Asisten Rumah Tangga sebagai Agen Budaya dan Stigma Tentangnya

Beberapa waktu lalu seorang teman mengeluh dan meminta bantuan kepada saya: ia minta dicarikan asisten rumah tangga (ART) untuk keluarga kecil-barunya.

Saya memang teman dekatnya, tapi saya bukan penyalur tenaga kerja. Kenapa dia meminta bantuan saya dan bukan mencari babysitter dengan googling alamat kantor penyedianya?

Katanya, karena saya dari kampung. ART dari desa dianggap lebih rajin, lebih menurut, tidak suka membantah dan yang pasti, lebih murah dan lebih setia bekerja kepada majikannya, begitu menurut pandangannya.

Saya yakin banyak orang mempunyai nasib seperti teman saya tersebut. Bagi keluarga, terutama di kota besar seperti Jakarta, kehadiran ART menjadi kebutuhan pokok. Dengan anak-anak yang masih kecil dan kesibukan pekerjaan yang menyita waktu ditambah dengan jarak rumah dan kantor yang membuat hidup lebih banyak habis di jalanan, ART menjadi vital. Tak ada ART dalam kehidupan satu keluarga seperti keseharian seseorang yang hidup dengan satu ginjal. Memang masih bisa hidup, tapi terancam limbung dan tak kuat menghadapi beban hidup.

Semua seakan menjadi lebih gampang dengan adanya ART. Mereka mampu menjadi peran komplementer yang substansial: jika para orang tua memandikan dan mengurusi anak-anak yang masih kecil, ART bisa mengurus rumah, mencuci dan menyeterika baju atau membantu ibu memasak di dapur. Jika kedua orang tua pergi ke kantor, ART menggantikan peran menjadi orang tua seharian bagi anak-anak yang bisa jadi tidak akan ketemu ayah ibunya seharian karena belum pulang dari kantor hingga larut malam. Tak ada ART beban hidup seakan menjadi lebih berat dan sebaliknya, ada ART, semua menjadi lebih mudah dan tertata.

Kultural

Kita tahu, sebutan ART saat ini adalah eufimisme (penghalusan) dari istilah pembantu seperti yang kita kenal sebelumnya. Dan kita tahu kata pembantu itu sendiri berasal dari sejarah (sosial) yang panjang. Pembantu adalah orang-orang yang dipekerjakan sebagai tenaga yang menyelesaikan berbagai macam pekerjaan rumah tangga.

Fungsi sosial ini memang sudah ada di masyarakat kita sejak jaman kerajaan dimana terdapat stratifikasi yang membedakan derajat kaum ningrat atau bangsawan dengan masyarakat biasa atau rendahan. Di jaman kerajaan mereka mengabdi pada raja atau penguasa sebagai abdi dalem atau bekerja mengurus hal-hal khusus di rumah orang-orang kaya yang mampu mempekerjakannya.

Pada zaman penjajahan, derajat sosial tertinggi dihuni oleh orang-orang kaya Eropa yang memiliki rumah besar dan hidup mewah. Untuk itu, mereka memiliki budak-budak untuk mengerjakan banyak pekerjaan rumah. ‘Jongos’ untuk menyebut budak laki-laki, dan ‘babu’ untuk menyebut budak perempuan. Belasan hingga ratusan budak dipekerjakan sebagai tukang masak, tukang kebun, pengasuh anak, dan pekatik (tukang kuda) di rumah-rumah orang Eropa.

Terkait dengan babu, Hairus Salim dalam tulisannya di Majalah Tempo (2013), menyebut bahwa istilah ‘babu’ digunakan sebelum perang kemerdekaan 1945. “…‘babu’: perempuan pembantu rumah tangga, demikian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), yang kurang-lebih meneruskan pengertian yang dikemukakan W.J.S. Poerwadarminta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1952) sebagai hamba perempuan, yang mengurus kamar, menyusui anak, mencuci.”

Hingga kini, pemahaman tersebut jamak terjadi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Tapi dibalik itu semua, meskipun berfungsi sosial, posisi pembantu sebenarnya berkaitan dengan aspek kultural yang penting. Irfan S Fauzi (2020) menyebut bahwa Di Jawa, pembantu rumah tangga disebut sebagai batur. Di Kamus Basa Jawabatur berarti kanca; wong sing mèlu wong liya (ngrèwangi pegawèan). Meski posisinya subordinan dengan majikan, dalam tradisi Jawa, batur dianggap selayaknya anggota keluarga. Dalam memilih batur, lumrah jika calon majikan akan mempertimbangkan asal usul, latar belakang, kampung halaman, dan lain-lain. Bahkan Umar Kayam (1990) menempatkan pembantu bukan berada dalam peran pinggiran tapi punya posisi penting, tak cuma dalam kehidupan keluarga, tapi juga dalam kebudayaan. Jika abdi dalem adalah penjaga budaya, maka pembantu adalah agen budaya.

Hal ini bisa diidentifikasi sejak jaman penjajahan kolonial dimana pada waktu itu telah terjadi percampuran budaya antara kaum Belanda yang tinggal di Nusantara yang melibatkan para pembantu rumahnya. Nur Janti (2018) menyebut bahwa dalam kesehariannya, Nyonya Belanda mengenalkan makanan kaleng, alat jahit, dan masakan Eropa pada babu mereka. Itu sebabnya keluarga-keluarga kaya Eropa memiliki seorang babu masak (koki) yang dapat memasak hidangan Eropa dan Nusantara. Sementara para babu mengenalkan pola hidup tropis dengan mandi dua kali sehari dan tidur siang. Di bidang busana, gaya pakaian perempuan Belanda kelas atas dipengaruhi oleh pengasuh atau ibu pribumi mereka. Para perempuan muda mengenakan kebaya dan sarung setinggi lutut ketika berada di dalam rumah. Sementara, beberapa lelaki Belanda memakai piyama batik untuk tidur. Gaya berpakaian ini menjadi bagian adaptasi terhadap iklim tropis Nusantara.

Lebih jauh, hubungan antara majikan Belanda dan para pembantu rumah tangga perempuannya menghadirkan kedudukan Nyai, sebuah posisi sosial kultural, yang membawa konsekuensi yang kompleks pada masanya.

Waktu berlalu. Jaman boleh berganti tapi pembantu rumah tangga masih tetap ada, bahkan lebih banyak jumlahnya. Saat ini, dengan makin tegasnya kelas-kelas sosial yang muncul sebagai efek pembangunan, pembantu masih berada di posisi yang sama. Di rumah-rumah majikannya, pembantu membawa produk budaya daerah asalnya yang terwujud melalui berbagai macam kebutuhan dan aktifitas keluarga yang disiapkan olehnya. Mulai dari menu masakan, pertemuan bahasa, dialek, penampilan, musik, kebiasaan hingga kisah kampung halaman dan tradisi/filosofi kampung halamannya.

Masalah Sosial

Peran penting pembantu rumah tangga sebagai agen kebudayaan itu pada saat yang sama juga berkelindan dengan berbagai masalah sosial yang mengikutinya. Kebanyakan para ART adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak terlatih. Bagi mereka, menjadi ART adalah pilihan hidup diantara buruh kasar, pekerja pabrikan. Oleh karenanya dianggap sebagai pekerjaan rendahan dan kedudukannya subordinan sehingga tidak punya daya tawar sama sekali. Maka kerap kita dengar kabar kejahatan dalam berbagai bentuk seperti penipuan, penyiksaan, penyekapan, dan bahkan pembunuhan terhadap ART. Mereka diperlakukan layaknya kasta terendah yang tidak punya hak atas dirinya sendiri.

Kedudukannya “diperalat” menjadi penyebutan sebuah stigma negatif mengenai etos dan sikap yang tak berkualitas. Sebutan bangsa babu, bangsa jongos, bangsa kuli, bangsa budak, menjadi bukti pernah digunakannya diksi yang berkaitan dengan ART, untuk menunjuk suatu konteks permasalahan sosial yang lebih luas.

Seperti yang selama ini terjadi dalam permasalahan laten antara Indonesia dan negara tetangga mengenai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di luar negeri. Para TKI yang banyak bekerja di bidang-bidang non formal kerap menjadi permasalahan dan (dianggap) melanggar UU negara setempat. Tensi kedua negara kerap meninggi terlebih dengan kesan Malaysia pernah menganggap Indonesia adalah negara babu (republika.co.id, 4/2/2015).

Disatu sisi hal ini membuktikan adanya permasalahan sosial negara yang tak mampu memberi kehidupan yang layak bagi para warganya, tapi dilain pihak, TKI menjadi penyumbang devisa yang tak sedikit bagi bangsa. Bahkan ada sebuah gurauan bahwa ekspor terbesar Indonesia bukan dari minyak bumi, gas alam atau batu bara, tapi dari haji dan TKI. Ironis.

ART, pandangan masyarakat kepada perempuan dan masalah emansipasi, sepertinya masih menjadi problematika laten yang tak kunjung selesai sampai saat ini. Dan teman tersebut, saya dan barangkali kita semua, masih terus mencoba mencari solusinya.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/asisten-rumah-tangga-sebagai-agen-budaya-dan-stigma-tentangnya-b249244p/