Sikap Makmum saat Ingat Imam Shalatnya Telah Hadats sebelum Berjamaah

Suci dari hadats dan najis merupakan salah satu dari beberapa syarat sah shalat. Jika keduanya tidak disucikan terlebih dahulu, maka bisa mengakibatkan shalat menjadi tidak sah. 
 

Dalam pelaksanaannya, shalat sangat dianjurkan untuk dilakukan secara berjamaah, karena memiliki keutamaan lebih dibandingkan dengan munfarid (sendirian). Hal ini tertuang dalam hadits nabi Muhammad saw riwayat Ibnu Umar ra:
 

‌صَلَاةُ ‌الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بسبع وعشرين درجة
 

Artinya, “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat.” (HR Al-Bukhari).
 

Shalat berjamaah juga dapat dilakukan di mana saja dan dilaksanakan sekurang-kurangnya oleh dua orang, kecuali shalat Jumat. Satu orang berposisi di depan sebagai imam dan satunya lagi di belakang berperan sebagai makmum. Jika memenuhi semua ketentuan seperti, syarat, rukun, dan terhindar dari segala hal yang membatalkan, maka shalat dihukumi sah.
 

Namun terkadang, kondisi suci dari hadats tidak selalu teringat, ketika hendak shalat, terlebih secara berjamaah. Katakanlah, misalkan ada orang yang hendak menjadi imam, ia menyangka bahwa dirinya telah suci dan memenuhi ketentuan pelaksanaan shalat.
 

Akan tetapi sebelumnya ia telah berhadats dan diketahui oleh temannya yang selanjutnya menjadi makmum. Keduanya sama-sama lupa bahwa si imam telah berhadats dan tidak bersuci terlebih dahulu. Ketika di pertengahan shalat, makmumnya teringat kalau imam masih dalam kondisi berhadats.
 

Melihat kondisi seperti ini, bagaimana sikap makmum ketika mengetahui imamnya masih berhadats?
 

Makmum tidak boleh shalat di belakang imam yang sedang berhadats. Jika ia mengetahui keadaan imam tersebut di permulaan shalat atau sebelum takbiratul ihram, kemudian ia lanjutkan sampai selesai, maka shalatnya dihukumi tidak sah. 
 

Namun, apabila makmum tersebut teringat bahwa imamnya masih berhadats pada pertengahan shalat, maka wajib berniat mufaraqah (niat berpisah dengan imam untuk shalat sendirian), lalu menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, jika mengetahui atau menyadari kondisi tersebut setelah selesai shalat, maka shalatnya dianggap sah dan tidak perlu diulang.
 

Hal ini disampaikan oleh Syekh Abdurrahman Al-Jazairi (wafat 1360 H) dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah ketika menjelaskan pendapat ulama Syafi’iyah sebagiamana berikut: 
 

‌لا ‌يصح ‌الاقتداء بالمحدث إذا علم المأموم به ابتداء، فإن علم بذلك في أثناء الصلاة وجبت عليه نية المفارقة، وأتم صلاته وصحت، وكفاه ذلك، وإن علم المأموم بحدث إمامه بعد فراغ الصلاة فصلاته صحيحة؛ وله ثواب الجماعة؛ أما صلاة الإمام فباطلة في جميع الأحوال لفقد الطهارة التي هي شرط للصلاة، ويجب عليه إعادتها
 

Artinya, “Tidak sah bermakmum kepada imam yang berhadats, jika makmum mengetahui kondisi tersebut di permulaan shalat. Namun apabila ia mengetahuinya di pertengahan shalat, maka wajib baginya untuk berniat mufaraqah (pisah dari imam), kemudian menyempurnakan shalat. Dalam kondisi seperti ini shalatnya dihukumi sah. 
 

Selanjutnya, jika makmum mengetahui bahwa imam dalam kondisi berhadats setelah selesai dari shalat, maka shalatnya dihukumi sah dan ia mendapatkan pahala jamaah. Adapun shalat imam, maka tidak sah dalam semua keadaan tersebut. Sebab tidak dalam kondisi suci yang menjadi syarat sah shalat. Bagi imam wajib mengulang shalatnya.” (Abdurrahman Al-Jazairi,  Al-Fiqhu ‘ ala Madzahibil Arba’ah, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2003], juz I, halaman 374).
 

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh syekh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitabnya, Al-Muhaddzab:
 

ولا تجوز خلف المحدث لأنه ليس من أهل الصلاة فإن صلى خلفه غير الجمعة ولم يعلم ثم علم فإن كان ذلك في أثناء الصلاة نوى مفارقته وأتم وإن كان بعد الفراغ لم تلزمه الإعادة 
 

Artinya, “Tidak boleh shalat menjadi makmum pada imam yang masih berhadats, sebab ia bukanlah orang yang layak untuk mengerjakan shalat. Akan tetapi jika seseorang shalat di belakangnya, dalam selain shalat Jumat, dan dia tidak mengetahui bahwa imam shalatnya masih dalam keadaan berhadats, lalu di pertengahan shalat baru tersadar akan hal itu, maka wajib niat mufaraqah (berpisah dengan imam untuk shalat sendirian), kemudian menyempurnakan shalatnya. Namun, apabila shalatnya telah selesai dilaksanakan dan ia baru tersadar kalau imamnya berhadats, maka tidak wajib untuk mengulanginya.” (Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2010], juz I, halaman 184).
 

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ memperjelas, apabila dalam kasus tersebut makmum nekatt melanjutkan shalat bersama imam, walau sebentar, dengan kata lain tidak segera niat mufaraqah, maka shalatnya menjadi batal. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Kairo, Idaratut Tab’ah Al-Muniriyah: 2010], juz IV, halaman 256).
 

Perlu dicatat, kembali pada penjelasan Abu Ishaq Az-Syirazi, hukum sebagaimana di atas berlaku pada selain shalat Jumat. Kalau dalam shalat Jumat maka diperinci:
 

Bila jumlah minimal jamaah shalat Jumat, yaitu 40 orang, in’iqad (bergantung) padanya, maka shalat Jumat tidak sah, dan bila tidak demikian maka sah. Demikian penjelasan As-Syirazi mengutip pendapat Imam As-Syafi’i dari kitab Al-Umm. (As-Syirazi, I/184). 

Demikianlah penjelasan tentang sikap makmum ketika mengetahui imam shalatnya masih dalam kondisi berhadats (tidak suci). Wallahua’lam bisshawab.
 

Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnni Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta

https://islam.nu.or.id/syariah/sikap-makmum-saat-ingat-imam-shalatnya-telah-hadats-sebelum-berjamaah-PKXwe