Kajian Hadits: Larangan Jadi Pelakor dan Pebinor oleh Nabi

Istilah pelakor atau ‘perebut laki orang’ memuat substansi seorang perempuan merayu laki-laki yang sudah beristri hingga tergoda dan menceraikan istrinya kemudian menikah dengan si perempuan yang menjadi selingkuhannya. 

Istilah ini pada hakikatnya merujuk kepada tindak perselingkuhan antara seorang suami dengan perempuan lain. Adapun bagi seorang laki-laki yang merebut istri orang lain kerap disebut dengan Pebinor atau ‘perebut bini orang’.

Dua istilah tersebut lahir dari fenomena yang hidup di tengah masyarakat, di mana perselingkuhan dilakukan oleh orang-orang yang telah berumah tangga. Fakta ini tentunya terlepas dari dinamika perdebatan istilah ‘pelakor’ yang dipandang sebagai sebutan yang menyudutkan dan menyerang identitas perempuan. (Yelly Elanda dan Ardanareswari Ayu Pitaloka, Pelakor Syar’i: Kekerasan Simbolik terhadap Perempuan dalam Media Sosial, [JWK: Jurnal Wanita dan Keluarga, 2022], hal 41).

Beberapa peneliti yang pernah menulis diskusi terkait diskriminasi terhadap perempuan pada label ‘pelakor’ menyebut adanya generalisasi tindak kesalahan perselingkuhan murni disebabkan perempuan. Faktanya, perselingkuhan tidak selalu diinisiasi oleh pihak perempuan, namun laki-laki pun kerap menjadi biang keladi pada kasus tersebut. (Ayunda Riska Puspita, Perempuan dalam Popularitas Pelakor vs Pebinor : Kajian Semiotik Berbasis Gender, [DIALEKTIKKA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 2023], hal. 2).

Baik pelakor maupun pebinor, tindakan merebut pasangan orang lain yang sah atau perselingkuhan, dilarang keras dalam pandangan Islam, baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw pernah memperingatkan umatnya agar tidak merusak hubungan orang lain dengan cara ‘takhbib’.

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه 

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda, ‘Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya’.” (HR Abu Dawud).

Maksud menipu dalam redaksi hadits ini menurut Al-Munawi adalah memengaruhi istri seseorang agar bercerai dengan suaminya, kemudian ia menikahi perempuan tersebut. Perilaku ini dinilai oleh Ibnu Qayyim sebagaimana dikutip al-Munawi sebagai dosa yang tidak lebih rendah dari dosa zina, bahkan mungkin lebih besar (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah, 1356], jilid V, hal. 385).

Kemudian, larangan Rasulullah saw terhadap tindakan perselingkuhan juga terdapat dalam hadits lain yang menegaskan larangan terhadap seorang wanita untuk meminta kepada seorang suami orang lain untuk menceraikan istrinya, supaya bisa menikahinya. Rasulullah saw bersabda:

وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

Artinya: “Janganlah seorang wanita meminta suaminya agar menceraikan isterinya, dengan maksud untuk mendapatkan sesuatu yang telah diberikan si suami kepada istrinya.” (HR Al-Bukhari).

Dalam riwayat yang lebih detail lagi, Abu Dawud menyebut hadits serupa dalam Sunan Abu Dawud, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسْأَلْ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا وَلِتَنْكِحَ فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Janganlah seorang wanita meminta cerai saudarinya agar ia dapat mengosongkan nampannya (menguasai apa yang ia miliki) dan agar ia dapat menikah dengan suaminya, sesungguhnya baginya apa yang ditakdirkan untuknya’.” (HR. Abu Daud).

Para ulama menyepakati bahwa hadits ini bukan sekadar informasi ketidakbolehan, namun merupakan larangan yang tegas terkait ketidakbolehan merebut suami orang lain. Selain itu, para ulama berbeda pendapat mengenai tafsiran perempuan pada hadits tersebut.

An-Nawawi berpendapat bahwa perempuan pada hadits ini adalah wanita asing. Artinya tidak spesifik kepada wanita tertentu. Dalam konteks sekarang dapat kita maknai wanita tersebut adalah kenalan dan kolega seperti di tempat kerja, tetangga, ipar, selingkuhan, atau bahkan siapa pun wanita yang tidak dikenal, kemudian memohon agar si laki-laki menceraikan istrinya agar dapat menempati posisi sebagai istri sahnya.

Tentu dalam konteks saat ini di Indonesia, wanita yang meminta seorang laki-laki yang sudah berpasangan untuk meceraikan istrinya agar dirinya dapat dinikahi akan disebut sebagai seorang ‘pelakor’. 

Menurut an-Nawawi, kata ‘ukht’ atau ‘saudari’ dalam hadits tersebut dapat beragam maknanya, di antaranya adalah saudari seketurunan, saudari sepersusuan, hingga saudari yang seagama. Artinya, tidak spesifik kepada wanita tertentu saja.

Tujuan permintaan terhadap suami orang untuk diceraikan tidak lain adalah untuk mendapatkan sesuatu yang didapatkan oleh istri sah suami tersebut, yaitu berupa harta dan lain sebagainya. Tentunya perilaku seperti ini tidak selayaknya dilakukan oleh siapa pun (Muhammad bin ‘Ali al-Wallawi, Dzakhiratul ‘Uqba fi Syah Sunan al-Mujtaba, [Makkah: Dar Ali Burum, 2003], jilid XXVII, hal. 142).

Senada dengan an-Nawawi, Abul Hasan as-Sindi pun berpendapat bahwa wanita dalam konteks hadits ini adalah umum, atau boleh jadi wanita yang seagama, yang meminta seorang suami milik orang untuk meninggalkan istri sahnya kemudian menikahinya. (Abul Hasan as-Sindi, Fathul Wadud fi Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir: Maktabah Layyinah, 2010], jilid II, hal. 527).

Sementara an-Nawawi, Zainuddin al-‘Iraqi melampirkan pendapat probabilitas wanita yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah saudari perempuan si istri. Jika demikian, maka yang diwanti-wanti adalah ipar layaknya fenomena yang mencuat pembahasannya di Indonesia beberapa waktu lalu dalam film ‘Ipar adalah Maut’. (Zainuddin al-‘Iraqi, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, [Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, t.t.], jilid VI, hal. 95).

Begitu pun Ibnu Abdil Barr yang mengartikan ‘saudari’ dalam teks hadits tersebut adalah madu si suami atau istri muda si suami. Penafsiran Ibnu ‘Abdil Barr merujuk pada gambaran kasus si istri muda ingin menguasai seluruh harta dan pemberian suami yang awalnya dibagi-bagi kepada istri tua dan muda, si istri muda ingin menguasai semuanya.

Langkah menguasai seluruh harta yang dibagi-bagi baik kepada istri tua dan istri muda adalah dengan membujuk si suami untuk menceraikan istri tuanya, sehingga seluruh harta dan kasih sayang si suami terfokus pada istri muda saja. (Muhammad bin ‘Ali al-Wallawi, Dzakhiratul ‘Uqba fi Syah Sunan al-Mujtaba, jilid XXVII, hal. 142).

Penafsiran Ibnu ‘Abdil Barr diperkuat dengan riwayat hadits Nabi saw yang melarang seorang wanita yang akan dipoligami untuk menyaratkan suaminya mencerai istri tuanya terlebih dahulu sebelum menikahinya. Hadits tersebut adalah:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن تشترط المرأة طلاق أختها

Artinya: “Rasulullah saw melarang seorang wanita mensyaratkan perceraian saudarinya (istri pertama).” (HR Al-Bukhari).

Di luar perdebatan ini, dalam konteks merebut pasangan orang lain, hadits ini sangat relevan, bahkan tindakan tersebut dilarang dalam Islam. Artikel ini menyimpulkan bahwa dalam Islam, Rasulullah saw melarang tindakan pelakor dan pebinor, yang merujuk pada perempuan yang merayu suami orang lain untuk menceraikan istrinya, serta laki-laki yang merebut istri orang lain untuk dinikahi. Wallahu a’lam.

Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta

https://islam.nu.or.id/syariah/kajian-hadits-larangan-jadi-pelakor-dan-pebinor-oleh-nabi-HAHQc