Laduni.ID, Jakarta – Ada sejumlah kontradiksi yang secara faktual dihadapi oleh perempuan di Indonesia, terlepas dari klaim dukungan negara dan masyarakat terhadap peran serta kontribusi perempuan bagi kehidupan publik.
Kontradiksi tersebut antara lain, inkonsistensi penegakan aturan formal yang menempatkan perempuan sebagai subyek warga negara yang setara dengan partner laki-lakinya; masih bertahannya pandangan sebagian besar publik Indonesia yang melihat asosiasi antara perempuan; dan kerja wilayah domestik sebagai bagian dari hukum alam yang dibarengi dengan pandangan melihat kerja wilayah domestik merupakan subordinat dari kerja di wilayah publik.
Dalam situasi tersebut, satu sisi ide emansipasi perempuan telah relatif diterima sebagai norma masyarakat Indonesia modern. Namun juga tak bisa dipungkiri, ada sejumlah ide serta praktik sosial lama yang masih secara kuat membentuk alam pikir dan perilaku masyarakat Indonesia (tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan itu sendiri).
Bagi saya, sederhananya, perempuan membutuhkan tiga hal untuk dapat meraih perjuangannya.
Pertama, jaminan negara agar perempuan dapat keluar dari mitos-mitos yang memenjarakannya. Negara membantu perjuangan perempuan dengan melahirkan sistem dan regulasi yang melindungi perempuan. Regulasi yang menjamin perempuan terfasilitasi saat bekerja di sektor publik, yang juga menjamin perempuan dapat sejajar dengan laki-laki dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan mendapat penghidupan yang layak. Tentunya, negara juga harus menjamin regulasi tersebut dipraktikkan oleh seluruh stakeholder di pelosok Indonesia. Termasuk juga menjamin bahwa ada lembaga independen yang mengontrol implementasi dari regulasi tersebut.
Kedua, peran yang dapat diambil untuk membantu perjuangan perempuan adalah menghargai pekerjaan mereka, baik pekerjaan domestik maupun publik. Sering kali perempuan tidak mendapat penghargaan saat memasak, mencuci baju, mengurus anak, dan melakukan pekerjaan lainnya, karena pekerjaan seperti itu dianggap kodrat dan kewajiban. Sedangkan perempuan yang melakukan kerja di sektor publik, dianggap sekedar membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan dianggap sebagai sikap mandiri perempuan untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Di titik inilah, apresiasi orang-orang sekitar dibutuhkan untuk menyulut semangat perempuan terus berinovasi, baik di sektor domestik maupun di sektor publik.
Ketiga, peran pemberdayaan keluarga adalah satu hal penting yang membantu perempuan mengukuhkan eksistensinya sebagai warga kelas satu. Dalam keluarga yang dimaksud, tugas rumah tangga tidak lagi dimaknai secara penuh sebagai beban kerja ibu, namun beban kerja seluruh keluarga. Label pekerjaan rumah tangga adalah milik perempuan adalah mitos yang seratus persen keliru. Kenyataannya, ayah yang baik dan berdaya dituntut untuk bisa melakukan tugas rumah tangga seperti mengurus anak, mendampingi belajar, bahkan mencuci dan memasak.
Anak harus (wajib) paham bahwa Ibunya bukanlah orang yang 24 jam berada di rumah. Artinya, kemandirian anak untuk mengurus diri sendiri diperlukan ketika Ibu sibuk dengan kerjanya di sektor publik. Kunci dari pemberdayaan keluarga sebenarnya sangat sederhana. Pertama, masing-masing anggota keluarga paham tugasnya. Kedua, komunikasi antar anggota keluarga agar tidak ada kesalahpahaman dan kekosongan power dalam keluarga.
Tak kalah pentingnya, perempuan sendiri tidak boleh kendor dengan perjuangannya untuk mengukuhkan diri sebagai warga kelas satu, sejajar dengan laki-laki. Perempuan harus mampu menunjukkan kapasitas dan kemampuannya untuk berprestasi, bersaing dengan laki-laki secara sehat. Pendek kata, jangan hanya mengandalkan belas kasihan untuk mendapat posisi sebagai warga kelas pertama.
Syahdan, pengakuan emansipasi perempuan sebagai sebuah norma dan prinsip formal Indonesia modern, ternyata memunculkan sejumlah dilema baru. Konstruksi perempuan modern yang mampu berkiprah di wilayah publik, hadir secara bersamaan dengan konstruksi perempuan lama sebagai aktor kunci di wilayah domestik. Alih-alih memposisikan perempuan secara setara dengan counterpart laki-lakinya, perempuan justru menanggung beban tanggung jawab ganda di wilayah publik, dan wilayah domestik. Ini menjadi sebuah dilema tersendiri yang menjadi tantangan bagi upaya mewujudkan kesetaraan gender dan emansipasi perempuan. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Januari 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________
Penulis: Salman Akif Faylasuf
Editor: Hakim