Biografi Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Mursyid Tarekat Syathariyah

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Anak-anak

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Mengasuh Pesantren
4.2  Karier
4.2  Karya

5.   Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Syekh Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam. Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syekh Ainui Yaqin (Sunan Giri l).

1.2 Wafat
Beliau berpulang ke Rahmatullahi pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Beliau dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat NU dan masyarakat Islam pada umumnya.

1.3 Riwayat Keluarga
Syekh Abdul Muhyi kembali dari Mekah menuju Ampel Denta pada tahun 1678 setelah mendapatkan ijazah untuk men jadi mursyid tarekat Syathariyah dari gurunya. Sekembalinya dari Ampel Denta, sang ayah menikahkannya dengan putri bernama Ayu Bekta. Setelah menikah, bersama orang tuanya, Abdul Muhyi pindah ke Jawa barat untuk menyebarkan Islam, dan berusaha mencari sebuah gua yang ditunjukkan oleh gurunya, Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu

Kefika masa belia, Abdul Muhyi telah belajar di Ampel Denta untuk mendaras berbagai disiplin keilmuan pesantren. Pada tahun 1669 M, di usia 19 tahun, Abdul Muhyi merantau hendak menuiu ke Mekkah, tetapi singgah di Aceh. Di Aceh Syekh Abdul Muhyi ternyata bertemu dan belajar kepada Tengku Syiah Kuala atau Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili. Berbagai disiplin keilmuan dipelajari Abdul Muhyi di Kota Aceh ini, termasuk tarekat Syathariyah dari jalur Syaikh Abdur Ra’uf. Sebagai guru besar Syathariyah, Syekh Abdur Ra’uf ini berusaha mendamaikan wujudiyah dari lbnu Arabi dengan tasawuf lain yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.

Setelah beberapa tahun di Aceh, Syekh Abdul Muhyi oleh gurunya diajak berkunjung ke makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthb, Syekh Abdul Qadir Jaelani di lraq. Perjalanan diteruskan ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan haji. Syekh Abdul Muhyi kemudian belajar di Mekkah, tidak langsung pulang. Di Mekkah Syekh Abdul Muhyi bertemu Syekh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Syekh Abdul Muhyi belajar juga kepada Syekh Ahmad al-Qusyasyi, Syekh Ibrahim Kurani, dan Syekh Hasan al-Ajami,yaitu guru-guru dari Syekh AbdurRa’uf as-Singkili sendiri.

2.2 Guru-Guru:

  1. Tengku Syiah Kuala atau Syekh Abdur Ra’uf as-Singkili
  2. Syekh Yusuf al-Maqassari
  3. Syekh Ahmad al-Qusyasyi
  4. Syekh Ibrahim Kurani
  5. Syekh Hasan al-Ajami

3. Penerus Perjuangan

3.1  Anak-anak

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

Awalnya Abdul Muhyi dan keluarga menetap di Desa Darma Kuningan selama 8 tahun (1678-1685) atas permintaan masyarakat. Karena belum menemukan tujuan yang hendak dicari, sambil melakukan dakwah, Abdul Muhyi menuju ke Garut Selatan dan diminta masyarakat untuk tinggal di Pameungpeuk, Garut.

Perjalanan diteruskan ke Lebaksiuh di dekat Batuwarigi. Di berbagai tempat tinggal ini Abdul Muhyi terus menyebarkan Islam secara santun dengan sentuhan hati sebagai seorang sufi. Di Lebaksiuh inilah Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit.

Gua ini dinamakan Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan. Gua Pamijahan ini berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya sering disebut juga sebagai Gua Karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di Lebaksiuh, Syekh Abdul Muhyi lebih dikenal sebagai Haji Karang. Gua ini menjadi tempat ’uzlah dan khalwat-nya, akan tetapi di tempat tinggalnya yang terakhir, beliau membangun perkampungan baru bersama para pengikutnya di sebelah barat Kampung Ojong, dan dikenal dengan sebutan Safar Wadi. Di tempat ini beliau membangun masjid dan padepokan sebagai pusat penyebaran lslam dan tarekat Syathariyah.

Sebagai guru Rohani, Syekh Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram. Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon.

Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten, termasuk dengan guru Rohani di Banten, yaituSyekh Yusuf Tajul khalwaiti al-Maqassari, yang merupakan temannya ketika di Mekkah. Ketika Syekh Yusuf bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah Keraton Banten, Syekh Yusuf bersembunyi di tempat Syekh Abdul Muhyi.

Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis.

4.1 Mendirikan Pesantren

Gua Safarwadi memiliki sebuah lokasi yang disebut Blok Pesantren. Wilayah dengan batu-batu yang membentuk rak buku untuk menyimpan Al Quran, kitab-kitab, dan buku lainnya.

4.2 Karier

  1. Mursyid Tarekat Syathariyah
  2. Pengasuh pesantren

4.3 Karya

  1. Bayân al-Qahhâr
  2. Kitab Martabat Kang Pitu

5. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs:
https://jabar.nu.or.id/

https://www.laduni.id/post/read/525801/biografi-syekh-abdul-muhyi-pamijahan-mursyid-tarekat-syathariyah.html