Polisi Tidur dan Patologi Sosial Masyarakat Kita

Kita mengenal polisi tidur, sebuah gundukan yang berfungsi sebagai pengurang kecepatan di jalan. Ia berfungsi sebagai alat pengendali dan pengaman pengguna jalan yang digunakan untuk membatasi kecepatan para pengguna jalan. Tujuannya jelas, yaitu agar tidak terjadi kebut-kebutan, juga agar bisa menghindari terenggutnya korban jiwa akibat tabrak lari. Maka polisi tidur tidak hanya ada di jalan raya, tapi juga di gang-gang sempit. 

Di balik maksud dan tujuan pembuatannya, polisi tidur sesungguhnya bisa dibaca sebagai sebuah penanda yang mencerminkan kondisi psikologis masyarakat. Hal ini karena menurut logika lumrahnya, manalah mungkin jalan yang seharusnya tetap mulus dan berfungsi untuk melancarkan mobilitas masyarakat justru diberi penghalang.

Dalam pikiran seseorang atau kelompok masyarakat yang membuat polisi tidur, terdapat pandangan bahwa orang lain yang melintas jalanan itu tidak tahu adab berlalu-lintas. Bahwa para pengendara memacu kendaraan dengan seenaknya, tak tahu aturan, bahkan seakan menganggap jalan tersebut miliknya pribadi, dan mengancam kelangsungan hidup orang di sekitarnya.

Pada saat yang sama, ketika si pembuat polisi tidur tersebut melintasi polisi tidur di kawasan lain, sesungguhnya dia juga diandaikan tidak memiliki adab berlalu lintas. Dengannya, tercipta pola logika yang sama diantara masyarakat, khususnya para pengguna jalan.

Di satu sisi, keberadaan polisi tidur harus diakui menciptakan suasana keamanan jalan dan keselamatan lingkungan dengan membatasi kecepatan kendaraan yang lewat. Tujuannya jelas, untuk keselamatan warga, juga si pengendara. Orang jadi berhati-hati tatkala melintasi polisi tidur. Namun di sisi lain, ia menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan. Ini karena acapkali masyarakat membuatnya secara berlebihan, baik jarak yang terlalu dekat atau terlalu tinggi gundukannya.

Dalam perspektif sosial, dari keberadaan polisi tidur, kita dapat menangkap gambaran rusaknya basis sosial masyarakat yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran masing-masing warganya untuk tahu dan taat aturan. Polisi tidur, pada saat yang sama, juga mengungkapkan tidak adanya lagi kepercayaan atas kesadaran masing-masing warga. Semua orang dianggap tidak tahu diri dan aturan, maka perlu dipaksa supaya sadar aturan. Inilah patologi sosial budaya masyarakat kita.

Masyarakat yang belum dewasa sikap dan pikirnya. Ini mencerminkan kegagalan manusia Indonesia menjadi bangsa yang maju dan modern, karena bangsa yang maju dan modern bukan diukur secara kulit luarnya saja, namun ukurannya lebih pada substansi dan esensi. Salah satu contohnya, yakni dalam hal disiplin dan kesantunan dalam hidup bersama, termasuk dalam berlalu lintas. Dari polisi tidur, kita mendapati kenyataan sikap hidup masyarakat yang suka berkendara cepat menerabas aturan dan kebut-kebutan.

Fundamentalisme Kebut-kebutan

Kebut-kebutan sendiri, dalam konsep globalisasi sebenarnya menciptakan kondisi oposisi biner: pemenang dan pecundang. Dalam konteks pembahasan ini pemenang adalah pelaku kebut-kebutan, sementara “pecundang” adalah mereka yang bisa jadi kemudian membangun polisi tidur pada jalan. 

Fenomena kebut-kebutan sangat terkait dengan fundamentalisme ketika menafsirkan kebebasan dalam merespons modernitas, yang mencerabut banyak bentuk kehidupan tradisional. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas. Dalam konteks ini mewujud dalam bentuk gank motor yang marak belakangan ini.

Hal ini seturut logika Habermas (2003) yang menyebut fundamentalisme menemukan bentuk yang ekstrem dalam kebut-kebutan, yang dalam hal ini, secara eksklusif bersifat modern. Dalam konteks ini, fundamentalisme bukan gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami kebebasan. Fundamentalisme menjadi respons panik dan gagap dalam menghadapi modernitas dan globalisasi. Ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip-prinsip kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam kebebasan yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Keterputusan komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror, berupa adu kecepatan di jalanan (ruang publik). 

Sementara, jalanan sendiri harusnya merupakan institusi demokrasi paling definitif. Jalanan menjadi arena bagi individu dengan beragam prinsip dan kepercayaan moral mereka yang mengemuka dalam merespon sesama pemakai jalan. Dan jika komunikasi resiprokal yang seharusnya terjadi mengalami kegagalan karena suatu alasan tertentu, maka masing-masing menjadi terasing satu sama lain dan membahayakan diri sendiri. Inilah suatu benih distorsi dalam komunikasi di jalanan, suatu kesalahpahaman atau manipulasi.

Kegagalan kita dalam menempatkan jalanan (ruang publik) sebagai satu-satunya institusi definitif dalam demokrasi modern seperti ini akan berakibat fatal, yaitu berupa kematian civil society yang berujung pada terlepasnya kerekatan sosial (social bond) dalam masyarakat. Dan bila kerekatan sosial hancur, maka akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok yang satu dengan yang lainnya dalam masyarakat akan saling curiga, resistensif, saling bermusuhan atau bahkan, yang paling mengerikan, adanya upaya untuk saling meniadakan. Polisi tidur mengindikasikan kegagapan sebuah kelompok masyarakat dalam merespon kehidupan komunal. 

Toleransi 

Maka sesungguhnya inti dari pembicaraan ini adalah toleransi. Polisi tidur mestinya dimaknai sebagai simbol toleransi bagi bentuk pemanfaatan jalan secara proporsional, dan pada saat sama menjadi penanda terwujudnya kualitas kehidupan pada fasilitas publik berupa ketertiban bersama di jalan raya antar sesama penggunanya.

Sejatinya, toleransi mengandaikan sikap warga masyarakat terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama (resiprokal) sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas apa yang dapat ditoleransikan dan apa yang tidak. Dan sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama.

Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Secara etis toleransi mengandaikan kebenaran dari yang lain, politis karena ia mampu membentuk konsensus rasional. Argumentasi ini bertolak dari kenyataan bahwa jalanan (ruang publik) sebagai bentuk demokrasi sebagai sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional komunal yaitu sopan santun antar sesama pengguna jalan raya. Dengannya, toleransi dan konsensus rasional menjadi prasyarat dalam masyarakat demokratis yang majemuk dan multikultural. Dan oleh karenanya, bisa jadi polisi tidur tidak diperlukan lagi kehadirannya di setiap bentang jalan raya kita.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/polisi-tidur-dan-patologi-sosial-masyarakat-kita-b249480p/