Kajian Hadits: Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Publik

Penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu tindakan yang terlarang dalam Islam. Larangan ini dapat dilihat dari perspektif Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad saw maupun kesepakatan para ulama. Sayangnya, tindakan semacam ini masih saja terjadi di berbagai lapisan masyarakat, khususnya dalam kekuasaan dan pemerintahan. Larangan ini tentu karena bisa merugikan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak.
 

Pada umumnya, penyalahgunaan wewenang di lingkungan pemerintahan dapat mengarah pada korupsi, nepotisme, dan kolusi, yang bisa merugikan negara dan masyarakat secara luas.
 

Dalam praktik-praktik semacam ini, penting kiranya bagi kita untuk saling mengingatkan dan meningkatkan kesadaran atas pentingnya menjaga integritas dan etika dalam menggunakan wewenang, sebab perbuatan semacam ini merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.
 

Lalu bagaimana penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dalam perspektif kajian hadits?

 

Larangan Penyalahgunaan Wewenang

Perlu diketahui bahwa wewenang merupakan suatu hak kekuasaan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan dalam lingkup tertentu. Orang yang memiliki wewenang biasanya memiliki otoritas untuk mengendalikan atau mempengaruhi situasi, orang lain atau keputusan yang diambil. Pemegang wewenang bisa berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pejabat publik, individu yang memiliki pengaruh dalam suatu kelompok tertentu dan lainnya.
 

Dengan demikian, jabatan adalah konsekuensi dari adanya wewenang bagi pejabat publik. Karena itu, orang-orang yang memiliki wewenang sebagai pejabat, dan lainnya, harus benar-benar mengindahkan dan menggunakannya dengan baik dan benar.

 

Ciri-ciri dari orang yang beriman adalah jika ia mendapatkan suatu amanah, maka ia akan mengindahkan amanah tersebut. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak mengindahkan amanah dan menggunakannya dengan tidak benar, menjadi tanda bahwa dalam dirinya terdapat tanda-tanda munafik.
 

Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw pernah menjelaskan perihal tanda-tanda orang-orang munafik. Di antaranya adalah ketika ia memiliki tanggung jawab, ia akan berkhianat, atau menggunakannya tidak sesuai dengan ketentuannya,
 

أَرْبَعٌ مَنْ كنَّ فِيهِ كَانَ مُنافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتّى يَدَعَهَا: إِذا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذا عاهَدَ غَدَرَ، وَإِذا خَاصَمَ فَجَرَ
 

Artinya, “Terdapat empat hal yang apabila ada pada diri seseorang maka dia termasuk orang munafik yang murni. Siapa saja dalam dirinya ada salah satu dari tanda-tanda munafik, berarti pada dirinya terdapat salah satu karakter kemunafikan, hingga ia meninggalkannya. Adapun empat hal itu adalah: (1) apabila mendapatkan amanah dia berkhianat; (2) apabila berbicara dia berdusta; (3) bila berjanji dia ingkar; dan (4) jika berselisih dia licik.” (HR Al-Bukhari).
 

Merujuk penjelasan Imam Abdullah Khatib At-Tabrizi (wafat 737 H), maksud dari frasa “apabila mendapatkan amanah dia berkhianat” adalah menyalahgunakan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, seseorang ketika sudah diberi kepercayaan terhadap suatu hal, ia tidak mengindahkannya, bahkan menyalahgunakan amanahnya tidak sesuai dengan ketentuan syariat. 
 

وَإِذَا أُؤْتُمِنَ: أي جُعِلَ أَمِيْنًا عَلىَ شَيْءٍ. خَانَ: بِأَنْ تَصَرَّفَ فِيْهِ عَلىَ خِلاَفِ الشَّرْعِ
 

Artinya, “Jika dipercaya: yaitu ia dijadikan kepercayaan terhadap sesuatu. Maka ia berkhianat: yaitu dengan cara menasarufkan dengan cara tidak sesuai syariat.” (Imam At-Tabrizi, Misykatul Mashabih ma’a Syarhihi Mi’atil Mafatih, [Beirut: Maktab al-Islami, cetakan ketiga: 1980], jilid I, halaman 338).
 

Sebagaimana penjelasan awal, penyalahgunaan wewenang bagi pejabat publik merupakan tindakan yang sangat merugikan, tidak hanya bagi negara, namun juga merugikan masyarakat secara umum. Karena itu, dosa yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menyalahgunakan wewenang ini sangat berat, yaitu akan dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah swt jika ia mati sebelum bertobat dari perbuatannya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya:
 

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
 

Artinya, “Tidaklah seorang hamba yang serahi Allah untuk memimpin rakyat, kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga.” (HR Muslim).
 

Merujuk penjelasan Imam Abu Zakaria An-Nawawi tentang hadits di atas, jika seorang pemimpin yang melakukannya menghalalkan praktik tersebut, maka hukumnya haram sekaligus akan menjadikannya kekal di dalam neraka; sedangkan jika tidak sampai menghalalkan, maka hukumnya haram, hanya saja perbuatan seperti ini bisa memperlambat untuk masuk surga.
 

وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَحِلاًّ لِغَشِّهِمْ فَتَحْرُمُ عَلَيْهِ الْجَنَّةُ وَيَخْلُدُ فِي النَّارِ وَالثَّانِي أَنَّهُ لاَ يَسْتَحِلُّهُ فَيُمْتَنَعُ مِنْ دُخُوْلِهَا أَوّلَ وَهْلَةٍ مَعَ الْفَائِزِيْنَ
 

Artinya, “Intinya, sungguh hadits tersebut bisa mengarah pada dua pendapat, salah satunya adalah apabila ia menghalalkan perbuatan curangnya, maka hukumnya haram dan kekal di dalam neraka. Kedua, sesungguhnya jika ia tidak menghalalkannya, maka ia dicegah masuk ke dalam surga pertama bersamaan dengan kelompok orang-orang yang beruntung.” (An-Nawawi, Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1392], jilid XII, halaman 214-215).
 

Sementara menurut Imam Abdurrauf Al-Munawi, yang dimaksud dengan hadits di atas adalah menyalahgunakan wewenang bagi orang yang dipercaya mampu untuk memberikan kemaslahatan kepada rakyat, kemudian wewenang tersebut tidak ia indahkan. Ia tidak memberikan hak-hak rakyat sebagaimana mestinya, tidak menggunakan wewenangnya dengan benar, tidak menjaga rakyat dan tidak memberikan kemaslahatan kepada mereka, maka Allah akan mengharamkan surga baginya, jika ia mati sebelum bertobat. (Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarhil Jami’is Shagir, [Maktabah at-Tijariah: 1356], jilid V, halaman 623).
 

Simpulan

Dari uraian di atas sudah jelas bahwa penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik hukumnya tidak boleh dalam perspektif hadits Nabi Muhammad saw. Konsekuensinya adalah hukumnya haram dan kekal di dalam neraka apabila pelakunya menghalalkan perbuatan tersebut. Sedangkan jika tidak sampai menghalalkan, maka hukumnya haram dan bisa menjadi penyebab terhalang untuk masuk surga pertama bersamaan dengan orang-orang yang beruntung (al-faizin). Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.

https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/kajian-hadits-penyalahgunaan-wewenang-pejabat-publik-rOfMg