Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi bin Mulla Ramadhan bin Umar al-Buthi, seorang ulama’ ternama yang lahir pada tahun 1929 M/1347 H di Buthan-Turki. Syekh al-Buthi lahir dan besar dalam lingkungan keluarga yang religius. Ayahnya bernama Syekh Mulla Ramadhan merupakan seorang ulama besar di Turki. Selepas peristiwa kudeta Kemal Attatruk dan terjadinya sekularisasi di Turki kala itu, Syekh al-Buthi kecil dibawa oleh ayahnya menuju Suriah.
Syekh al-Buthi mendapat pendidikan agama pertama kali dari ayahnya sendiri. Beberapa fan ilmu keIslaman yang dipelajari dari ayah beliau antara lain aqidah, sirah Nabawiyyah, kemudian ilmu alat meliputi nahwu-sharf. Pada usia 4 tahun, beliau telah mampu menghafal kitab Alfiyyah Ibn Malik—salah satu kitab gramatika bahasa arab dalam bentuk nadzam yang berisi 1002 bait syi’ir—dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Selain itu, Syekh al-Buthi juga menghafal Nadzam Matn al-Ghayah wa at-Taqrib karya Syekh Syarafuddin Yahya al-Imrithy, dan pada usia 6 tahun beliau sudah khatam al-Qur’an al-Karim.
Syekh al-Buthi juga menempuh pendidikan di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus, di bawah bimbingan al-’allamah Syekh Hasan Habannakah rahimahullah. Pada usia beliau yang belum melewati 17 tahun, beliau telah naik mimbar menjadi khatib. Beliau menyelesaikan pendidikannya di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus pada tahun 1953. Ayahandanya dan Syekh Habannakah adalah guru yang sangat mempengaruhi kehidupan Syekh al-Buthi. Hal ini terlihat dari sikap dan penghormatan Syekh al-Buthi kepada sang ayah. Dr. Ahmad Bassam, Rektor Universitas Ladzikiyah pernah bercerita bahwa suatu kali Syekh al-Buthi meminta izin kepada sang ayah melalui telepon saat hendak memperpanjang kunjungan ke Ladzikiyah. Ketika sang ayah tidak mengizinkan, ia menurut begitu saja, tanpa ada upaya merayu untuk memperoleh izin. Padahal, saat itu usia Syekh al-Buthi sudah 40 tahun dan posisinya sebagai Dekan di Univeristas Damaskus.
Dari Syekh Hasan Habannakah, Syekh al-Buthi mengambil pelajaran terkait sikapnya terhadap penguasa. Syekh Habannakah pernah diajak oleh beberapa ulama lain untuk melakukan gerakan melawan pemerintah, namun ia menolak. Salah seorang ulama bertanya kepadanya tentang sikap penolakannya, lalu Syekh Habannakah balik bertanya, “Siapa yang menggerakkan aksi itu. Apakah kalian sendiri yang menggerakkannya?” Si penanya menggelengkan kepala. Belakangan terkuak, penggerak aksi demo itu tak lain adalah pihak intelijen. Pelajaran itulah yang diambil oleh Syekh al-Buthi, tidak mudah bergabung dengan gerakan anti pemerintah yang tidak jelas siapa yang menggerakkannya. Pada saat di madrasah, para guru mendorongnya untuk menghafal al-Qur’an, namun sang ayah melarangnya karena besarnya dosa mereka yang menghafalkan kemudian melupakannya. Namun karena Syekh al-Buthi pada dasarnya memang gemar membaca al-Qur’an, dalam 3 hari beliau berhasil menghatamkan 30 juz.
Pada usia 18 tahun Syekh al-Buthi menikah. Lalu pada tahun 1954 dia melanjutkan belajar ke Al-Azhar Mesir dengan spesialisasi ilmu Syari’ah hingga memperoleh ijazah licence. Pendidikan Diploma-nya (setingkat S2) beliau ikuti di Fakultas Bahasa Arab. Pada tahun 1965, Syekh al-Buthi menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Al-Azhar dengan predikat mumtaz syaraf ‘ula. Disertasi yang ia tulis berjudul “Dlawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah” mendapatkan rekomendasi Universitas al-Azhar sebagai karya tulis yang layak dipublikasikan. Pada saat menjadi mahasiswa, Syekh al-Buthi rajin menulis artikel sastra dan masalah sosial kemasyarakatan ke koran Al-Ayyam. Beliau kemudian ditunjuk menjadi dosen di Universitas Damaskus. Pada tahun 1977, beliau diangkat menjadi Dekan Fakultas Aqidah.
Kehidupan Ilmiah Syekh al-Buthi
Syekh al-Buthi adalah seorang ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah, bermadzhab Syafi’i dalam bidang Fiqh dan bermanhaj Asy’ari dalam bidang Tauhid, beliau juga sangat gigih meluruskan berbagai macam kesesatan dan ajaran sesat, terlihat dari kitab-kitab beliau dalam meluruskan kesesatan Salafi- Wahabi, di antaranya adalah kitab as-Salafiyyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokatun La Madzhabun Islamiyyun dan kitab al-Laamadzhabiyyah Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah.Beliau berseberangan dengan pandangan politik Ikhwanul Muslimin, oleh sebab itu beliau menuliskan satu kitab tentang esensi jihad dalam Islam berjudul al-Jihad fil Islam: Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu untuk membendung generasi muda muslim agar tidak terjatuh dalam gerakan kekerasan berkedok Jihad dan Islam. Beliau lebih mengutamakan perdamaian dan perundingan dari pada pemberontakan dan oposisi. Al-Buthi sangat sibuk mengajar, baik di Universitas Damaskus mapun di beberapa masjid seperti Masjid Tinkiz dan Masjid Al-Iman dan Masjid Al-Umawi. Hal itu berjalan hingga wafatnya.
Aktivitas Syekh al-Buthi sangat padat. Beliau cukup aktif mengikuti berbagai seminar dan konferensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Sampai wafatnya, ia masih menjabat sebagai salah seorang anggota di lembaga penelitian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris. Al-Buthi adalah seorang penulis yang sangat produktif. Karyanya mencapai 70 judul, meliputi bidang syari’ah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain.
Di antara karya tersebut adalah: al-Bidayat Bakurah A’mali al-Fikriyyah, at-Ta’arruf ‘ala adz-Dzat Huwa ath-Thariq al-Mu’abbad ila al-Islam, al-Madzahib at-Tauhidiyyah wa al-Falsafat al-Mu’ashirah, La Ya’tihi al-Bathil: Kasyfu li Abathili Yakhlatiquha wa Yalshiquha Ba’dhahum bi Kitabillah ‘Azza wa Jalla, Barnamij Dirasat Qur’aniyyah (3 Juz), Manhaj al-Hadharah al-Insaniyyah fi al-Qur’an, Min Rawa’i’i al-Qur’an al-Karim, Kalimat fi Munasabat, al-Hikam al-’Atha ‘iyyah Syarh wa Tahlil (4 Juz), Hadza Ma Qultuhu Amama Ba’dl ar-Ru’asa wa al-Muluk, Masyru’at Ijtimaiyyah, Yughalithunaka Idz Yaqulun, al-Islam wa al-’Ashr Tahdiyat wa Afaq (Hiwar li Qarnin Jadid), Urubbah min at-Taqniyyah ila ar-Ruhaniyyah Musykilatu al-Jusr al-Maqthu’ (dalam bahasa Arab dan Inggris), Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah (Wujud al-Khaliq Wazhifatu al-Makhluq), Syakhshiyyat Istauqafatni, Hurriyatu al-Insan fi Zhilli ‘Ubudiyyatihi Lillah (Silsilatu Hadza Huwa al-Islam), Allah am al-Insan Ayyuhuma Aqdar ‘ala Ri’ayati Huquq al-Insan?, Al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Tajribatu at-Tarbiyyah al-Islamiyyah fi Mizani al-Bahts, Silsilah Abhats fi al-Qimmah, Dhawabith al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah (2 Juz), Muhadharat fi al-Fiqh al-Muqaran, Ma’a an-Nas Masyurat wa Fatawa (2 Juz), al-Jihadu fi al-Islam: Kaifa Nafhamuhu? wa Kaifa Numarisuhu?, Siyamand Ibnu al-Adghal, Hadzihi Musykilatuhum, Hadzihi Musykilatuna, Min al-Fikr al-Qalb, Hiwar Haula Musykilat Hadhariyyah, ‘Ala Thariqi al-’Audah ila al-Islam: Rasm li al-Manhaj wa Hall limusykilat, Naqdhu Auhami al-Madiyati al-Jaldiyyah, al-Mar`atu Baina Tughyani an-Nizhami al-Gharbi wa Lathaaifu at-Tasyri’ ar-Rabbani, al-Insan Masir am Mukhayyar?.
Syekh al-Buthi Wafat
Sebelum wafat, Syekh al-Buthi sempat mempunyai firasat, sebagaimana dituturkan oleh Habib Ali al-Jufri, “Aku telah menelponnya dua minggu lalu dan beliau berkata pada akhir kalamnya: “Tidak tinggal lagi umur bagiku kecuali hitungan beberapa hari. Sesungguhnya aku sedang mencium bau surga dari belakangnya. Jangan lupa wahai saudaraku untuk mendoakan aku”. Akhirnya, beliau syahid terbunuh dalam sebuah bom bunuh diri yang terjadi di Masjid al-Iman Damaskus Suriah tempat beliau mengajar pada tanggal 21 Maret 2013 M/9 Jumadil Awal 1434 H. Bom bunuh diri tersebut terjadi di saat beliau sedang melakukan kajian rutin tafsir malam Jum’at di masjid tersebut. Syekh al-Buthi wafat pada usia 84 tahun dan disalatkan di Masjid Umayyah oleh ribuan jama’ah, termasuk dari Yordania dan Libanon, dan dimakamkan di samping makam Sultan Shalahuddin al- Ayyubi. Wafatnya beliau adalah duka bagi seluruh umat muslim Ahlussunnah wa al-jama’ah seluruh dunia.
Sekilas Tentang Buku Fatwa-Fatwa Kemasyarakatan Syekh al-Buthi
Buku Fatwa-Fatwa Kemasyarakatan Syekh al-Buthi ini merupakan terjemahan dari karya aslinya yang berbahasa Arab berjudul Istiftaa’at an-Nas lil Imam asy-Syahid al-Buthi—kompilasi dari tanya jawab umat Islam dengan Syekh al-Buthi di website www.naseemalsham.com. Penerjemahan buku ini dari kitab aslinya merupakan amanah dari putra Syekh al-Buthi yang bernama Syekh Taufik al-Buthi pada waktu SilatNas V Al Syami (Ikatan Alumni Syam Indonesia) di Yogyakarta. Dengan kerja keras dari sekjen Al Syami M. Najih Arromadloni selaku penerjemah, amanah Syekh Taufik berhasil dijalankan dengan baik, sehingga tepat pada SilatNas VI Al Syami di Medan tanggal 9-11 Maret 2018 lalu buku Fatwa-Fatwa Kemasyarakatan Syekh al-Buthi dilaunching dan dipublikasikan supaya manfaat dari buku tersebut semakin meluas.
Perlu diketahui bahwa, penerjemahan tersebut belum sepenuhnya utuh dan sempurna karena masih terbatas pada empat bab dari delapan bab naskah aslinya, yaitu al-’Aqaid wa al-Akhlaqiyat (Akidah dan Akhlak), al-Suluk wa at-Tazkiyyah (Suluk dan Tazkiyah), Fi al-Qur’an al-Karim wa al-Hadits wa al-Ijtihad (Tentang al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad), dan Qadlaya Fiqhiyyah Mu’ashirah (Problematika Fiqh Kontemporer). Sedangkan empat bab lain yang belum sempat diterjemah yaitu at-Taharah wa al-’Ibadat, al-Iqtishad wa al-Mu’amalat al-Maliyah, Ahkam al-Usrah, dan Qadlaya al-Sa’at.
Salah satu contoh fatwa Syekh al-Buthi dalam buku ini yaitu tentang pertanyaan “Dimanakah Allah”. Berikut narasinya:
“Beberapa pemuda di negara kami Libya diserang oleh sekelompok Wahabi dengan pertanyaan Dimanakah Allah?. Menurut mereka, Allah bertempat tinggal di langit dengan dalil yang menurut saya lemah, tetapi dikarenakan pengetahuan saya yang terbatas maka saya tidak mampu menjawab serangan mereka. Karena itu saya mohon anda berkenan memberikan saya beberapa dalil, barangkali saya bisa menyelamatkan beberapa orang dari bahaya i’tikad Wahabi yang merusak itu”.
Jawaban Syekh al-Buthi:
Jika ada sekelompok Wahabi yang tidak berpengetahuan itu menyerangmu dengan pertanyaan “Dimanakah Allah?”, maka jawablah dengan jawaban yang diberikan Allah: “Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”, “Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat”, “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”, “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”, “Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”, dan “Yang Maha Pemurah, yang beristiwa’ di atas ‘Arsy”.
Lalu balik bertanyalah: Kenapa kalian tidak mengakui adanya ayat-ayat tersebut dan hanya mengambil satu ayat: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit?!”