Al-Qur’an Sebagai Kalam Allah dan Argumentasinya

Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi manusia. Dalam prosesnya, Al-Qur’an sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Abbas dan disepakati mayoritas ulama, diturunkan melalui dua fase. 

Fase pertama disebut fase “inzali” yaitu turunnya Al-Qur’an secara global dari Lauhul Mahfudz menuju Baitul Izzah di langit dunia sebagai bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an. Fase kedua disebut “tanzili” yaitu turunnya Al-Qur’an secara bertahap kepada Nabi Muhammad saw selama 23 tahun sesuai dengan peristiwa yang terjadi (mempertimbangkan sebab turunnya). (Manna Al-Qathan, Mabahits fi ulumil Qur’an, tt [Kairo: Maktabah Wahbah], hal 96).

Terkait proses turun Al-Qur’an fase pertama, Allah berfirman:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ۝١

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatulqadar”. (QS. Al-Qadr: 1).

Adapun di antara ayat yang menunjukkan proses turun Al-Qur’an fase kedua ialah:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَࣖ ۝٨

Artinya: “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim”. (Qs. An-Nahl: 89).

Terkait proses kedua turunnya Al-Qur’an (Tanzili), terdapat beberapa pandangan ulama yang menyebutkan bagaimana kemungkinan Al-Qur’an disampaikan oleh Malaikat Jibril. Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Qur’an menyebutkan 3 pendapat ini:

 

  1. Al-Qur’an turun baik lafadz maupun maknanya dari Allah. Jibril sebagai penyampai wahyu, membawa dan memberitahukannya kepada Nabi Muhammad saw.
  2. Jibril hanya menyampaikan maknanya saja kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian Nabi Muhammad  memahami makna tersebut dan menyampaikannya dengan menggunakan bahasa Arab. Pendapat yang kedua ini berpegangan dengan dzahir dari As-Syuara ayat 193-194.
  3. Jibril menyampaikan makna Al-Qur’an dengan sekaligus membawakannya dengan bahasa Arab. Sebab penduduk langit juga membacanya dengan bahasa Arab hingga kemudian Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab. (Imam As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Al-Hay’ah al-Misriyyah al-Ammah lil Kitab, 1974 M], juz I, hal 157).

Imam As-Suyuthi dalam hal ini tidak menjelaskan pendapat yang ia unggulkan dari ketiga pendapat tersebut. Dua pendapat terakhir, merupakan pendapat minoritas ulama yang kemudian disalahpahami pada saat ini. Sehingga kemudian menimbulkan polemik apakah Al-Qur’an merupakan kalam Allah baik secara lafadz maupun maknanya atau hanya maknanya saja. Sebab perbedaan tersebut dapat berimplikasi pada sakralitas dan kemukjizatan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah.

Argumentasi Al-Qur’an Kalam Allah

Secara definisi, ulama ahli ilmu Al-Qur’an menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang memiliki nilai ibadah ketika membacanya dan disampaikan dengan secara mutawatir

Setiap dari definisi tersebut menafikan lawannya, semisal kalam yang dinisbatkan kepada Allah mengecualikan kalam yang diucapkan oleh yang lainnya seperti manusia, jin maupun malaikat. Oleh karenanya, tidak mungkin menisbatkan Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Dalam hal ini, Muhammad Nuruddin dalam bukunya Membuktikan Al-Qur’an Sebagai Kalam Ilahi menyebutkan beberapa argumentasi Al-Qur’an merupakan kalam Allah secara hakikat. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, dua pendapat terakhir yang disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Al-Itqan”, yang menyatakan bahwa Al-Qur’an turun maknanya saja tanpa lafadznya dianggap lemah oleh para pakar. Di antaranya ialah Syekh Abdullah bin As-Shiddiq Al-Ghumari dan Prof. Dr. Salim Abu ‘Ashi. (lihat Muhammad Nuruddin, Membuktikan Al-Qur’an Sebagai Kalam Ilahi, [Depok, Penerbit Keira, 2024], hal 89).

Kedua, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an mengindikasikan bahwa Al-Qur’an memang turun dari Allah swt kepada Nabi Muhammad baik lafadz maupun maknanya. Di antaranya ialah surat Yusuf ayat 2 berikut:

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ 

Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti”. (QS. Yusuf: 2).

Menurut prof Salim, Penyifatan Al-Qur’an dengan bahasa Arab pada ayat di atas, menjadi bukti bahwa Al-Qur’an turun baik lafadz maupun maknanya dari Allah swt. Sebab jika Al-Qur’an turun hanya sebatas maknanya saja tidak mungkin dikatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab. (Nuruddin, hal 170).

Ketiga, jika Al-Qur’an disebutkan merupakan kalam Allah juga sekaligus kalam Nabi, maka klaim tersebut merupakan klaim yang kontradiktif. Prof Salim Abu ‘Ashi menjelaskan bahwa klaim yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an hanya diturunkan maknanya saja akan berakhir pada penetapan kontradiksi di dalam Al-Qur’an. Sebab di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa kitab suci ini diturunkan lafadz dan maknanya sekaligus. (Nuruddin, 175).

Keempat, secara definitif, mendefinisikan Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang turun baik lafadz dan maknanya akan membedakannya dengan hadits qudsi. Sebagaimana yang diketahui, hadits qudsi merupakan hadits yang maknanya dinisbatkan kepada Allah, sedangkan periwayatan lafadznya dari Nabi Muhammad saw. 

Perbedaan mendasar ini dapat menjadi dalil yang kuat untuk membuktikan keautentikan Al-Qur’an turun baik lafadz maupun maknanya dari Allah swt. Sebab jika Al-Qur’an hanya turun maknanya saja, sedangkan lafadznya dari Nabi Muhammad, maka tidak akan ada bedanya dengan hadits qudsi yang masyhur itu.

Kesimpulannya, dengan beberapa argumentasi ini dapat dipahami bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang turun baik lafadz maupun maknanya bersumber dari Allah swt. Adapun kedua pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an turun hanya maknanya saja sedangkan lafadznya dari Nabi Muhammad saw dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan dasar. Wallahu a’lam.

Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren Khas Kempek

https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/al-qur-an-sebagai-kalam-allah-dan-argumentasinya-VATlX