Relasi antara kiai dan habib memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan budaya Islam di Indonesia. Kedua figur ini memegang peran penting dalam membentuk wajah Islam Nusantara, melalui peran mereka sebagai pemimpin spiritual, pendidik, dan tokoh masyarakat. Kiai dan habib memiliki peran yang saling melengkapi dalam masyarakat. Kiai umumnya dikenal sebagai pendidik dan pemimpin pesantren. Mereka bertanggung jawab untuk mendidik generasi muda Muslim, mengajarkan mereka ilmu agama dan nilai-nilai moral yang penting. Pesantren menjadi pusat pendidikan dan dakwah, tempat di mana para santri belajar tentang Al-Qur’an, hadits, fiqih, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Relasi antara kiai dan habib juga dapat dikatakan sangat erat terutama dalam konteks kerja sama untuk dakwah dan pendidikan. Keduanya sering berbagi panggung dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian, tabligh akbar, dan acara-acara penting lainnya. Di pesantren pun, tak jarang ditemukan habib yang memberikan ceramah atau menjadi bagian dari dewan pengajar. Sinergi ini menunjukkan bagaimana kedua figur ini saling melengkapi dan bekerja sama untuk kepentingan umat yang seringkali melihat mereka sebagai panutan yang memberikan arah dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Di samping itu, hubungan harmonis antara kiai dan habib juga menjadi contoh yang baik bagi umat tentang pentingnya kerja sama dan saling menghormati. Mereka menunjukkan bahwa meskipun memiliki latar belakang dan peran yang berbeda, tujuan akhir mereka tetap sama, yaitu menegakkan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat. Namun, hubungan ini tidak selalu berjalan tanpa hambatan. Belakangan ini justru ada beberapa pihak yang mencoba memutus, dan mengaburkan hubungan antara habib dan kiai. Ironinya, pihak-pihak atau kelompok tersebut menggemakan kebencian kepada para habib serta menghasut masyarakat untuk menjauhi mereka. Pesantren Sidogiri—melalui Tim Paragraf—hadir untuk mengungkap sesuatu yang selayaknya diungkap, fakta-fakta relasi kiai dan dan habib serta memberikan pengetahuan kepada khalayak yang terdampak syubhat terkait dengan ahlul bait belakangan ini.
Isi Buku
Buku berjudul Kiai dan Habib ini ditulis oleh Tim Paragraf Sidogiri dan diterbitkan serta dicetak untuk kali pertama pada bulan Dzulqa’dah 1445 H. Buku ini memuat 320 halaman dan terdiri dari 5 bagian pokok pembahasan. Bagian pertama, pembahasan dalam buku ini dimulai dengan memaparkan fakta akan sikap para ulama terhadap para habaib atau Ahlul Bait sejak zaman yang paling awal dalam Islam, yakni pada zaman sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, dan seterusnya hingga para ulama periode ini. Dari pembahasan tersebut pembaca akan mendapatkan gambaran yang sangat jelas bagaimana sikap para ulama/masyayikh kepada para habaib, seperti apa pandangan mereka, dan bagaimana pula mereka bertata-krama kepada para habaib. Selain itu, pembaca juga akan melihat hubungan keilmuan yang sangat erat antara habaib dan para masyayikh, mereka saling ber-ifadah dan ber-istifadah, sehingga selain terjadi jalinan yang erat dalam hubungan personal dan sosial, juga terjalin ikatan keilmuan yang sangat kuat antara habaib dan masyayikh.
Bagian Kedua, pembahasan lebih menitik beratkan terhadap bagaimana pandangan para ulama Nusantara kepada para habaib serta ketersambungan sanad kepada mereka (para habaib). Tentu pembahasan bagian kedua ini lebih berbobot dibandingkan sebelumnya, karena pada pembahasan kedua ini dipaparkan secara komprehensif tentang pandangan, sikap, adab/tatakrama para kiai/masyayikh terhadap para habaib. Bagian ketiga, membahas dan menguraikan tentang keistimewaan para habaib baik yang termaktub dalam al-Qur’an, hadits-hadits, maupun penjelasan dari pada para ulama. Bagian ketiga seolah merupakan sebuah jawaban dari bagian pertama dan kedua, bilamana ada seseorang yang bertanya tentang sikap para masyayikh atau kiai mengapa bisa sedemikian rupa, jawabannya ada pada bagian ketiga. Bagian keempat, membahas dan menguraikan bahaya dari antitesis sikap para ulama dan masyayikh di atas dengan artian apabila ada seseorang atau oknum yang bersikap buruk kepada para habaib, maka ia mendapatkan ancaman serius dari syari’at Islam. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam bersikap kepada para habaib harus betul-betul menjadi perhatian umat Islam.
Terakhir, bagian kelima, menguraikan sekelumit fakta tentang kontribusi dan perjuangan para habaib di Nusantara, baik dalam rangka melakukan dakwah Islamiah, menyebarkan Islam ke berbagai pelosok negeri, menjalin hubungan yang baik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, terlibat dalam perjuangan melawan penjajah, mengupayakan tercapainya kemerdekaan, hingga mengisi kemerdekaan tersebut. Selain itu, pada bagian kelima ini juga dipaparkan hubungan antara para habaib dan masyayikh Nahdlatul Ulama secara keorganisasian. Hal ini bertujan untuk menjelaskan kepada pembaca bahwa hubungan timbal balik antara habaib dan masyayikh tidak hanya terjadi pada level individu dan keilmuan saja, bahkan juga terjadi di level organisasi sebagai simbol pengabdian kepada agama, umat, bangsa dan negara.
Kelebihan Buku
Sejauh saya membaca buku karya Sidogiri ini, buku ini menyajikan dalil-dalil sebagai tendensi dari argumentasi-argumentasi yang dikemukakan. tentu hal tersebut merupakan satu dari sekian banyak keistimewaan buku ini. Selain itu, buku Kiai dan Habib ini memuat banyak referensi—kurang lebih ada 75 referensi—berupa kitab, manuskrip, buku, jurnal, dan majalah. Pembaca bisa menjumpai referensi-referensi tersebut pada Bibliografi halaman 313 sampai 320. Padatnya catatan kaki dan banyaknya referensi pada buku ini menandakan bahwa Tim Paragraf Pondok Pesantren Sidogiri beserta Tim Tashih tidak main-main dalam menyusunnya. Selain itu, buku ini hadir tidak dengan sudut pandang yang subjektif apalagi fanatik semata, itulah mengapa buku ini hadir didasarkan pada fakta-fakta empiris. Jika orang-orang yang sinis dan membenci para habaib itu menuduh bahwa “para habaib adalah penjajah dan telah melakukan penjajahan”, maka buku ini mengatakan berdasarkan fakta bahwa “para habaib bukan penjajah dan tidak pernah melakukan penjajahan”.
Statement Kiai Maimoen Zubair
Ulasan terakhir pada buku ini akan ditutup dengan statement Allahyarham Kiai Maimoen Zubair, Sarang Jawa Tengah. Beliau—Kiai Maimoen Zubair—dengan pemahamannya terhadap sejumlah hadits mengatakan bahwa “para habaib adalah bahtera Nabi Nuh ‘Alaihissalam, sedangkan para masyayikh adalah bintang-bintang”. Untuk selamat dari badai topan yang seperti lautan maka diperlukan bahtera untuk ditunggangi, namun ketika terjadi badai dalam keadaan gelap gulita, maka diperlukan petunjuk dari bintang-bintang supaya perjalanan di atas bahtera terarah sehingga bisa berlabuh di tempat yang tepat. Oleh karena itu, Habaib dan Masyayikh adalah dua hal yang tak terpisahkan. Harapan saya pribadi, jikalau hati-hati para pembenci sudah tertupup sebab kebencian dan kedengkian yang terlampau akut, maka dengan membaca buku ini, dan dawuh Kiai Maimoen Zubair dengan penuh penghayatan, semoga hati-hati mereka dibukakan kembali oleh Allah SWT. Wallahu a’lam.
Judul Buku: Kiai & Habib
Penulis: Tim Paragraf Pondok Pesantren Sidogiri
Penerbit: Sidogiri Penerbit, Pondok Pesantren Sidogiri
Tahun Terbit: Dzulqa’dah, 1445 H
Tebal: 320 Halaman
ISBN: 978-602-5801-17-4
Baca Juga
https://alif.id/read/alj/membaca-relasi-kiai-dan-habib-dalam-buku-karya-sidogiri-b249492p/