Bantahan Atas Argumen-Argumen penyebab Perang Jamal

Laduni.ID Jakarta – Peristiwa ifk adalah rekayasa kaum munafiqun. Meski Ali berpendapat, “Ya Rasulullah, apa yang perlu dikhawatirkan? Masih banyak perempuan lain”

Saat Rasul menanyakan pendapat Ali, tidak ada satu riwayatpun yang memperlihatkan Aisyah dendam karenanya. Aisyah adalah tipe orang yang senang berterus terang sehingga bila ia tidak suka akan pendapat Ali, ia pasti akan langsung membantahnya dan bukan menyimpannya sebagai dendam

Allah dan RasulNya mengakui dan memilih Aisyah sebagai wanita yang memiliki keutamaan lebih dari wanita mukmin lainnya. Sehingga tidak mungkin Aisyah memiliki hati yang buruk lagi rusak (dendam, iri, dsb).

Peristiwa ‘ifk telah berakhir dengan turunnya QS. An Nur.

Ketidak ridho terhadap apa-apa yang diturunkan Allah mencerminkan kemunafiqan dan kita tahu bahwa para sahabat termasuk istri Nabi adalah orang-orang yang mendapat pujian dari Allah. Mereka pun bukanlah bagian dari golongan orang-orang yang munafik.

Baca Juga: Perang Saudara Dalam Islam

Pernyataan Aisyah sendiri saat perang berakhir membuktikan tidak ada dendam lama atau baru dalam perang jamal, sebagaimana yang terungkap dalam kitab Imam ath-Thabari

‏قالت: يا بنيّ، … إنه والله ما كان بيني وبين عليّ في القديم إلاّ ما يكون بين المرأة وأحمائها؛ وإنه عندي على معتبّي من الأخيار. وقال عليّ: يا أيها الناس، صدقت والله وبرّت، ما كان بيني وبينها إلاّ ذلك، وإنها لزوجة نبيّكم صلى الله عليه وسلم في الدنيا والآخرة

“Aisyah berkata: wahai sekalian manusia demi Allah, tidak terdapat apapun diantara aku dan ‘Ali, dari sejak dulu, melainkan perkara biasa antara seorang perempuan dengan ahli keluarganya saja. Dan sesungguhnya ‘Ali disisiku merupakan orang yang terpilih.

Kemudian ‘Ali menjawab: wahai sekalian manusia, Demi Allah benar dan tepatlah perkataannya. Tidak terdapat apa-apa antara aku dan dia, Cuma itu saja. Sesungguhnya dia adalah isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallah kalian di dunia dan akhirat”(Ath-Tabari, Tarikh al-Rusul, 3: 66)

Hubungan Aisyah dan Fathimah baik-baik saja.

Rasulullh pernah bertanya pada Fathimah, ‘Apakah engkau menyayangi orang yang aku sayang?’ Lalu Fathimah menjawab,’Ya’.

Kemudian Rasul bertanya lagi,’Apakah Engkau membenci orag yang aku benci?’ dan Fathimah menjawab,’Ya’.

Kemudian rasul bersabda,’Aku sendiri sayang Aisyah, maka hendaklah engkau sayang kepadanya.’

(Al Syaukani, Darr al al-shahabah, hal. 320-321,petikan dari Majma’ al Zawaid, jil IX, hal. 241)

Adapun tuduhan bahwa Aisyah menginginkan kekuasaan bagi keponakannya, Abdullah bin al Zubair, sangatlah tidak benar.

Hal ini dibantah sebab saat itu Abdullah masih sangatlah kecil sedang ayahnya, yakni Zubair telah memenuhi kualifikasi menjadi kholifah.

Kenapa Aisyah tidak mendukung Zubair saja?

Perkataan bahwa perang Jamal terjadi karena Aisyah dendam pada Ali yang menentang ayahnya (Abu Bakar) sangat berlawanan dengan fakta sejarah.

Sebab Ali sebagaimana sikap para sahabat yang lain, termasuk orang yang paling awal membai’at Abu Bakar dan mendukung pemerintahannya sampai ajal menjemput Abu Bakar.
 

Baca Juga: Sekjen Alumni Suriah: Indonesia Diperkirakan Segera Perang Saudara Seperti Suriah

Tujuan Aisyah, Thalhah, dan Zubair mendatangi Basrah bukan Madinah. Padahal bila ditilik jarak antara Mekah ke Madinah (tempat Ali berada/ ibu kota negara) lebih dekat daripada Mekah ke Basrah.

Hal ini memperlihatkan bahwa Ummul Mukminin bertujuan untuk memerangi orang-orang yang langsung terlibat pada pembunuhan Utsman. Adapun melewati Madinah, beliau bermaksud mengajak khalifah Ali menggabungkan tentaranya guna memerangi para pemberontak itu (Saba’iyah).

Maksud ini diketahui oleh para penentang yang telah menyusup di antara kelompok Ali dan kelompok Aisyah. Mereka khawatir bila kedua kelompok ini bertemu maka merekalah yang akan kena getahnya.

Akhirnya malam sebelum tercetusnya perang Jamal, mereka mengadakan rundingan yang isinya seruan kepada anggotanya (Saba’iyah) untuk membuat kegaduhan di esok hari hingga tercetuslah perang tanpa memberi kesempata bagi kedua belah pihak untuk berpikir panjang.

(al Tabhari, Tarikh ar Rusul, jil IV lihat juga Saif al Dhabi, al Fitnah, hal 149, lihat juga kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah).

Perang jamal (unta) terjadi pada 36 H/656 M, sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan “baik Ummul Mukminin Aisyah” untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin.

Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah ra, az-Zubair bin al-‘Awwam ra, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin barisan Ali dan Aisyah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak.

Malam itu pun menjadi malam yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian.

Namun, para penyulut fitnah dari khawarij tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan.

Khalifah Ali bin Abi Thalib menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan.

Yang harus diketahui, tidak ada shahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja. Sesungguhnya Nabi telah mengkhabarkan ‘Ali bahwasannya antara dia dan Aisyah akan timbul permasalahan.

Baca Juga: Korban Tewas Meningkat Menjadi 47 orang dalam Peristiwa Perang Saudara di Libya

Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib : “Bahwasannya antara kamu dan Aisyah nanti akan ada satu permasalahan”. ’

Ali bertanya : ”Saya kah wahai Rasulullah ?”.

Beliau menjawab : ”Ya”.

Ali kembali bertanya : ”Apakah saya orang yg celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah?”.

Beliau menjawab :”Tidak, akan tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.

(Dan Khalifah Ali melakukan apa yang di perintahkan oleh Rasullulah, sebagaimana kisah di atas)

Dan hal yg menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim dari jalur Qais bin Abi Haazim, ia berkata :

“Ketika ’Aisyah sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing  (di tempat tersebut) menggonggong.

Berkata ’Aisyah : ”Perairan apakah ini ?”.

Mereka pun menjawab : ”Al-Hauab”.

Aisyah berkata : ”Aku kira aku harus kembali pulang”.

Lalu Az-Zubair berkata kepadanya : ”Tidak, bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”.

Aisyah berkata : ”Namun aku kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah bersabda : ”Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”

Imam Adz-Dzahabi berkata:“Kemudian dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Aisyah mengurungkan keinginannya agar jenazahnya dimakamkan di kamarnya bersama Rasulullah.

Ismail bin Abi Khalid meriwayatkan dari Qais, ia bercerita bahwa tatkala Aisyah menyampaikan keinginannya agar jenazahnya dimakamkan di kamarnya, ia berkata: “Sesungguhnnya aku telah melakukan satu kesalahan sepeninggal Rasulullah.

Oleh sebab itu, kuburkanlah aku bersama dengan istri-istri beliau yang lain.”

Maka Aisyah pun dikuburkan di pemakaman Baqi’ (letaknya di sebelah timur Masjid Nabawi).‘

Imam Adz Dzahabi berkata: “Kesalahan yang dimaksud Aisyah adalah keikut sertaannya dalam perang Jamal.

Baca juga: Putin: Islam dan Perang Amerika di Masa Depan

Aisyah sangat menyesal dengan penyesalan yang amat dalam dan bertaubat atas kesalahan tersebut. Bahwasanya ia melakukannya karena ta’wil dan hanya mengharap kebaikan sebagaimana ijtihad Thalhah bin Abdullah, Zubair bin Awwam dan sahabat lainnya.”

Aisyah sebenarnya tidak ikut perang, dan tidak berangkat untuk berperang. Ia hanya berangkat dengan maksud mendamaikan kaum muslimin, dan mengira bahwa keikut sertaannya akan mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin.

Akan tetapi kemudian ia sadar bahwa yang lebih baik ialah bila dirinya tidak berangkat. Sehingga tiap kali ia mengingat keberangkatannya ke Perang Jamal, iapun menangis hingga kerudungnya basah oleh air mata. Demikian pula seluruh sahabat yang tergolong assaabiquunal awwaluun.

Mereka menyesali keterlibatan mereka dalam perang saudara, Thalhah, Zubeir, dan Ali semuanya menyesali hal tersebut. Tragedi Perang Jamal benar-benar diluar dugaan mereka, dan mereka sama sekali tidak punya niat untuk berperang.”

Berikutnya adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam Perang Siffin.

Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.

Perundingan inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang “kalah”, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi lain.

Syam mengutus Amru Bin ‘Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya.

Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.

Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Ali.

Khawarij itu, Tiga untuk Tiga.. Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut.

Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.

Baca Juga: FKDMI: Ajak Masyarakat Perangi Radikalisme dan Terorisme

Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu.

Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.

Karena itu, Ali sempat berkata,” “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku.

Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang.

Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

“Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara”. Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra

saat mengucapkan kalimat itu. Mereka menawarkan jalan cerah, tapi kita umatnya memilih kegelapan yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin memusuhinya.

Semoga kita terhindar dari kelakuan keji itu..

Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali berikrar setia pada beliau.

Namun, Allah berkehendak lain, setelah berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Baca Juga: Trump Tak Yakin Perang Dagang AS-China Bisa Selesai

Detik-Detik Sayyidina Ali ra Wafat

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya.

Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid.

“Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”.

Ali berteriak di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya.

Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.

Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.”

yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama,

melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Islam telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.

Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.

Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah :

“Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari”.

Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan.

Ali berkata: “Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit”.

Baca Juga: Keteladanan Saidina Ali dan Imam Syafi’i

Dan masih banyak lagi perkataan beliau yang menjadi inpirasi bagi umat

Khalifah Ali ra adalah sebuah legenda. Dan legenda tidak akan pernah mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu.

Hadirkan para legenda Islam termasuk beliau, dalam benakmu niscaya ia akan menjadi penerang bagimu, seterang-terangnya cahaya yg pernah ada di muka bumi
———
Oleh: Habib Sayid Machmoed BSA
Editor: Nasirudin Latif
 

https://www.laduni.id/post/read/72465/bantahan-atas-argumen-argumen-penyebab-perang-jamal.html