Otoritas Keagamaan dan Genealogi Islam Indonesia

Saat membaca buku What is Religious Authority? karya Ismail Fajrie Alatas, saya terkesima dengan data-data dan narasi penulisannya. Buku ini merupakan produk akademik yang bisa menjadi rujukan dalam melihat bagaimana dan apa itu otoritas keagamaan bekerja dalam lanskap kehidupan beragama, terutama di Indonesia. Fajri (yang akrab disapa Bib Aji) mengungkap itu semua dalam buku ini. Pada bagian awal, ia memulai perihal otoritas keagamaan Islam dan perannya dalam merangkai jamaah Muslim yang bertumpu pada ajaran Nabi. Bib Aji menceritakan bagaimana pengalamannya ketika seorang bernama Suryo bertemu dengan Habib Luthfi. Dalam hal ini, Suryo mengklaim dirinya bahwa ia telah diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai Imam Mahdi, seorang satria piningit yang akan memimpin umat Muslim di Hari Kiamat nanti dan mengembalikan ajaran Nabi.

Buku ini pada dasarnya mengungkap perihal Habib Luthfi dan para wali, serta ulama lainnya yang berupaya mengembangkan jamaah yang berfungsi sebagai situs transmisi dan realisasi sosial ajaran Nabi. Dalam hal ini aktor-aktor tersebut berusaha mengartikulasikan visi yang bersifat spesifik dan seringkali berlawanan perihal sunnah atau pranata normatif Nabi Muhammad. Namun, sunnah juga tidak pernah dituliskan semasa Nabi Muhammad hidup. Lebih lanjut, perihal pengumpulan riwayat yang telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun dan bahkan berabad-abad lamanya sepeninggal Nabi, dan oleh karena itu tidak serta merta merupakan sebuah dokumentasi sejarah ihwal perkataan dan perbuatan Nabi yang sezaman. Atas dasar tersebut, umat Muslim tidak pernah bersepakat atas kandungan spesifik sunnah, meski semua telah mengakuinya otoritasnya sebagai salah satu sumber dasar Islam (hlm, xxiii).

Bib Aji juga berupaya menekankan pada hubungan segitiga antara sunnah, penghubung, dan jamaah. Ketiga hal tersebut saling membentuk satu sama lain dalam memahami penyebaran Islam. Jika kita tahu selama ini penyebaran Islam umumnya digambarkan sebagai suatu yang linear, di mana didalamnya ajaran Islam yang baku, namun seringkali disampaikan dan disebarkan hingga mengakar dalam, melebur, dan membentuk sosiokultural baru. Dalam hal ini, maka dapat dilihat bahwa mengikuti para aktor penyebaran Islam, kita dapat memperoleh perspektif mendasar dan melihatnya sebagai proses yang rumit (hlm, liii).

Buku What is Religious Authority? juga memuat penjelasan paradigma artikulasi yang memiliki pengaruh besar dalam konteks Hadramaut dan Jawa. Hal ini dipelopori oleh ‘Abdallah bin Alawi Al-Haddad (w. 1720). Paradigma ini bermula sebagai suatu kerja artikulasi sunnah kepada kabilah-kabilah di Hadramaut. Dalam konteks tersebut, beberapa moda artikulasi pra-Haddadiyah juga menunjang tumbuh dan berkembangnya berbagai bentuk komunitas Islam dalam berbagai skala yang ada di Jawa dan Hadramaut (hlm. ixv). Beberapa komunitas tersebut memiliki figur otoritas tertentu dan diakui memiliki hubungan ke masa lalu kenabian dan wujud hidup ajaran Nabi. Selanjutnya, dalam bab dua buku ini berupaya menyoroti perihal Al-Haddad dan upayanya dalam merumuskan moda kerja artikulasi baru yang mengalihkan penekanan Islam dari pencapaian tokoh-tokoh luar biasa atas ajaran Nabi yang berbasis pada teks dan cenderung mudah dipahami oleh kalangan awam.

Lebih lanjut, Bib Aji juga melakukan eksplorasi atas kinerja otoritas agama dalam lanskap keagamaan di Indonesia, terutama sirkulasi jaringan habaib, ulama, dan sultan di Jawa yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing dalam menyebarkan sunnah dan merangkul jamaah sesuai dengan konteks masyarakatnya. Saya rasa Bib Aji juga begitu cermat melihat bagaimana proses dan dinamika otoritas agama yang terjadi dalam konteks Jawa. Hal ini dapat diketahui dengan upaya yang ia lakukan dalam penelusurannya tentang kemunculan manshobah Ba ‘Alawi di Jawa, di mana munculnya jamaah baru yang serupa dengan bentuk jamaah yang dulu pernah di kawasan Hadramaut. Dalam pendapatnya, ia menilai bahwa pertumbuhan, segregasi, dan diversifikasi yang dilakukan oleh perantau Hadrami cenderung eksklusif dan ditandai dengan rasa identitas etnis yang tinggi (hlm. 118).

Di bagian kedua dalam bukunya, Bib Aji menguraikan perihal munculnya komunitas Islam yang berkembang di Jawa, yakni Kanzus Shalawat, dan komunitas ini dipimpin oleh seorang ulama Ba ‘Alawi dan mursyid terkemuka di Indonesia, Habib Luthfi bin Yahya (l. 1947) dari Pekalongan. Habib Luthfi menjadi figur yang terkemuka dan otoritatif. Meski ia dipengaruhi oleh paradigma Haddadiyah, tetapi ia cenderung berusaha melampaui paradigma artikulasi Ba ‘Alawi yang dominan dan menggunakan berbagai moda artikulasi yang secara historis telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Ia berupaya menyesuaikan dan memperluas cakupan sunnah dengan mengenalkan ajaran-ajaran baru, mengikuti kecenderungan para muridnya yang berubah, tanpa dianggap melakukan upaya penyimpangan dari ajaran Nabi (hlm. 166).

Pada bab “Infrastuktur” dalam bukunya, poin menarik yang menjadi kritik Bib Aji atas pendapat Hannah Arendt bahwa “otoritas tidak bertumpu pada nalar atau kuasa yang memerintah”, tetapi terkait pada pengakuan atas hierarki yang dianggap benar dan sah oleh semua pihak terkait (hlm. 207). Hal ini terkait perihal hubungan anara mursyid dan murid yang dilihat dari perspektif kuasa. Bib Aji berpendapat bahwa otoritas pemuka agama Islam sangat bergantung pada bagaimana hubungan hierarkis yang memungkinkan ia mengartikulasikan ajaran-ajaran Nabi kepada yang lain (hlm. 207). Dalam konteks ini mengartikan bahwa pembentukan otoritas memerlukan kinerja dalam membangun dan menjaga infrastruktur, baik konseptual dan material yang mampu menunjang transmisi melintasi batas ruang dan waktu.

Tidak hanya mengulas mengenai otoritas keagamaan semata. Buku What is Religious Authority? juga menyoroti hubungan dan aliansi Habub Luthfi dengan aktor negara. Hal ini membuat Habib Luthfi dapat menyelenggarakan berbagai acara yang membuatnya mampu mengartikulasikan sunnah di wilayah baru yang sebelumnya secara terang-terangan berupaya menolaknya. Bahkan hal tersebut membuat otoritas religius Habib Luthfi semakin kuat dan berkat itu ia memulai proyek penyusunan hagiografi leluhurnya yang tidak diketahui dan tidak tercatat dalam sejarah habaib di Indonesia (hlm. 250).

Terakhir, Bib Aji juga mengungkap bahwa Habib Luthfi menjadi titik akhir dari berbagai silsilah penyebaran Islam yang otoritatif, menghubungkan Jawa kontemporer dan masa lampau kenabian. Melalui komposisi hagiografis, Habib Luthfi juga menampilkan dirinya sebagai penerus garis keturunan dinasti kewalian Ba ‘Alawi dan keterhubungan dengan ulama Haddadiyah, serta dinasti raja keraton Yogyakarta (hlm. 287). Maka jika membaca buku What is Religious Authority? secara keseluruhan, maka pada dasarnya buku ini telah menunjukkan bagaimana Islam sebagai suatu realitas sosiologis adalah produk dari praktik artikulasi dala suatu lingkup sejarah dan budaya tertentu dengan menyelaraskan jamaah dengan ajaran normatif Nabi. Hal ini menjadikannya sebagai situs transmisi dan perwujudan dari sosial ajaran tersebut. Lebih dari itu, buku ini adalah hasil dari kerja akademik yang serius dan layak dibaca sebagai rujukan otentik dalam melihat dan menelaah otoritas keagamaan di Indonesia, khususnya genealogi habaib dan sirkulasi jaringan otoritas agama para ulama.

Judul Buku                  : What is Religious Authority?: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah

Penulis                        : Ismail Fajrie Alatas

Penerbit                      : PT. Bentang Pustaka

Tahun                          : Januari 2024

Jumlah Halaman         : x + 335 halaman

ISBN                           : 978-602-441-331-6

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/fmt/otoritas-keagamaan-dan-genealogi-islam-indonesia-b249183p/