Kehidupan Al-Baihaqi, Ahli Hadits Pembela Madzhab Syafi’i
Persia adalah sebuah negeri dengan peradaban kuat yang eksis hingga saat ini. Wilayahnya membentang dari Irak, Iran, Pakistan, Asia Tengah, hingga wilayah Arab, meskipun sekarang, hanya Iran yang dikenal sebagai Persia.
Sejak Islam masuk ke wilayah ini, tanah Persia berjasa besar dalam transmisi dan perkembangan ilmu-ilmu agama. Bagaimana tidak, nama-nama besar dalam berbagai bidang keilmuan seperti Abu Hanifah, Sibawaih, Fakhruddin Ar-Razi, Az-Zamakhsyari, Abu Ishaq Al-Isfarayini, Al-Baghawi, berasal dari negeri ini.
Pun enam imam hadits penyusun enam kitab induk hadits (al-kutubus sittah); Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, semuanya orang Persia. Tentu nama-nama tersebut hanya sebagian dari keseluruhan saja, masih banyak ulama-ulama besar yang berasal dari negeri ini, di antaranya adalah Al-Baihaqi, seorang imam hadits dan fikih.
Kelahiran Al-Baihaqi
Al-Baihaqi bernama lengkap Abu Bakr Ahmad bin Husain Al-Baihaqi. Lahir di Khosrovjerd, suatu desa yang kala itu menjadi pusat kota Baihaq. Baihaq sendiri adalah sebuah kota di Iran yang sekarang berganti nama menjadi Sabzevar. Al-Baihaqi lahir pada bulan Sya’ban tahun 384 H. Hingga sekarang belum ditemukan data yang menyebutkan latar belakang keluarganya dan kehidupan masa kecil Al-Baihaqi.
Riwayat Pendidikan
Sumber-sumber biografi imam besar mencatat kehidupan Al-Baihaqi mulai umur 15 tahun sebagai seorang muhaddits. Guru pertamanya dalam bidang ini adalah Abul Hasan Muhammad bin Husain Al-‘Alawi, seorang imam hadits asal Khurasan yang juga keturunan Rasulullah saw melalui jalur Sayyidina Hasan. Abul Hasan Al-‘Alawi juga merupakan guru dari guru Al-Baihaqi yang lain, yaitu Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak.
Al-Baihaqi sendiri adalah salah satu murid utama Al-Hakim. Di antara guru-guru Al-Baihaqi juga ada Abu Bakr Ibn Furak, imam para ahli ilmu kalam, yang juga pakar dalam bidang fikih dan ushul fikih, dan nahwu. Sebagaimana para ahli hadits terdahulu, Al-Baihaqi tidak hanya belajar pada ulama di daerahnya. Ia pergi ke berbagai daerah seperti Khurasan, Irak dan Hijaz. Tajuddin As-Subki mencatat bahwa jumlah guru Al-Baihaqi lebih dari seratus dan guru utamanya dalam ilmu fikih adalah Abul Fathi Nashir Al-‘Umari, seorang ahli fikih madzhab Syafi’i yang merupakan murid Abu Bakr Al-Qaffal. (Tajuddin Abdul Wahhab As-Subki, Thabaqatusy Syafi’iyyah Al-Kubra [Mesir: Dar Ihya’il Kutub Al-‘Arabiyyah, tt], juz IV, halaman 9).
Sosok Alim, Saleh, dan Sederhana
Al-Hafidz Abdul Ghafir, seorang sejarawan dan ahli hadits asal Naisabur, yang juga cucu dari Abdul Karim Al-Qusyairi, seorang sufi besar, mendeskripsikan sosok Al-Baihaqi sebagai ahli fikih, ushul fikih, dan ahli hadits yang mencapai derajat Al-Hafidz. Al-Baihaqi dinilai sebagai seorang yang saleh, wira’i, dan zuhud, seorang ulama yang tiada duanya di masanya.
Ia juga menceritakan bahwa para ulama Naisabur pernah meminta Al-Baihaqi untuk pergi ke sana kemudian membagikan ilmunya kepada para ulama di sana. Al-Baihaqi pun setuju, ia datang ke sana dan memperdengarkan kitabnya yang berjudul Ma’rifatus Sunan wal Atsar. Mengenai kesalehan Al-Baihaqi, Tajuddin As-Subki menyampaikan bahwa konon Al-Baihaqi berpuasa setiap hari selama 30 tahun sebelum ia wafat. (Adz-Dzahabi, Siyar, juz XVIII, halaman 167). (As-Subki, Thabaqatusy Syafi’iyyah, juz IV, halaman 11).
Al-Baihaqi adalah ulama yang kebesarannya bukan hanya bisa kita dengarkan dari testimoni para ulama terdahulu. Kebesaran itu juga bisa kita rasakan melalui karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu. Al-Baihaqi merupakan ulama dengan produktivitas menulis tinggi. Beberapa karyanya di antaranya sebagai berikut:
1. As-Sunan Al-Kubra
Kitab ini berisi hadits-hadits ahkam yang disusun berdasarkan penyusunan bab dalam ilmu fikih. Kitab ini memuat lebih dari 20.000 hadits baik yang marfu‘ atau ghairu marfu’. Al-Baihaqi meringkas kitab ini dan memberinya nama As-Sunan Ash-Shughra. Ibnush Shalah, Adz-Dzahabi, dan Tajuddin As-Subki memuji kitab ini dengan mengatakan tidak ada yang pernah mengarang kitab sebagus ini. (Taqiyuddin Ibnush Shalah, Muqaddimah Ibnish Shalah [Beirut: Darul Fikr, 1986], halaman 251). (Adz-Dzahabi, Siyar, juz XVIII, halaman 166). (As-Subki, Thabaqatusy Syafi’iyyah, juz IV, halaman 9).
2. Ma’rifatus Sunan wal Atsar
Kitab ini ditulis oleh Al-Baihaqi salah satu tujuannya untuk memperkokoh madzhab Syafi’i. Pasalnya, dalam kitab ini ia mengumpulkan pendapat-pendapat Asy-Syafi’i beserta dalilnya. Ia juga menjawab kritik Ath-Thahawi, seorang imam hadits bermadzhab Hanafi yang melemahkan beberapa hadits yang dijadikan dalil dalam madzhab Syafi’i.
Ada kisah menarik di balik penulisan kitab ini. Al-Baihaqi menceritakan bahwa setelah merampungkan penulisan kitab ini, ia mengoreksinya (tahdzib) kembali. Ketika selesai mengoreksi sebagian isi kitab, salah satu muridnya bercerita bahwa ia bermimpi melihat imam Asy-Syafi’i membawa kitab ini.
Sang murid yang bermimpi ini bernama Muhammad bin Ahmad, seorang murid yang oleh Al-Baihaqi sendiri diakui kealiman dan kesalehannya. Pada hari yang sama, Umar bin Muhammad, yang juga murid Al-Baihaqi bermimpi serupa, ia melihat Asy-Syafi’i di dalam sebuah masjid di Khosrovjerd:
Jika kedua murid Al-Baihaqi ini bermimpi melihat Asy-Syafi’i mengapresiasi secara khusus kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar, lain halnya dengan Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Marwazi, salah seorang ahli fikih di masa itu. Ia bermimpi melihat peti di langit yang dipenuhi cahaya, lalu ia bergumam “Apa ini?” lalu ia mendengar hatif (suara tanpa rupa) menjawab “Ini adalah kitab-kitab karya Al-Baihaqi”.
Mengenai ketiga mimpi tersebut, Adz-Dzahabi berkomentar bahwa semua itu adalah mimpi yang nyata (bukan sekedar bunga tidur). (Adz-Dzahabi, Siyar, juz XVIII, halaman 168). (As-Subki, Thabaqatusy Syafi’iyyah, juz IV, halaman 10).
Produktivitas Al-Baihaqi dalam membuat karya tulis sangat tinggi. Belum ada yang memastikan berapa jumlah kitab karya Al-Baihaqi. Adz-Dzahabi dalam Siyar-nya menyebutkan 23 kitab karya Al-Baihaqi yang mana mayoritas adalah kitab besar berjilid-jilid. Namun menurut Adz-Dzahabi, 23 kitab itu baru sebagian dari seluruh karya Al-Baihaqi. Adz-Dzahabi memberi testimoni secara umum terhadap kitab-kitab karya Al-Baihaqi, ia mengatakan
تصانيف البيهقي عظيمة القدر غزيرة الفوائد، قل من جود تواليفه مثل الإمام أبي بكر فينبغي للعالم أن يعتني بهؤلاء سيما سننه الكبير
Artinya: “Karya-karya Al-Baihaqi sangat berharga dan banyak sekali faedahnya, hanya sedikit orang yang mampu menyusun karya-karyanya dengan baik seperti Sang Imam (Al-Baihaqi). Maka bagi orang alim sebaiknya membaca dengan serius kitab-kitab Al-Baihaqi, terutama As-Sunan Al-Kubra“. (Adz-Dzahabi, Siyar, juz XVIII, halaman 168).
Membela Madzhab Syafi’i
Mengenai pembelaan Al-Baihaqi terhadap madzhab Syafi’i, Abul Ma’ali Al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan nana Imamul Haramain mengatakan:
ما من فقيه شافعي إلا وللشافعي عليه منة إلا أبا بكر البيهقي فإن المنة له على الشافعي لتصانيفه في نصرة مذهبه
Artinya: “Tidak ada satu orang pun ulama madzhab Syafi’i kecuali ia berhutang jasa pada Imam Syafi’i, kecuali Al-Baihaqi, Imam Syafi’i lah yang berhutang jasa padanya, karena kitab-kitab yang ia tulis dalam membela madzhab beliau“
Komentar Imam Haramain ini diamini oleh Adz-Dzahabi. Ia menambahkan bahwa andaikan mau, Al-Baihaqi bisa saja membuat madzhab sendiri karena keluasan ilmu yang ia miliki. (Adz-Dzahabi, Siyar, juz XVIII, halaman 168-169)
Pembelaan dan dedikasi Al-Baihaqi terhadap madzhab Syafi’i adalah perkara yang masyhur karena banyak ulama yang menyebutkannya. Selain melalui kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Al-Baihaqi juga mendedikasikan diri melalui kitabnya yang berjudul Al-Mabsuth. Ia mengumpulkan pendapat-pendapat Imam Asy-Syafi’i yang tercecer di berbagai kitab ulama-ulama sebelumnya.
Tajuddin As-Subki menyampaikan bahwa Al-Baihaqi adalah orang terakhir yang menghimpun pendapat-pendapat Asy-Syafi’i dalam sebuah kitab. Setelah itu, tidak ada yang membuat karya serupa karena Al-Baihaqi telah menyusunnya dengan sangat baik. Sehingga para ulama setelahnya merasa tidak perlu membuat karya dalam tema tersebut.(As-Subki, Thabaqatusy Syafi’iyyah, juz IV, halaman 10).
Murid-murid
Al-Baihaqi mencetak banyak ulama besar. Di antaranya adalah putranya sendiri yang bernama Isma’il yang dikenal dengan julukan Syaikhul Qudhat (Guru para qadhi/hakim). Ada juga cucu Al-Baihaqi yang bernama ‘Ubaidillah bin Muhammad bin Al-Baihaqi. Selain itu Al-Hafidz Ibn Mandah juga merupakan murid dari Al-Baihaqi. Tidak sulit mencari informasi tentang murid-murid Al-Baihaqi satu-persatu, karena banyak ditemukan di kitab-kitab Thabaqat. Hal ini menunjukkan bahwa murid-muridnya adalah ulama-ulama terkemuka.
Wafat
Semenjak pulang dari pengembaraan mencari ilmu, Al-Baihaqi menetap di tempat kelahirannya dan mengisi hari-harinya dengan menulis. Ia sesekali mengunjungi Naisabur atas permintaan para ulama di sana. Pada kunjungannya yang terakhir ke Naisabur, seperti biasa ia membagikan ilmunya pada para ulama dan pelajar, lalu ia sakit dan meninggal di Naisabur. Jenazah mulia sang imam kemudian dibawa dengan peti ke tempat asalnya, Khosrovjerd. Ia dikebumikan di sana. Sang imam hadits pembela madzhab Syafi’i ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 10 Jumadal Ula 458 H.
Ustadz Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Gebang Purworejo.
https://www.nu.or.id/tokoh/kehidupan-al-baihaqi-ahli-hadits-pembela-madzhab-syafi-i-ACx5N