerita tentang kemiskinan. Negeri-negeri yang terkenal berperadaban tinggi masih juga menyisakan sebingkai potret kemiskinan di pojok peradabannya. Di masa lampau, Mesir adalah wilayah yang sangat subur. Letak geografis Mesir yang dilintasi sungai Nil menjadi faktor utama kesuburan tersebut. Beragam tumbuhan dan pepohonan memberikan hasil yang melimpah bagi penduduk yang hidup di negeri Paraoh ini. Namun jumlah masyarakat miskin di Mesir masih banyak. Kondisi mereka cukup memprihatinkan. Golongan orang kaya menjarah hampir semua sumber-sumber kehidupan.
Yusuf Al-Qardawi dalam karyanya Fiqh Az-Zakah menjelaskan bahwa ketika kelaparan melanda Mesir pada masa Dinasti XII, orang-orang miskin menjual diri mereka kepada orang-orang kaya, rela menjadi budak demi mempertahankan hidup. Kerajaan Babilonia hampir sama dengan Mesir. Orang-orang miskin di Babilonia tidak bisa menikmati hasil-hasil negeri mereka karena harus disetorkan ke Persia. Keadaan miris yang serupa juga terjadi di zaman Yunani. Banyak raja-raja Yunani yang melakukan tindakan-tindakan irrasional, seperti menggiring orang-orang miskin ke tempat-tempat khusus, mencambuk tubuh mereka, menyiksa dan membantainya.
Namun, setiap generasi juga mencatat adanya golongan masyarakat yang prihatin dan peduli terhadap nasib orang miskin. Di lembah Eufrat-Tigris pada 4000 SM, hidup seorang tokoh bernama Hammurabi. Dialah orang pertama yang menyusun peraturan tertulis dan mengatakan bahwa Tuhan mengutus dirinya ke dunia ini untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Hammurabi membela kepentingan orang-orang lemah, membimbing manusia, serta berjuang menciptakan kemakmuran buat seluruh umat. Beribu- ribu tahun sebelum masehi, orang-orang Mesir Kuno merasa diri mereka menyandang tugas agama untuk menjadi penolong orang-orang miskin dan lemah.
Sebenarnya, agama-agama langit memiliki seruan yang lebih tegas daripada buah pikiran manusia (filsafat) atau agama ciptaan manusia dalam upayanya melindungi orang-orang miskin dan tertindas. Seruan para Nabi dan Rasul, terlebih ajaran tentang zakat, berorientasi untuk mengentaskan kemiskinan, memakmurkan kehidupan, dan menghapus diskriminasi sosial- ekonomi. Inilah salah satu tujuan utama dari ajaran tentang zakat yang diwajibkan oleh agama-agama langit.
Ditilik dari sudut etimologi, menurut Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram Al-Ansari Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab, kata “zakat” merupakan kata dasar dari zaka yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji, yang semua arti itu sangat popular dalam penerjemahan Al-Quran maupun Hadis. Sesuatu dikatakan zaka apabila ia tumbuh dan berkembang, dan seseorang disebut zaka apabila ia bersifat baik dan terpuji. Ditinjau dari segi terminologi fiqih seperti yang dikemukakan oleh pengarang Kifayah Al-Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakar, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diserahan kepada orang-orang yang berhak dengan syarat-syarat tertentu. Jumlah yang dikeluarkan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan dari kebinasaan.
Dari pengertian zakat secara terminologis di atas tersirat adanya kehendak dalam ajaran Islam untuk menciptakan keharmonisan antara orang-orang yang kaya dengan orang-orang yang belum beruntung. Mengeluarkan sebagian harta kemudian diserahkan kepada orang-orang yang tidak mampu adalah unsur terpenting dalam regulasi zakat itu sendiri. di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak milik orang-orang miskin. Dengan zakat pula, distribusi kekayaan menjadi lebih merata. Zakat dapat pula dijadikan simbolisasi keharmonisan hubungan horizontal antar sesama manusia, di mana orang yang kaya peduli kepada nasib orang miskin. Dengan kata lain, zakat adalah media untuk mengentaskan kemiskinan dan menghapus penderitaan yang selalu ada dalam pentas sejarah hidup manusia.
Saat ini, terdapat beberapa negara Islam yang telah mewajibkan secara legal formal pembayaran zakat. Di Indonesia, pembayaran zakat juga memiliki payung hukum, sekalipun tidak “memaksa” sebagaimana di negara-negara Islam lainnya. Rumah- rumah zakat menjamur sekalipun banyak lembaga amil zakat yang dikelola tidak dengan profesionalitas tinggi. Pada dasarnya, hal itu bukan persoalan yang paling penting. Target terpenting adalah bagaimana zakat menjadi medium utama dalam mengantarkan bangsa dan negara menuju gerbang kesejahteraan dan kemakmuran.
Di sisi lain, Islam turun ke dunia sebagai rahmatan lil ‘alamin. Salah satu misi Islam adalah untuk mengentaskan kemiskinan. Ajaran zakat dalam Islam adalah simbol kepedulian sosial terhadap kesenjangan ekonomi, perhatian atas fenomena kemiskinan, dan cita-cita akan kesejahteraan umat. Melalui zakat, Islam tidak akan membiarkan kemiskinan merajalela dan menjamur di atas pentas sejarah hidup manusia.
Peradaban Islam adalah cermin kultural dari kalangan elit yang dibangun dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan perubahan sosial. Peradaban Islam terbentuk berkat penaklukan bangsa Arab selama delapan tahun masa pertempuran. Nabi Muhammad SAW berusaha meraih kekuasaan atas suku-suku dalam rangka menundukkan Mekah. Sejumlah utusan dan duta dikirim ke seluruh penjuru Arabia. Sementara suku-suku bangkit untuk menyampaikan kesetiaan, membayar zakat dan pajak, sebagai simbol keanggotaan dalam komunitas muslim dan simbol menerima Muhammad sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat (‘Umar ibn Al-Khattab, Ibnu Qais ‘Ubadah ibn Samit dan Mu‘az ibn Jabal) sebagai ‘amil zakat (pengumpul zakat) di tingkat daerah. Mereka bertanggung jawab membina berbagai negeri guna mengingatkan para penduduknya tentang kewajiban zakat. Zakat diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong mereka yang membutuhkan.
Pada masa Nabi Muhammad SAW ada lima jenis kekayaan yang dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan, hasil pertanian (gandum dan padi) dan buah-buahan, dan rikaz (barang temuan). Selain lima jenis harta yang wajib zakat di atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode kepemimpinan Rasullah SAW juga dikenakan wajib zakat.
Dalam bidang pengelolaan zakat Nabi Muhammad SAW memberikan contoh dan petunjuk oprasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis tersebut dapat dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari: (1) Katabah, petugas yang mencatat para wajib zakat, (2) Hasabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat, (3) Jubah, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki, (4) Khazanah, petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan (5) Qasamah, petugas yang menyalurkan zakat pada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Wallahu A’lam. []
Penulis: Kholaf Al Muntadar
Editor: Fahrul