Menunaikan Ibadah Haji sampai Berkali-kali, Bagaimana Hukumnya?

Haji adalah ibadah yang sangat didambakan setiap muslim. Ibadah ini menjadi sangat spesial, karena untuk mendapatkan giliran saja perlu menunggu sampai puluhan tahun. Namun bagi orang kaya, antrian tidak menjadi masalah. Mereka bisa melaksanakan ibadah haji lebih cepat melalui haji plus atau furoda. Bagi mereka masuk golongan orang kaya, tidak sedikit yang berhaji sampai berkali-kali.

 

Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana hukum melaksanakan ibadah haji berkali-kali seperti yang dilakukan orang-orang kaya ini?

 

Di dalam syariat Islam tidak ada larangan berhaji berkali-kali. Bagi yang mampu, menunaikan ibaah haji diwajibkan hanya satu kali dalam seumur hidup, jika dilakukan lebih dari sekali maka hukumnya sunnah. Hal ini sesuai hadits Rasulullah Saw.

 

الْحَجُّ مَرَّةً، فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ 

 

Artinya: “Kewajiban haji itu satu kali. Barang siapa yang menambah lebih dari sekali maka hukumnya sunnah” (HR. Ahmad)

 

Realitanya, setiap orang yang pernah melaksanakan haji atau umrah punya keinginan untuk kembali melaksanakannya. Hal ini merupakan sunnatullah yang digariskan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 125:

 

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ 

 

Artinya: “(Ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Ka‘bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. (Ingatlah ketika Aku katakan,) “Jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.” (Ingatlah ketika) Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, serta yang rukuk dan sujud (salat)!

 

Ismail Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya:

 

مِنْ كَوْنِهِ مَثَابَةً لِلنَّاسِ، أَيْ جَعَلَهُ مَحَلًا تَشْتَاقُ إِلَيْهِ الْأَرْوَاحُ، وَتَحِنُّ إِلَيْهِ، وَلَا تَقْضِي مِنْهُ وَطَرًا وَلَوْ تَرَدَّدَتْ إِلَيْهِ كُلَّ عَامٍ اسْتِجَابَةً مِنَ اللّٰهِ تَعَالَى، لِدُعَاءِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ

 

Artinya: “Keadaan Ka’bah sebagai matsâbatal lin-nâsi bermakna Allah menjadikannya tempat yang selalu dirindukan oleh jiwa. Tidak pernah akan puas, walaupun setiap tahun bolak-balik ke sana sebagai jawaban dari Allah Swt atas panggilan Nabi Ibrahim AS”. (Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2016], juz I, halaman 155)

 

Ada dua faidah yang dapat diambil dari ayat di atas sehubungan dengan didirikan Ka’bah: Pertama, tempat berkumpul bagi manusia dalam ibadah. Hati mereka merasa tentram tinggal di sekitar ka’bah. Setelah mereka kembali ke tanah air, hati dan jiwa mereka senantiasa tertarik kepadanya dan selalu bercita-cita ingin kembali lagi bila ada kesempatan.

 

Kedua, Allah menjadikan sebagai tempat yang aman. Maksudnya, Allah menjadikan tanah yang berada di sekitar Masjidil Haram sebagai tempat yang aman bagi orang-orang yang berada di sana.

 

Terkait keutamaan berhaji Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Irsyadul Ibad menjelaskan:

 

وحكى القاضي عياض أن قوماً أتوا إلى سعدون الخولاني بالمنستير، فأعلموه أن كتامة قتلوا رجلاً وأضرموا عليه النار طول الليل، فلم تعمل فيه شيئاً وبقي أبيض اللون، فقال: لعله حج ثلاث حجج. قالوا: كيف ذلك؟ قال؛ حدثت أن من حج حجة أدّى فرضه، ومن حج ثانية داين ربه، ومن حج ثلاث حجج حرّم الله شعره وبشره على النار

 

Artinya: “Qadhi Iyadh menceritakan bahwa ada suatu kaum yang datang kepada Sa’dun Al-Khaulani di Monester. Mereka memberitahukan bahwa Kutamah membunuh seorang laki-laki dan mereka menyalakan api untuk membakarnya sepanjang malam, tapi api itu tidak memberi bekas dan warnanya menjadi putih. Maka Sa’dun berkata “Barangkali laki-laki ini pernah berhaji tiga kali”. Mereka bertanya bagaimana bisa demikian? Katanya ”Aku pernah diceritakan bahwa orang yang berhaji satu kali maka ia sudah menunaikan fardunya. Siapa yang berhaji dua kali maka ia mengutangkan Tuhannya. Dan barangsiapa yang berhaji tiga kali Allah haramkan rambut dan kulitnya menyentuh api neraka” (Zainuddin Al-Malibari, Irsyadul Ibad Ila Sabilir Rasyad, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2014] halaman 86)

 

Dari penjelasan di atas dipahami bahwa berhaji berkali-kali disunahkan dan memiliki keutamaan yang besar. Yang terpenting adalah dilaksanakan dengan penuh keikhlasan bukan untuk membanggakan diri.

 

Sebelum melaksanakan haji sunah ini perlu juga mempertimbangkan skala prioritas. Yaitu memilih mana ibadah sunnah yang lebih utama yang akan dipilih ketika ada dua pilihan. Sebagai pertimbangan melaksanakan ibadah haji berkali-kali sangat penting merenungkan kritik Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin sebagai berikut:

 

وربما يحرصون على إنفاق المال في الحج فيحجوت مرة بعد أخرى وربما تركوا جيرانهم جياعا ولذلك قال ابن مسعود في آخر الزمان يكثر الحاج بلا سبب يهون عليهم السفر ويبسط لهم في الرزق ويرجعون محرومين مسلوبين يهوي بأحدهم بعيره بين الرمال والقفار وجاره مأسور إلى جنبه لا يواسيهِ

 

Artinya: “Mereka bersikeras mengeluarkan harta untuk pergi haji berulang kali dan membiarkan tetangganya kelaparan. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Pada akhir zaman, banyak orang naik haji tanpa sebab. Mudah bagi mereka melakukan perjalanan, rezeki mereka dilancarkan, tapi mereka pulang tidak membawa pahala dan ganjaran. Salah seorang mereka melanglang dengan kendaraannya melintasi sahara, sementara tetangganya tertawan di hadapannya tidak dihiraukannya.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, [Beirut, darul Kutub Al-Ilmiyah: 2016] juz III, halaman 498)

 

Dari ungkapan Al-Ghazali ini, mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah, daripada mendermakan harta untuk fakir miskin. Inilah salah satu bentuk tipu daya bagi orang berharta menurut Al-Ghazali. Lebih baik kelebihan harta yang dimiliki diprioritaskan untuk membantu fakir miskin, pesantren yang terbengkalai, anak sekolah yang serba kekurangan, dan amal sosial lainnya.

 

Dengan demikian, ibadah haji berulang kali adalah suatu kesunahan, tapi dengan memperhatikan skala prioritas dalam beribadah. Ketika dihadapkan dengan banyak peluang beribadah, pilihlah ibadah yang lebih banyak maslahatnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Seperti ketika dihadapkan dengan ibadan berinfak di jalan Allah kepada fakir miskin yang sangat membutuhkan maka menyantuninya lebih utama daripada mengeluarkan biaya besar setiap tahunnya untuk ibadah haji.

 

Ustadz Abdul Kadir Jailani, Pengajar di Pondok Pesantren Darussalam Bermi Lombok Barat

https://islam.nu.or.id/syariah/menunaikan-ibadah-haji-sampai-berkali-kali-bagaimana-hukumnya-ry7iL