Sejarah Surau di Minangkabau: Dari Ninik Turun ke Mamak, dari Mamak Turun ke Kamanakan

Berbicara tentang surau, maka tidak akan pernah lepas dari warisan kebudayaan dan keagamaan bagi masyarakat Minangkabau. Surau menjadi terikat secara kultural-historis dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tidak bisa dipungkiri, eksistensi surau menjadi bagian penentu pelestarian tradisi keagamaan dan kebudayaan di ranah Minang.

Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang terletak di puncak bukit atau ditempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya, dipergunakan untuk menyembah arwah nenek moyang. Dalam sejarah Minangkabau, diduga bahwa surau didirikan pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. Surau tersebut disamping berfungsi sebagai tempat peribadatan dan ritual Hindu-Budha, juga menjadi tempat berkumpul anak-anak muda mempelajari berbagai pengetahuan serta keterampilan sebagai persiapan menghadapi kehidupan dan juga tempat berkumpulnya para lelaki dewasa yang belum menikah (Indryani, hal 9).

Namun, progresifitas eksistensi surau bagi masyarakat Minangkabau terjadi sejak dijadikannya surau sebagai pusat penyebaran dan perkembangan Islam ke daerah-daerah lainnya di Minangkabau. Seperti halnya di Pulau Jawa surau juga digunakan sebagai akses bagi Islamisasi yang intensif di daerah-daerah terpencil dari pelabuhan pantai barat Minangkabau yang menjadi wilayah Islamisasi sejak dekade kedua abad XVI bersamaan keterlibatan mereka dalam perdagangan internasional. Surau juga menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung interaksi mendalam dan hubungan yang dekat antara Islam dan masyarakat Minangkabau (Effendi & N, 2018, hal. 49).

Surau dimaksudkan berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang akil baligh dan orang tua yang telah uzur, fungsi ini berkaitan dengan ketentuan adat, bahwa anak laki-laki tidak mempunyai kamar di rumah gadang.

Sedangkan, laki-laki yang sudah berusia lanjut harus meninggalkan rumahnya karena anak-anak gadisnya telah menikah, dan karena itu ia harus kembali ke lingkungan kaumnya, karena laki-laki tua itu sejak dulu memang tidak punya kamar di rumah kaumnya, maka ia tak bisa lain kecuali ia kembali ke surau (Indryani, hal. 3-4).

Kontribusi surau sebagai pembentuk pribadi muslim yang kokoh bagi anak nagari karena mereka tidak hanya belajar mengaji, tetapi mereka harus berperilaku baik dalam lingkungan masyarakatnya. Hal ini terbukti bahwa orang-orang Minangkabau periode klasik Minangkabau, surau rata-rata dapat mengaji Al-Quran dengan baik dan relatif lebih taat menjalankan ibadah yang terkait dengan amalan wajib (Indryani, hal. 3).

Menurut Sidi Gazalba, surau merupakan bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat setempat sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kaum, suku, atau indu. Ia didirikan oleh suatu kaum tertentu sebagai bangunan pelengkap rumah gadang, di sini beberapa saparuik (berasal dari satu perut atau keturunan) di bawah pimpinan seorang datuk (penghulu kepala suku) berdiam (Indryani, hal. 3).

Aktivitas masyarakat sering diadakan dalam surau, sehingga bisa diklasifikasikan fungsi surau antara lain: tempat shalat, tempat mengaji, belajar agama, asrama bagi para siswa, tempat merayakan hari besar Islam, upacara keagamaan, tempat suluk, tempat bertemu, berkumpul, rapat, penginapan bagi musafir da sebagainya. Sehingga jelas fungsi masjid hanya digunakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu dan dua hari raya sehingga kebersihan dan kenyamanan tetap terjaga (Effendi & N, 2018, hal. 49). Sedangkan, surau lebih daripada kegiatan keagamaan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau.

Surau dalam sistem adat Minangkabau didirikan oleh suatu kaum tertentu sebagai bangunan pelengkap rumah gadang, yang biasanya dibangun di atas tanah matrilinear, atau tanah wakaf yang diberikan penduduk desa. Namun demikian tidak setiap rumah gadang memilikinya, karena surau yang telah ada masih dapat menampung pemuda, musafir, dan pedagang jika melewati surau desa dan telat pulang ke rumah saat dalam perjalanannya.

Ajaran-ajaran adat juga diberikan kepada para pemuda Minangkabau selesai belajar kitab dan sesudah shalat Isya. Biasanya dalam suasana santai menjelang tidur para murid akan dikenalkan dengan berbagai istilah adat dan aturan-aturan adat bermasyarakat di Minangkabau berupa petatah-petitih yang sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketika para murid selesai belajar di surau dan mampu menggabungkan kemampuan agama dengan kemampuan adat dalam satu kesatuan yang saling melengkapi, bukan saling mempertentangkannya. Surau betul-betul memiliki fungsi yang sangat besar dalam menata dan menjaga kelangsungan sistem kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Kondisi seperti ini pemangku adat dan agama menyatu dalam institusi surau, tidak ditemukan pertentangan antara pemegang kebijakan agama dengan mereka yang memegang otoritas penuh adat dan budaya. Segala persoalan yang muncul akan diselesaikan di surau (Indryani, hal. 13-14).

Surau yang merupakan pusat transformasi keilmuan di Minangkabau sebenarnya dimulai dari kaum keluarga sehingga muncul ungkapan dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kamanakan”. Maka, konstruksi lembaga surau terdiri dari mamak sebagai guru, kemenakan sebagai murid, surau sebagai sarana, dan bahan ajarnya adalah nilai-nilai yang dianggap berguna untuk bekal hidup bagi generasi di masa mendatang.

Dengan demikian, surau mempunyai multifungsi, karena ia juga menjadi pusat informasi dan tempat terjadinya interaksi sosial-budaya dan tradisi keagamaan terhadap kawula pemuda Minangkabau masa dahulu. Berdasarkan fenomena ini surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Minangkabau. Hal ini melahirkan kebijakan yang mengharuskan surau dibangun berdampingan dengan rumah gadang suatu kaum pada masa klasik Minangkabau.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/jsp/sejarah-surau-di-minangkabau-dari-ninik-turun-ke-mamak-dari-mamak-turun-ke-kamanakan-b249482p/