Mengenang Cak Ipul, Bapak Jurnalis NU yang Dermawan dan Perhatian

Lumajang, NU Online Jatim

Masih teringat dan terkenang betul dengan sosok almarhum Syaifullah Ibnu Nawawi, Kepala Biro NU Online Jatim. Kami biasa memanggilnya Pak Ipul, dan sebagian lainnya menyebut Cak Ipul. Tepat pada Senin (10/06/2024), di sela-sela beraktivitas, kaget bercampur sedih terdengar kabar bahwa beliau telah menghembuskan nafas terakhirnya di RSAL Surabaya.

 

Sejak awal saya sudah terkesan dengan sosoknya. Hal ini diawali kala saya mengikuti madrasah jurnalistik yang diadakan NU Online Jatim pada bulan Agustus 2021. Sejak pertama kali bertatap muka melalui zoom meeting, karena pelatihan saat itu diadakan secara daring (dalam jaringan) karena wabah Covid-19, saya sudah terkesan dengan beliau.

 

Di perkumpulan yang notabene didominasi anak-anak muda, beliau yang memang paling sepuh sendiri diantara para mentor seperti Mas Romza, Mas Iconk, Mas Habib dan Mbak Savhira, namun semangatnya menyambut para peserta pelatihan sangat luar biasa. Dengan bahasa ramah, ringan namun berbobot, bahasa santai penuh retorika dan sesekali dibumbui dengan guyonan santri, menunjukkan kedalaman pengalaman beliau dalam dunia jurnalistik.

 

Setiap bulan beliau selalu menyempatkan rapat dengan kami para jurnalis muda didikannya, meskipun dengan segala kesibukan beliau. Kadang beliau memimpin rapat saat sedang nyetir, saat sedang di luar kota, dan di saat-saat apapun. Seingat saya beliau selalu menyempatkan rapat bulanan untuk mengevaluasi dan memotivasi kami kontributor NU Online Jatim.

 

Tak hanya itu, dalam setiap kesempatan pertemuan online tersebut, beliau selalu menjanjikan dan memberikan reward bagi kontributor terproduktif dan terbaik. Paling banyak reward itu berupa buku bacaan. Dan yang masih saya ingat beliau selalu menjanjikan semampu beliau untuk sekadar mampir dan menemui kami di daerah. Dan, alhamdulillah banyak teman-teman kontributor yang sudah ditemui beliau, termasuk saya sendiri, dengan beribu kesan dan pengalaman menariknya.

 

Saya sendiri ditemui beliau tepatnya pada 30 Januari 2022, saat sibuk-sibuknya PCNU Lumajang menangani erupsi Gunung Semeru yang menjadi isu nasional saat itu. Saya yang waktu itu hampir setiap hari standby di posko utama di Gedung PCNU Lumajang untuk mengupdate berita seputar penanganan bencana, tiba-tiba menerima pesan WhatsApp dari beliau.

 

“Salam, saya akan ke Lumajang jam 10 mas, masih singgah di saudara. Kita ketemuan sekitar jam 1-an, enaknya di mana?” demikian pesan WhatsApp dari beliau.

 

Saya yang memang mengharapkan kunjungan beliau sejak dulu tentu senang, tapi di sisi lain bingung enaknya bertemu dimana. Di Gedung PCNU Lumajang kala itu sedang dijadikan gudang logistik bantuan. Mau saya haturkan ke rumah saya sendiri agaknya terlalu jauh dari pusat kota. Akhirnya saya tawarkan beliau dulu soal dimana enaknya bertemu.

 

“Wa’alaikumsalam, Pak. Nggeh monggo, Pak. Saget di PCNU (Lumajang), di rumah saya, di warung, atau dimanapun jenengan ngersa’aken, Pak,” balas saya WhatsApp.

 

Akhirnya beliau bilang dimana saja terserah saya, dan saya berinisiatif untuk bertemu di salah satu warung makan. Pikir saya biar bisa menghurmat beliau dengan maksimal dan hidangan yang pantas.

 

Akhirnya mendekati pukul 13.00 WIB saya berangkat ke warung yang dituju dengan hidangan khas bebek kemelecer dan minuman beras kencurnya. Lokasi sesuai maps saya kirimkan ke beliau agar nanti bisa langsung menuju ke lokasi.

 

“Minta tambahan waktu 30 menit ya mas, ada tamu lain nih. Pangapunten,” tiba-tiba beliau berkirim WhatsApp ke saya.

 

Beliau yang disiplin waktu itu tak canggung meminta maaf atas keterlambatan kedatangan karena ada tamu. Meskipun tidak meminta maaf pun sebenarnya saya tidaklah mengapa, toh beliau adalah guru saya dan pasti akan saya tunggu jam berapapun dan dimanapun. Masyaallah, luar biasa santunnya kepada muridnya.

 

Setelah dekat dari waktu yang dijanjikan, saya pesankan makanan dan minuman dulu, biar nanti ketika beliau datang bisa langsung menikmatinya. Dan akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu itupun tiba, beliau datang sendiri menggunakan mobil pribadinya.

 

Sambil menikmati hidangan yang ada, beliau menceritakan banyak hal, terutama berkaitan dengan pengalamannya selama ini. Dengan bahasa renyah sesekali beliau memotivasi saya, terutama tentang pengkaderan jurnalis NU yang harus terus berjalan. Bahkan secara khusus beliau meminta nanti di Lumajang silahkan adakan pelatihan jurnalistik serta bisa mengundang beliau kapan dan dimana saja.

 

“Gak usah mikir transport untuk saya, gak usah mikir sangu untuk saya, silahkan kumpulkan peserta pelatihannya, kapan dan dimana, insyaallah saya siap datang,” katanya waktu itu.

 

Sekali lagi, saya dibuat kagum dengan dedikasi beliau. Bagaimana cara ngemong anak muda dan mendidik kadernya dengan ikhlas. Motivasi-motivasi halus dari ucapan beliau saat itu tentu menjadi pelecut semangat buat saya pribadi. Bahwa menulis di media NU bukan hanya tentang materi, tetapi lebih kepada pengabdian sampai akhir, yang endingnya adalah keberkahan. Alhamdulillah, hal itu bisa saya rasakan betul, sesuai husnudzon saya.

Syaifullah Ibnu Nawawi (kanan) bersama Sufyan Arif (penulis). (Foto: NOJ/ Dok. Pribadi)
Alm. Syaifullah Ibnu Nawawi (kanan) bersama Sufyan Arif (penulis). (Foto: NOJ/ Dok. Pribadi)

Kurang lebih 2 jam saya bertemu beliau, akhirnya beliau pamit karena masih akan ke Probolinggo ke rumah sanak saudaranya. Saya pun hendak ke kasir mau bayar makanan dan minuman.

 

“Wes mas, wes mas, gak usah,” cegah beliau.

 

Wah, saya jadi gak enak sebenarnya. Saya yang ngajak ke warung tapi beliau malah yang membayarkan. Meskipun dalam hati kecil juga terbersit kata ‘alhamdulillah’. Hehehe. Bukan hanya itu, saya juga diberi bonus foto selfi bareng beliau.

 

Selamat jalan guruku! Ragamu mungkin telah meninggalkan kita, namun semangatmu, motivasimu, dedikasimu, tertancap dalam di sanubari kita. Insyaallah, dan saya yakin penjenengan husnul khotimah. Aamiin.


https://jatim.nu.or.id/rehat/mengenang-cak-ipul-bapak-jurnalis-nu-yang-dermawan-dan-perhatian-JlCxO