Laduni.ID, Jakarta- Aku masih mengingat penuh, peristiwa masa lalu. Peristiwa itu amat mengesankan dan menjadi catatan krusial dalam hidup. Aku tak bisa melupakannya.
Suatu hari aku diundang untuk menjadi salah satu nara sumber dalam momen konferensi wilayah NU di sebuah propinsi. Aku diminta bicara soal Islam dan Gender. Nara sumber yang lain bergelar Prof. Dr sekaligus Kiyai. Seorang lain adalah pemikir Islam progresif. Mereka bicara soal Aswaja dan Relasi Agama dan Negara.
Acara dibuka oleh Rois Syuriah PWNU. Dalam sambutannya beliau berharap sambil mengingatkan agar pembicaraan dalam forum ini tetap dalam frame Ahlussunnah wa al-Jama’ah (Aswaja).
Kami bertiga kemudian bicara secara bergantian (panel). Ketika tiba giliranku, aku menyampaikan isu Gender dan Islam. Intinya adalah bahwa laki-laki-perempuan dalam aspek-aspek non tubuh adalah sama dan setara. Perempuan dan laki-laki adalah manusia berikut seluruh potensi kemanusiaannya: akal/pikiran, jiwa/ruh dan tenaga dengan kapasitas relatif sama. Kesetaraan manusia adalah konsekuensi yang niscaya dari keyakinan Tauhid. Oleh karena itu perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. Aku sampaikan argumen teks-teks suci al-Qur’an, Hadits dan pendapat para ulama. Aku melakukan interpretasi dan analisis atas semua sumber itu dan kontekstualisasi.
Nah, belum sampai selesai bicara, seorang peserta menyela dan mengkritik, seperti tak sabar dan disusul peserta yang lain. Maka terjadilah perdebatan seru. Pandangan-pandanganku rupanya mengganggu pikiran atau keyakinan sebagian audiens. Dengan bahasa yang tetap santun, mereka menganggap aku mendahulukan akal daripada naql (teks suci). Ini bermakna bahwa pandanganku berada di luar kerangka Aswaja yang “Taqdim al-Naql ‘ala al-‘Aql” (mendahulukan teks atas akal). Itu pikiran kaum rasionalis. Dalam bahasa emosional dan stigmatik kaum radikalis dikatakan: “aku menuhankan akal”. Wouw. Mak Jleb.
Nah jika begitu aku telah menyalahi pandangan Ahlussunnah wal Jamaah.
Aku mengatakan bahwa pandanganku ini tidak keluar dari frame Aswaja. Aku mengikuti pandangan tokoh besar Aswaja Asy’ari. Ialah Imam Fakhr al-Din al-Razi ( w. 1209 M), seorang mufassir besar, teolog dan faqih. Imam Jalal al-Din al-Suyuthi mendeklair beliau sebagai “Mujaddid” (pembaru) ke 6, sesudah Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.1111 M). Katanya :
وَالْخَامِس الْحَبْر هُوَ الْغَزَالِي
وَعَدَّهُ مَا فِيهِ مِنْ جِدَال
والسادس الفخر الامام الرازى
والرافعى مثله يوازى
Pembaru ke V adalah al-Ghazali
Tak ada perdebatan tentang ini
Pembaru VI adalah Fakhr al-Razi
Juga Al-Rafi’i
Aku lalu mengutip pernyataannya :
واعلم انه كان يجب علينا ان نبتدئ فى الاستدلال بكتاب الله ثم سنة رسول الله ثم بالدلائل العقلية تقديما للنص. الا انا لما تأملنا وجدنا الا ستدلال بتلك النصوص لا يظهر كل الظهور الا بعد الاحاطة بتلك العقليات فلهذا السبب قدم
الدلا ئل العقلية.
“Ketahuilah bahwa adalah keharusan bagi kita untuk pertama-tama mengambil dalil (sumber) dari Kitab Allah (al-Quran), kemudian Sunnah Rasulullah (Hadits), lalu akal-rasio. Teks lebih didahulukan daripadanya. Akan tetapi manakala aku memikirkannya dalam-dalam, aku menemukan pengambilan kesimpulan dari teks-teks agama tersebut tidak memberikan kejelasan sejelas-jelasnya. Ia hanya bisa dipahami sesudah menggalinya dengan hukum-hukum logika-rasional. Inilah sebabnya, mengapa aku mendahulukan dalil-dalil akal. (Al-Mathalib al-‘Aliyah, IX/17).
Al-Razi juga mengurai lebih luas tentang isu ini dalam karya Ushul Fiqh nya: Al-Mahshul fi Ilm al-Ushul yang empat jilid itu.
Perdebatan makin seru dan berlarut hingga moderator mengusulkan diskusi tema ini dilanjutkan dalam forum khusus pada waktu yang lain dan di tempat yang lain.
Oleh : Husein Muhammad (Fahmina Institute). Tulisan yang pernah diunggah di laman FB Husein Muhammad pada 6 Juli 2019 dan diposting kembali pada 6 Juli 2021.
Editor: Ali Ramadhan
https://www.laduni.id/post/read/72601/pengalaman-yang-tak-terlupakan.html