Alam Minangkabau dan Awal Sejarah Islam di Minangkabau

Minangkabau dikenal sebagai salah satu wilayah di Nusantara dengan keelokan alam dan kebudayaan dari nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakatnya. Menurut Christinne Dobbin, Alam Minangkabau tidak identik dengan negara, namun bukan berarti tidak memiliki wilayah kerajaan. Dobbin menelusuri jejak sejarah abad ke-18, ia memberikan konklusi bahwa setelah Adityawarman (1347-1375), para raja merupakan simbol dari pada pelaksanaan atau perwujudan yang sebenarnya dalam kekuasaan atas keseluruhan alam Minangkabau (Nain, 1988, hal. 11).

Wujud sesungguhnya dari kekuasaan Raja Minangkabau telah diungkapkan dengan tepat oleh pepatah adat berbunyi “luhak berpenghulu, adat beraja”. Maksudnya ialah, bahwa kekuasaan dalam kawasan luhak adalah para penghulu, sedangkan dalam wilayah rantau dikuasai oleh pada raja-raja kecil. Artinya, luhak terdiri dari kelompok nagari yang mewakili pemerintahan yang berdiri sendiri. Nagari sebagai unit teritorial pada saat yang sama menjadi unit politik.

Pemimpin dalam setiap nagari tersebut dipimpin oleh para penghulu yang berkuasa bukan berkuasa pada setiap nagari dengan kelembagaannya di bawah naungan Dewan Penghulu Nagari, dan hal pentingnya adalah para penghulu tersebut bukan menjadi lembaga perwakilan atas kekuasaan raja yang di Pagaruyung, akan tetapi menjadi wakil dari nagari itu sendiri.

Itulah sebabnya, sebagian para peneliti tentang Minangkabau lebih cendrung menganggap, bahwa struktur sosial dan politik Minangkabau mirip negara kota pada masa Yunani Kuna. Nagari-nagari adalah republik kecil di bawah kekuasaan para penghulunya. Dengan demikian, nagari-nagari pada kawasan luhak, kecuali Luhak Tanah Datar tidak termasuk ke dalam kekuasaan Raja Pagaruyung, akan tetapi nagari-nagari tersebut lepas dari kawasan raja (Nain, 1988, hal. 12).

Mengenai Islam hadir ke Alam Minangkabau dari beberapa pendapat ada yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Minangkabau Timur pada Abad ke-7, ketika para pedagang Arab dan Cina sudah ramai datang ke daerah-daerah penghasil lada di kawasan itu, terutama di muara sabaik, dan muara tambesi di Kerajaan Melayu Sriwijaya/Jambi. Kota-kota pelabuham tersebut terdapat perkampungan-perkampungan pedagang-pedagang Arab yang bersaing dengan para pedagang Cina untuk merebut komoditas rempah-rempah. Sri Maharaha Sriindrawarman, pengganti Lokitawarman di Muara Sabak, telah menganut agama Islam pada tahun 718 H.

Perkembangan Islam yang cepat dan kemudian mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan masyarakat Minangkabau, disebabkan oleh beberapa faktor, pertama agama Islam datang bukan dibawa oleh pasukan perang, melainkan oleh para pedagang yang berinteraksi akrab dengan masyarakat setempat. Kedua agama Islam sampai ke daerah ini hanya menemukan pengaruh yang kuat dari adat, dan tidak mendapat rintangan yang berarti dari agama Hindu dan Budha.

Ketiga, agama Islam menghargai adat istiadat penduduk setempat, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok dalam agama Islam. Keempat, beberapa prinsip pokok dalam adat Minangkabau sangat sesuai dengan prinsip-prinisip Islam, seperti kehidupan demokratis berdasarkan prinsip musyawarah, menentang adanya kasta-kasta dalam masyarakat serta menghargai kaum Wanita yang oleh adat dijunjung tinggi dan dijadikan dasar susunan masyarakat matrilineal. Kelima, dakwah atau penyiaran agama Islam oleh para penganjurnya dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan, lemah lembut, persuasif dan motivatif, kecuali oleh sebagian pemuka kaum paderi, pada abad ke-19 (Latif, 1998, hal. 48).

Mengacu pada poin yang kelima, terdapat peristiwa penyebaran Islam di Minangkabau melalui Syekh Burhanuddin Ulakan yang didapati beberapa ungkapan tentang beliau yang dikenal sebagai pribadi lemah lembut dan penuh kasih saying dalam berda’wah, menyampaikan perintah dan larangan agama kepada masyarakat.

Suatu riwayat menyebutkan bahwa setelah Syekh Burhanuddin mulai mengajarkan agama Islam di Nagari Ulakan, murid-muridnya membawakan bermacam-macam makan untuknya, antara lain, samba randang babi (hidangan makanan berupa rendang babi) dan tikus. Ketika mereka menghidangkannya kepada syekh, ia berkata: “makanlah dek awak, ambo tidak rajan” (silakan, makanlah sendiri, saya kebetulan tidak suka”. Ia tidak tergesa-gesa untuk mencela atau menyatakan haramnya daging babi tersebut. Ia tidak tergesa-gesa untuk mencela atau menyatakannya haramnya daging babi tersebut. Ia tidak serta-merta melempar dan pengetahuan mereka tentang hukum-hukum Islam dapat diperluas (Latif, 1998, hal. 49).

Perkembangan diaspora Islam di wilayah Alam Minangkabau, maka pada setiap nagari didirikan sebuah masjid yang umumnya berdekatan dengan balairung adat (ruang pertemuan adat). Masjid ini terutama digunakan untuk shalat Jum’at dan untuk acara-acara keagamaan untuk seisi nagari, seperti peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, shalat hari raya dan sebagainya. Masjid-masjid ini dikelola oleh nagari. Ada empat pejabat yang kegiatan mereka berpusat di masjid, yaitu imam, khatib, bilal dan qadhi. Mereka ini merupakan para pejabat nagari, dipilih dan diangkat oleh nagari (Latif, 1998, hal. 52-53).

Selain itu, suku-suku dalam setiap nagari berusaha mendirikan surau untuk tempat ibadah sehari-sehari bagi warga suku tersebut dan sebagai tempat pengajian Al-Qur’an bagi anak-anak. Juga sebagai tempat bermalam bagi remaja lelaki karena menurut adat yang berlaku di masa itu mereka tidak boleh bermalam di rumah orang tuanya, bahkan Ketika mereka sudah mempunyai saudara Perempuan yang sudah remaja. Pada malam hari mereka belajar ketangkasan bela diri atau silat, karena guru agama di Minangkabau pada masa itu umumnya menguasai ilmu beladiri (Latif, 1998, hal. 53).

Dengan demikian, “Alam Minangkabau merupakan istilah khusus yang dimiliki oleh masyarakat Ranah Minang itu sendiri dengan ciri khas sistem pemerintahan lokal yang dipakai sejak lama bahkan hingga kehadiran Islam tidak serta mengubah sistem pemerintahan lama mereka. Bahkan kedatangan Islam menjadi penguat ciri khas masyarakat Minangkabau dengan lokalitas kultural dan adaptasi nilai-nilai agama Islam yang telah menjadi sendi utama bagi kehidupan masyarakatnya. Tidak bisa dipungkiri, penyebaran Islam secara persuasif yang damai menjadi daya tarik sehingga perpaduan agama dan kearifan lokal menjadi keunikan tersendiri.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/jsp/alam-minangkabau-dan-awal-sejarah-islam-di-minangkabau-b249508p/