Figur ulama’ sering kali dinarasikan oleh kalangan awam sebagai tokoh yang pragmatis – kolot, kuper tentang poltik, dan hanya duduk manis sembari menerima salam tempel. Namun tidak semua ulama’ seperti itu, ada ulama yang berperan sebagai agent of change dengan cara berkontribusi dan membuat inovasi kepada masyarakat sekitar, agama, dan negara.
Seperti KH. Dzofir Salam, pendiri Ponpes Al-Fattah, Talangsari, Jember. Sosok ulama kelahiran Rambipuji, Jember tahun 1908 dari pasangan H. Abdus Salam dan Nyai Muslikha ini tidak hanya mengajarkan kitab di pesantrennya saja, namun beliau turut angkat senjata pada Agresi Militer Belanda kesatu dan kedua serta turut andil dalam pendirian berbagai madrasah dan beberapa perguruan tinggi Islam yang ada di Jember.
Dalam sebuah buku biografi KH. Dzofir Salam dengan judul “Thariqah Sang Kyai” yang ditulis oleh salah satu cucunya bernama Agus Afton Ilman Huda. Sosok sang Kakek atau Kyai Dzofir merupakan tokoh yang disegani oleh para Ulama’ di kabupaten Jember dikarenakan ide – ide briliannya dalam membawa kemajuan Islam, khususnya Ahlusunnah Wal Jama’ah di kabupaten Jember.
Dari buah pemikiran beliau lahirlah berbagai madrasah dan perguruan tinggi Islam di Jember, seperti MINU (MI Nahdlatul Ulama’), PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Jember yang kini beralih status menjadi MAN 2 Jember, SP – STAIN (Sekolah Persiapan – Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Jember yang kini beralih status menjadi MAN 1 Jember, STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Jember yang kini menjadi Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq Jember, Universitas Islam Jember, dan Pondok Pesantren Al – Fattah.
Sebagai seorang ulama’ yang pernah menjabat sebagai ketua Ma’arif NU Jember dan ketua Tanfidziyah NU Cabang Jember menggantikan KH. Mahfudz Siddiq, Kyai Dzofir juga tercatat sebagai ulama’ penggerak kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, beliau merupakan salah satu tokoh ulama’ Jember yang menentang secara keras praktek seikerei atau melakukan penghormatan kepada kaisar Jepang sebagai titisan dewa Amaterasu Omikami.
Akibatnya, beliau ditahan sampai 13 kali dan disiksa dengan setrum listrik oleh sipir penjara. Ketika Agresi Militer Belanda I &II terjadi, beliau memproklamirkan berdirinya PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat) pada tanggal 25 Agustus 1947 sebagai wadah pusat komando rakyat pasca proklamasi 1945 guna membendung dan menentang imperialis Belanda yang datang lagi ke Indonesia bersama pasukan sekutu.
Bahkan semangat jihad beliau dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia sempat membuat tokoh orientalis Belanda yang bernama Van Der Plas penasaran dan melakukan anjangsana secara langsung kepada Kyai Dzofir.
Kyai Dzofir yang pernah menimba ilmu di Mekkah dengan Sayyid Alwi bin Abbas Al – Maliki dan Syekh Muhammad bin Sai’d Al – Yamani Al – Makki diibaratkan oleh KH. Achmad Siddiq (Rais Amm PBNU Periode 1984 – 1991) sebagai perpustakaan fiqih berjalan. Hal ini bukan isapan jempol belaka, ungkapan tersebut dibuktikan ketika KH. Abdullah Siddiq yang wafat tahun 1982. Para sanak famili awalnya mengharapkan Rais Amm PBNU yang juga merupakan saudara KH. Abdullah Siddiq berkenan sebagai mediator perihal pembagian harta waris.
Namun, beliau menyarankan agar mereka berkonsultasi kepada Kyai Dzofir yang dikenal sebagai seorang faqih (ahli di bidang ilmu fiqih) dan memiliki pengalaman pernah menyelesaikan pembagian harta waris keluarga besar KH. Muhammad Siddiq dengan lancar. Setelah Kyai Dzofir menyanggupinya, beliau menyarankan kepada keluarga besar KH. Abdullah Siddiq agar segera menyegerakan waktu pembagian harta waris dimulai dari saat hari kematian almarhum. Dan beliau melarang penggunaan harta waris untuk kepentingan tahlilan selama 7 hari terlebih dahulu, sebelum hutang almarhum telah rampung terbayarkan.
Mengingat latar belakang keluarga Kyai Dzofir sebagai seorang pedagang tembakau yang sukses di daerah Rambipuji, Jember. Bahkan sejak tahun 1940 – an beliau dipasrahi menangani “Syirkah Mua’awanah” yang baru saja dirintis oleh KH. Mahfudz Siddiq. Tujuan didirikannya Syirkah ini adalah guna menolong ekonomi warga NU yang memiliki penghasilan pas – pasan, caranya dengan menjual bahan pangan pokok warga NU di kabupaten Jember dengan harga murah. Keberadaan Syirkah ini pada akhirnya dapat membantu warga NU di Jember yang memiliki penghasilan menengah kebawah.
Menjelang kewafatannya, Kyai Dzofir di usia senjanya 80 tahun masih sempat mengurus jariyah terakhirnya berupa pendirian Universitas Islam Jember. Sebuah perguruan tinggi swasta yang didedikasihkan kepada NU. Seusai UIJ diresmikan pada tanggal 14 September 1984 dan statusnya sudah terdaftar melalui perantara Mensesneg, Pak Sudharmono dan KH. Muh. As’ad Umar, Pengasuh PP. Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, secara tiba – tiba ketika selesai mengurus status tersebut.
Beliau jatuh terduduk di bandara Juanda, sehari setelah dirawat di kediaman Talangsari. Pada hari Kamis sore beliau minta diantarkan ke kediaman beliau yang ada di Rambipuji, sebelum berangkat beliau biasa berwudhu dahulu. Namun ternyata ketika di kamar mandi seusai wudhu, Kyai Dzofir jatuh terpleset dan pingsan. Dengan sigap keluarga membawanya ke RS. Dr. Soebandi Patrang untuk perawatan. Selama pingsan dalam waktu 4 hari dan seusai dilakukan pemeriksaan medis, ternyata Kyai Dzofir mengidap Diabetes parah. Pada hari sabtu, keluarga menghubungi KH. Hannan Tanggul, KH. Chotib Umar Sumber Bringin, KH. Misra’i Ledokombo untuk mengabarkan sakitnya Kyai Dzofir.
Namun keempat kyai tersebut menyarankan agar beliau segera dibawa pulang dikarenakan tanda – tanda kewafatannya mulai nampak. Pada hari Ahad, seusai KH. Achmad Siddiq dan para santrinya mengaji dan berdzikir di ruang perawatan, dr. H. Ja’fal mengatakan bahwa secara medis Kyai Dzofir tidak dapat tertolong lagi. Maka keluarga dan KH. Achmad Siddiq memutuskan untuk membawa pulang Kyai Dzofir di kediaman Talangsari. Tepat pada jam 15. 40 WIB, beliau berdzikir lirih “Allah..” seraya berbaring dan mengangkat kedua tangan sembari bersedekap. Sebuah akhir hidup indah yang dialami Kyai Dzofir disaat mennghembuskan nafas terakhirnya pada hari Ahad, 15 Dzulqo’dah 1407 H / 12 Juli 1987 dalam keadaan senyum dan wajah yang nampak putih berseri. Semoga Allah membalas segala jasa kebaikan dan perjuangan beliau. Amiin Allahumma Amiin…