Laduni.ID, Jakarta – Saat saya masih di Zawiyah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di perpustakaan KH. Wahid Hasyim, di sana saya menemukan Majalah Suara Nahdlatul Ulama, berbahasa Jawa menggunakan aksara Arab Pegon. Pada edisi tahun 1347 H, Majalah tersebut merekam pertemuan antara Rabithah Alawiyah dengan Nahdlatul Ulama. Diberi judul, “Pepanggehan Ingkang Mulya Antawis Rabithah Alawiyah kaliyan Nahdlatul Ulama”. Bagaimana Isi pertemuannya?
Berikut tulisan dari Dzikir Terapi Sukma yang sedikit saya edit dan sesuaikan.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial kemasyarakatan menjalin hubungan dengan berbagai organisasi keislaman lainnya. Salah satunya dengan Rabithah Alawiyah. Hubungan ini, didorong oleh persamaan visi untuk mensyiarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Nusantara.
NU sebagai organisasi yang berdiri pada 31 Januari 1926, merupakan saudara tua dari Rabithah Alawiyah. Perkumpulan yang awalnya bernama “Arrabitatoel Alawijah”, itu baru muncul pada penghujung 1927. Kemudian mendapatkan legalitas “rechtspersoon” dari Pemerintah Hindia Belanda pada 27 Desember 1928 dengan nama Rabithah Alawiyah.
Sebagai saudara muda, Rabithah Alawiyah tentu berkepentingan untuk menjalin silaturahmi dengan NU. Begitu pula dengan NU yang sangat menjunjung tinggi dzuriyah Nabi Muhammad, keberadaan Rabithah Alawiyah menjadi representasi organisatoris untuk menunjukkan penghormatan pada Ahlul Bait. Rasa inilah yang kemudian terekam dalam perjumpaan penting antara kedua organisasi tersebut, pada Jumat 13 Rabiul Tsani 1347 H atau sekitar September 1928 M. Sebagaimana terekam pada Majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) edisi No.2 1347 H