Ijab Qabul Nikah Penyandang Disabilitas Rungu, Netra, dan Wicara secara Bersamaan

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon bertanya perihal pelaksanaan ijab qabul nikah untuk orang yang menyandang disabilitas Rungu, Netra, dan Wicara sekaligus atau secara bersamaan. (Adib Hanafi).
 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Penanya yang budiman, semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita semua, amin.
 

Ijab Qabul merupakan rukun yang menentukan keabsahan suatu transaksi atau akad, seperti jual beli dan pernikahan. 
 

Ijab merupakan pernyataan yang menunjukkan arti kerelaan untuk menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan qabul adalah pernyataan yang menunjukkan arti kerelaan untuk menerimanya. Ijab dan qabul disyariatkan dalam Islam untuk menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melangsungkan transaksi atau akad. Karena kerelaan dalam hati tidak dapat diketahui, sehingga membutuhkan ijab qabul untuk menunjukkannya. 
 

Pada dasarnya, seseorang yang menyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara secara bersamaan, tidak dapat mengetahui kerelaan dari orang yang melakukan transaksi dengannya. Ia juga tidak dapat menunjukkan kerelaannya untuk melakukan transaksi, termasuk dengan cara isyarat. Karena itu, ia tidak dapat melakukan ijab dan qabul sendiri, melainkan harus dengan walinya. 
 

Dalam fiqih Syafi’iyah, orang yang menyandang disabilitas rungu, netra dan wicara secara bersamaan dibagi menjadi dua. Pertama, mereka menyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara sejak lahir atau sebelum tamyiz, yakni sebelum mampu memahami agama, seperti balita dan orang gila. Penyandang disabilitas seperti ini tidak dibebani hukum Islam apapun. sedangkan urusannya menjadi tanggung jawab walinya. 
 

Kedua, mereka yang menyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara setelah tamyiz, yakni setelah mampu memahami ajaran agama, maka ia terbebani hukum agama yang sudah diterima dan dipahami sebelum menyandang disabilitas. 
 

Sayyid Abdurrahman dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 285 menjelaskan:
 

“Seseorang yang lahir dalam kondisi menyandang disabilitas netra dan rungu diperlakukan seperti orang gila (dalam hal tidak adanya tuntutan agama), jika dia mempunyai sedikit pengertian atau tamyiz. Dia disamakan dengan anak yang sudah mengerti (shabi mumayyiz) dalam keabsahan ibadah dan tidak adanya hukuman jika meninggalkan shalat, dan sebagainya”. 
 

Dalam buku Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas yang diterbitkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU (2018) disebutkan bahwa, dalam akad nikah terdapat prosesi ijab qabul yang biasanya dilakukan secara lisan oleh mempelai laki-laki dan calon mertuanya. Ijab qabul ini biasanya dilakukan dengan berjabat tangan antara keduanya hingga akad selesai dilakukan. Namun, proses sederhana ini menjadi kesulitan tersendiri bagi penyandang disabilitas rungu dan daksa. 
 

Bagi penyandang disabilitas rungu ketika dia melangsungkan akad nikah maka yang menjadi titik tekan bahasanya adalah kaitan dengan ijab qabul yang dilakukan olehnya yang tentunya tidak sesempurna orang non-disabilitas.
 

Namun, fiqih memberikan solusi sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh ulama mazhab Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami maupun Imam Ar-Ramli, dengan keterbatasan yang ada, ijab qabul penyandang disabilitas rungu tetap dihukumi sah dan cukup dengan penggunaan bahasa isyarat yang mudah dipahami. Diperbolehkan dan cukup dengan tulisan apabila isyaratnya sulit dipahami dan tidak mungkin diwakilkan.
 

Hal ini sebagaimana yang di ungkap oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj ketika membicarakan tentang rukun-rukun nikah:
 

ويَنْعَقِدُ نِكَاحُ الأَخْرَس بِإِشَارَتِهِ الَّتِي لَا يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الفَطِنُ وَكَذَا بِكِتَابَتِهِ بِلا خِلَافٍ عَلَى مَا فِي المَجْمُوع
 

Artinya, “Dihukumi sah nikahnya penyandang disabilitas rungu dengan bentuk memberikan isyarat (ketika terjadi ijab qabul) yang tidak hanya orang pandai saja yang memahami isyaratnya. (Artinya semua orang yang ada di tempat itu memahami isyarat ijab qabulnya).
 

Demikian juga pernikahan penyandang disabilitas rungu dihukumi sah (yang ketika terjadi ijab qabul) dia menggunakan tulisan. Pendapat ini tidak ada yang berbeda pendapat sesuai dengan kitab Majmu’ karya Imam An-Nawawi.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Daru Ihya’it Turats Al-Islami], juz VII, halaman 222).
 

Demikian penjelasan dalam buku Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas yang diterbitkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU (2018) halaman 209-210.
 

Berkaitan dengan ijab qabulnya, Imam Al-Qarafi dari mazhab Maliki menegaskan, orang yang menyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara secara bersamaan tidak dapat melangsungkan akad atau ijab qabul, karena akad hanya dapat dilakukan dengan ucapan atau isyarat, sedangkan penyandang disabilitas tersebut tidak dapat menerima dan memberikan isyarat. 
 

Dalam kitab Ad-Dzakhirah, Ahmad Al-Qarafi menjelaskan bahwa “Jika seseorang itu bisu sekaligus buta, maka dilarang untuk melakukan transaksi dan pernikahan, karena isyarat tidak mungkin dilakukan terhadapnya.” (Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, Ad-Dzakhirah, [Beirut, Darul Gharbi: 1994], juz X, halaman 368).
 

Dalam keterangan lain disebutkan:
 

وَالْبَيْعُ … يَنْعَقِدُ … بِالْكَلَامِ وَكَذَا بِغَيْرِهِ مِنْ كُلِّ مَا يَدُلُّ عَلَى الرِّضَا وَلَوِ اْلإِشَارَةَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَوْ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى النُّطْقِ إِلَّا الْأَخْرَسَ الْأَعْمَى الْأَصَمَّ فَلَا تَجُوْزُ مُعَامَلَتُهُ وَلَا مُنَاكَحَتُهُ
 

Artinya, “Jual beli dapat dilakukan dengan ucapan, maupun dengan apapun yang menunjukkan persetujuan, meskipun dengan isyarat dari kedua orang yang transaksi atau salah satunya, bahkan meskipun mampu berbicara, kecuali orang yang bisu, buta dan tuli sekaligus, ia tidak boleh melakukan transaksi dan pernikahan.” (Ahmad An-Nafrawi, Al-Fawakihud Dawani [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1997] juz II, halaman 177).
 

Sedangkan untuk melakukan transaksi dan pernikahan, maka dapat dilakukan oleh walinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab mazhab Maliki, Minahul Jalil Syarah ‘ala Mukhtashar Khalil karya Muhammad ‘Ulaisy sebagai berikut: 
 

وَمَحَلُّهُ إنْ لَمْ يَكُنْ الْأَعْمَى أَخْرَسَ أَصَمَّ وَإِلَّا مُنِعَتْ مُعَامَلَتُهُ وَمُنَاكَحَتُهُ إلَّا مِنْ وَلِيِّهِ الْمُجْبِر
 

Artinya, “Kondisi bolehnya transaksi adalah jika orang buta itu tidak bisu atau tuli, sebaliknya jika ia buta bisu dan tuli, maka dilarang melakukan transaksi dan pernikahan kecuali dari walinya yang dapat memaksanya menikah (wali mujbir).” (Muhammad ‘Ulaisy, Syarhu Minahil Jalil [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2003], juz II, halaman 308).
 

Dalam melakukan ijab qabul, wali juga harus mempertimbangkan kemaslahatan yang ada. Artinya jika transaksi atau pernikahan itu dinilai maslahat dan baik, maka wali dapat melakukannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ahmad As-Shawi dalam kitabnya: 
 

وَأَمَّا الْأَعْمَى الْأَصَمِّ فَلَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُ فِي شَيْءٍ وَلَا مُعَامَلَتُهُ كَالْمَجْنُونِ وَإِنَّمَا يُوَلَّى عَلَيْهِمَا مِنْ يَتَوَلَّى أَمْرَهُمَا بِالْمَصْلَحَةِ
 

Artinya, “Adapun orang yang buta dan tuli, tidak boleh memberi kesaksian tentang apapun, dan tidak boleh memperlakukannya seperti orang gila. Sebaliknya, yang berperan sebagai wali atas mereka oleh seseorang yang akan mengurus urusan mereka demi kepentingan dari yang terbaik.” (Syihabuddin Ahmad As-Shawi, Hasyiyah As-Shawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1995], juz IV, halaman 106).
 

Simpulan Hukum

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara secara bersamaan, tidak dapat melakukan ijab dan qabul sendiri, sehingga ijab qabul untuknya hanya dapat dilakukan oleh walinya. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum, Wonodadi, Blitar

https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/ijab-qabul-nikah-penyandang-disabilitas-rungu-netra-dan-wicara-secara-bersamaan-uU9o0