Kisah Awal Pelurusan Arah Kiblat di Nusantara

Pada abad 18 M, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), saat berada di Makkah, mendengar pertikaian masyarakat Betawi perihal kiblat. Ia mencari tahu duduk persoalannya, kemudian mempelajari beberapa risalah falak dan miqat kepada beberapa ulama di Makkah. Rupanya ada dua kelompok yang bersengketa. Satu kelompok bersikukuh agar kiblat masjid tetap menghadap ke barat, dengan dalih arah kiblat yang ada sudah ditentukan oleh wali Allah dan sudah lama sholat menghadap ke arahnya.

Sementara kelompok satunya mengatakan bahwa harus serong ke arah kanan atau utara sebesar 22 derajat, sebab sebagaimana yang diilustrasikan di banyak kitab bahwa betawi berada di sebelah selatan dengan lintang 6 derajat dan selisih bujur Makkah dengan Betawi sebesar 63 derajat, maka seseorang yang hendak sholat harus serong ke kanan dari titik  barat sebesar 22 derajat. Maka para masyayikh sepakat bahwa wajib hukumnya untuk serong ke kanan sesuai azimuth kiblatnya, dan inilah golongan yang benar.

Dalam karyanya Sabilal Muhtadin lit Tafaqquh fi Amrid Din, Syekh Muhammad Arsyad menyatakan bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah shalat. Dan yang dituntut adalah menghadap ke ainul ka’bah (bangunan ka’bah), dengan yakin ketika dekat, dan dengan zhan (sangkaan yang kuat) ketika berada jauh dari ka’bah. Landasan hukum ainul ka’bah ini adalah hadis Nabi Muhammad SAW, bahwa ketika beliau keluar dari ka’bah, kemudian memandangnya lalu mengatakan inilah kiblat. Maka lafazh “inilah kiblat” menunjukkan makna ainul ka’bah bukan lainnya.

Ijtihad akan dianggap benar bila ada indikasi yang menunjukkan kebenarannya, kendati dengan zhan, baik dengan petunjuk matahari, bulan, bintang, angin, gunung, atau dengan petunjuk lintang dan bujur koordinat, peralatan seperti Rubu’ Mujayyab dan lainnya. Seseorang yang mampu mencari kiblat dinamakan Mujtahid fil Qiblah, kendati ia bodoh dalam persoalan syara’. Dan seorang mujtahid qiblat tidak boleh mengikuti ijtihad orang lain.

Syekh Arsyad menegaskan setiap orang dituntut untuk berijtihad bila ia memang tidak melihat ka’bah, atau tidak ada orang yang ahli di sekitarnya, atau tidak ada mihrab atau kuburan yang bisa diikuti; yang tidak wajib ijtihad adalah orang buta, dan bahkan haram berijtihad pada mihrab yang kiblatnya telah ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun mihrab masjid yang dibangun oleh sahabat nabi boleh diijtihadi.

Maka, sepulangnya dari Haramain setelah menimba ilmu lebih kurang 35 tahun, Syekh Arsyad tiba di Batavia pada tahun 1772 M beserta Syekh Abdurrahman al-Mishri, Syekh Abdul Wahab Bugis dan Syekh Abdussomad Palembang, ia diminta oleh dua kelompok yang saling bersengketa itu untuk mengurai persoalan kiblat. Syekh Arsyad pun menyampaikan sesuai dengan kaidah yang termaktub dalam risalah-risalah ilmu falak.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari melihat kiblat-kiblat masjid yang ada di Batavia ketika itu tidak menghadap ke ka’bah. Ia berpendapat sesuai mazhab yang ia anut, bahwa kiblat masjid-masjid tersebut harus diubah, karena telah melenceng jauh sampai 25 derajat. Jika dibiarkan saja tidak dirubah, maka hal ini ia anggap sebagai kemungkaran, sebab mengakibatkan shalat tidak sah.

Syekh Arsyad pun membetulkan arah kiblat di Masjid Kampung Sawah Besar[1] di Batavia dengan menggeser sebesar 24 derajat, pada hari Jum’at 2 Rabiul Akhir 1186 H. Posisi mihrab masjid tersebut tidak tepat ke ainul ka’bah, tapi ke kiri dua derajat dari titik barat sejati, sementara azimuth kiblatnya 22 derajat, sehingga harus digeser 24 derajat.

Whatsapp Image 2024 06 13 At 12.19.47
Masjid Jembatan Lima (Masjid Jami Al-Manshur) tempoe doeloe

Syekh Arsyad menyatakan boleh merubah kiblat masjid yang didirikan oleh wali, dan wajib mengubahnya bilamana terbukti salah. Mihrab-mihrab masjid di Batavia yang mengarah tepat ke barat dipastikan keliru kiblatnya, karena menyalahi arah kiblat yang sebenarnya yang telah ditetapkan ulama falak dan ahli fiqh yang tsiqah, serta karena menyalahi mihrab yang mu’tamad. Mihrab-mihrab tersebut tidak boleh dijadikan sandaran dan tidak boleh sholat menghadapnya. Siapa yang shalat menghadapnya, maka shalatnya batal dan wajib mengulanginya, jika sudah tahu kemelencengannya.

Mihrab yang ditetapkan sahabat boleh dirubah diijtihadi. Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Tuhfah, mihrab yang ditetapkan sahabat nabi yang ada di Basrah dan Kufah tidaklah seperti mihrab Nabawi yang tidak boleh diijtihadi. Jika mihrab yang ditetapkan sahabat saja boleh diijtihadi apalagi kitab yang ditetapkan masyarakat muslim Betawi dan lainnya?

Arah kiblat masjid-masjid di Batavia tidak bisa dijadikan pegangan, karena arah mihrabnya timur ke barat. Sehingga terdapat kejanggalan bagi ulama falak dan terdapat masjid yang mihrabnya saling berbeda. Syarat sebuah mihrab dijadikan pegangan ada dua, yaitu: 1) tidak ada kejanggalan menurut ahli falak, dan 2) tidak terdapat perbedaan arah mihrab dengan masjid-masjid yang lain. Jika dua hal ini tidak terpenuhi, maka tidak boleh mengikutinya secara ijma’. Dan berbedanya mihrab yang satu dengan mihrab lainnya itu lebih nyata bukti kekeliruannya dibanding dengan adanya dugaan kejanggalan bagi ahli falak. Sebab berbeda mihrab itu nyata, sementara asumsi adanya kejanggalan bagi ahli falak itu hanya zhan.

Sikap dan pandangan Syekh Arsyad yang demikian itu dianggap oleh Syekh Abdullah bin Abdul Qohhar al-Jawi sebagai orang baru yang mempersoalkan arah kiblat di Batavia. Namun hal ini dibantah Syekh Arsyad, sebab jauh sebelumnya Maulana Sayyid Ahmad Bafaqih dan Maulana Sayyid Alawi Bafaqih dan para ulama lainnya juga mengkritik arah kiblat di Batavia yang hanya menghadap ke barat. Keberadaan Syekh Arsyad ketika itu hanya mentashih dan menetapkan apa yang telah dilakukan oleh para ulama, tidak yang kali pertama mempersoalkannya sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdullah bin Abdul Qohhar.

Sikapnya ini membuat geger masyarakat Batavia setelah mendapat surat dari Syekh Abdullah bin Abdul Qohar asy-Syafi’i yang merupakan syekh tarekat ulama terkemuka pada masa itu. Syekh Abdullah bertanya mengapa Syekh Arsyad berinisiatif untuk merubah kiblat masjid yang ada, sementara ulama-ulama lainnya tidak mempersoalkan? Dan sejumlah pertanyaan lainnya.

Polemik arah kiblat yang menggegerkan masyarakat Batavia itu terdengar oleh Pemerintah Hindia Belanda, hingga Petrus Albertus van der Parra Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1761-1775) ketika itu ikut terlibat. Syekh Arsyad duduk di hadapan Gubernur Jenderal, di sebelah kanan ada sejumlah ulama Islam dan di sebelah kirinya ada pendeta yang ahli astronomi Johann Mauritz Morh (1716-1775), ilmuan Belanda. Saat itulah Syekh Arsyad menjelaskan arah kiblat dengan peta kiblat yang ia buat sendiri.

Polemik arah kibat ini tidak menimbulkan perpecahan atau permusuhan, karena yang berlaku adalah saling menasihati dalam kebenaran dan saling menghormati. Maka kehadiran Syekh Arsyad bersama sahabat-sahabatnya bukan untuk berbangga diri dan merendahkan yang lainnya. Mereka saling mencintai dan menjalin silaturahmi dengan baik, serta saling mudzakarah dalam urusan agama.

Dalam pertemuan antara Syekh Muhammad Arsyad dan Ulama Betawi yang dipimpin oleh Syekh Abdullah bin Abdul Qohar, dibuat banyak kesepakatan tentang dakwah agar Islam bisa tersiar di tengah masyarakat. Meski telah terjadi polemik arah kiblat di antara mereka, maka dengan pertemuan ini terbangunlah hubungan harmonis yang baik. Mereka lantas sadar bahwa Syekh Arsyad adalah sahabat mereka yang menunjukkan kepada kebenaran, mereka pun berterima kasih kepadanya atas hal ini.

Setelah Rakyat Betawi mengetahui niat tulus Syekh Arsyad, akhlaknya yang baik, serta kemahiran dan kecerdasannya, mereka memberikan hadiah kenang-kenangan kepada Syekh Arsyad pada saat sebelum kepulangannya ke Negeri Banjar. Bahkan Petrus Albertus juga memberikan sebuah ranjang yang terbuat dari kayu jati dan cermin tebal dari Belanda, dan member gelar “Tuan Haji Besar” kepada Syekh Arsyad.

Akhir kisah, polemik arah kiblat ini diterima semua pihak setelah Syekh Arsyad menunjukkan bukti-bukti yang argumentatif yang sulit dibantah sebagaimana yang ia dokumentasikan dalam sebuah risalah berjudul Mas’alatul Qiblah fil Batawi.

Whatsapp Image 2024 06 13 At 12.19.46 (1)
Manuskrip Mas-alatul Qiblah fil Batawi karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Kitab ini disajikan dengan gaya komunikatif dan tanya jawab. Risalah ini selesai ditulis pada Kamis, 23 Sya’ban 1186 H/19 November 1772 M. Salinan risalah ini disimpan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje di Leiden Belanda pada tahun 1936. Inilah yang disebut Risalatul Qiblah, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Tahrir Aqwal Adillah fi Tahsil Ainil Ka’bah karya Sayyid Usman bin Yahya dan kitab Mizanul I’tidal fi Takmilati Jawabis Su-al fi Mas-alah Ikhtilafil Mathali wa Ru’yatil Hilal karya Syekh Muhammad Mansur al-Batawi.

Risalah ini sangat penting diketahui karena memuat hujjah yang sangat kuat dalam mempertahankan qaul mu’tamad dalam mazhab syafi’i perihal arah kiblat. Pembahasannya memuat kajian tafsir, ulumul qur’an, hadis, ulumul hadis, fiqh, ushul fiqh, mantiq, tasawuf, nahwu, falak, dan adabul munazharah. Mengingat pentingnya risalah yang ia tulis ini membuat Mufti Betawi Sayyid Usman bin Yahya meringkasnya judul Manqulat min Risalatis Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari ‘an Qiblatil Masajid  fi Batawi.

Tak syak lagi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pelurusan arah kiblat di Indonesia, yang kemudian juga diikuti oleh Syekh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi, Sayyid Usman bin Yahya Mufti Betawi, dan KH Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah.

Beberapa kitab dan ulama yang dijadikan Syekh Arsyad dalam penulisan buku ini antara lain: Tafsir Baidhawi, Tafsir Baghawi, Tuhfah Ibnu Hajar, Risalah Ilmu Miqat Qalyubi, al-Minhaj, al-Hikam, Syarah Hikam, Lathaifu Minan, Fathul Wahhab, Syarah Raudh, al-Fawaid al-Madaniyah, al-‘Uhud Muhammadiyah Sya’rani, dan Hasyiyah Syarah Abi Suja’; Abul Abbas, Syekh Ibnu Hajar, Ramli, Zayadi, Ibnu Qasim, Syaikhul Islam Zakariya Anshari, Ibnu Muqri, Syekh Muzajjad, Khatib Syarbini, Imam Haramain, Halabi, Syibromalisi, Barmawi, Syarif Isa, Syekh Abdullah al-Mishri, Syekh Qurani, Syekh Sulaiman Madani, Sayyid Ahmad Bafaqih al-Hadrami, Sayyid Alawi Bafaqih, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Aidarus, Sayyid Muhammmad bin Abdurrahman, Jamal Muhammad bin Abi Bakar, Syekh Afifuddin Abdullah bin Abi Bakar al-Khatib, Syekh Burhanuddin bin Abi Syarif, Syekh Said Sunbul al-Makki.

[1] Dulunya masjid ini bernama Masjid Kampung Sawah, merupakan salah satu masjid tertua di Batavia. Sekarang berubah nama menjadi Masjid Jami’ Al-Mansur. Didirikan oleh Syekh Abdul Muhith pada tahun 1130 H/1717 M. Ayahnya adalah Pangeran Tjakrajaya dari Kerajaan Mataram yang datang ke Batavia untuk mengusir penjajahan Belanda. Setelah wafat Syekh Abdul Muhith, maka kepungurusan masjid dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Imam Muhammad Habib. Muhammad Habib ini punya anak yang bernama Muhammad Damiri. Dan berjalanannya waktu, ada seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Dialah yang melanjutkan kepemimpinan masjid ini. Arsitek masjid ini perpaduan antara gaya Jawa, China, dan Arab. Lebar 12 meter dan Panjang 14,40 meter.  .

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/nur-hidayatullah/kisah-awal-pelurusan-arah-kiblat-di-nusantara-b249472p/