Larangan Membahayakan Keselamatan Jiwa dalam Al-Quran

Dalam Islam, jiwa manusia dipandang sebagai hal paling berharga yang Allah anugerahkan kepadanya. Islam, agama yang sarat dengan keindahan moral dan etika, menekankan pentingnya menjaga keselamatan jiwa, baik jiwa sendiri maupun jiwa orang lain. Larangan untuk membahayakan diri sendiri atau orang lain bukan sekadar nasihat, melainkan prinsip mendasar yang terpahat dalam Al-Qur’an an hadits.
 

Sebagai agama yang mementingkan kehidupan, Islam mengajarkan bahwa nafas adalah hadiah ilahi yang harus dijaga dengan segenap ketulusan. Allah Sang Pencipta, telah memberikan kehidupan kepada manusia sebagai amanah yang harus dihormati dan dirawat. Dalam surat Al-Baqarah ayat 195, Allah berfirman: 
 

وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ
 

Artinya, “Janganlah jerumuskan diri kailan ke dalam kebinasaan.”

Ibnu Asyur dalam kitab At-Tahrir wat Tanwir menjelaskan, ayat menegaskan larangan keras terhadap tindakan yang membahayakan keselamatan jiwa. Penggunaan kata kerja وَلَا تُلْقُوْا “janganlah jerumuskan diri kalian”, ini bersifat umum, mencakup larangan segala bentuk tindakan yang membahayakan jiwa. 
 

Salah satu contoh tindakan yang membahayakan diri dalam konteks ayat, kata Ibnu Asyur, adalah pergi ke medan perang menghadapi musuh sendirian, tanpa persiapan matang. Atau maju ke medan perang tanpa bekal. Pasalnya, tindakan seperti ini sama saja dengan menyerahkan diri kepada kehancuran, serta menyerahkan umat dan agama kepada kehancuran dengan mengorbankan jiwa-jiwa kaum muslimin. 
 

Contoh konkrit terkait penafsiran Ibnu Asyur, mengenai menceburkan diri pada kehancuran dapat dilihat dalam perilaku orang yang sengaja melakukan tindakan berbahaya yang merugikan dirinya sendiri tanpa alasan rasional. Misalnya, penyalahgunaan narkoba, terlibat dalam praktik korupsi, atau mengikuti ajaran ekstremis yang mengarah pada kekerasan dan terorisme.
 

Tindakan-tindakan ini tidak hanya merusak masa depan orang yang bersangkutan, tetapi juga memberikan dampak negatif pada masyarakat. Dalam era digital, penyebaran informasi palsu atau hoaks yang dapat memicu konflik sosial juga merupakan bentuk kehancuran yang sering diabaikan.

Sejatinya, larangan ini bertujuan untuk melindungi kehidupan manusia dan menjaga kelestariannya. Setiap orang memiliki hak untuk hidup dan terhindar dari bahaya, dan kita tidak berhak mencabut hak tersebut. Tindakan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain bisa menimbulkan akibat yang fatal. Karena itu, penting bagi kita untuk selalu berhati-hati dan mempertimbangkan segala risiko sebelum bertindak. 
 

ووقوع فعل “تلقوا” في سياق النهي يقتضي عموم كل إلقاء باليد للتهلكة؛ أي كل تسبب في الهلاك عن عمد، فيكون منهيا عنه محرما ما لم يوجد مقتض لإزالة ذلك التحريم، وهو ما يكون حفظه مقدما على حفظ النفس مع تحقق حصول حفظه بسبب الإلقاء بالنفس إلى الهلاك أو حفظ بعضه بسبب ذلك
 

Artinya, “Dan penggunaan fiil (kata kerja) تلقوا dalam konteks larangan mengandung makna umum mengenai segala bentuk tindakan dengan tangan yang dapat menyebabkan kebinasaan. Yaitu setiap penyebab kebinasaan secara sengaja, itu dilarang dan diharamkan kecuali jika ada alasan untuk menghapus pengharaman tersebut. Yaitu jika menjaga sesuatu lebih diutamakan daripada menjaga diri sendiri, dengan memastikan bahwa menjaga hal tersebut dapat terwujud melalui tindakan yang membahayakan diri sendiri atau dengan menjaga sebagian dari akibatnya.”  (Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, jilid II, halaman 213).
 

Sementera dalam kitab Jami’ul Bayan, Imam Ibnu Jarir At-Thabari menguraikan secara mendalam larangan Allah agar tidak menjerumuskan diri ke dalam bahaya. Ia menekankan pentingnya menggunakan harta di jalan Allah dan menjauhi perbuatan yang bisa berujung pada kehancuran, terutama yang disebabkan oleh dosa-dosa yang telah diperbuat.
 

At-Thabari mengingatkan orang untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah, karena Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya selalu melakukan kebaikan, karena Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat baik.
 

Penjelasan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga diri dari dosa, selalu optimis terhadap rahmat Allah, dan terus berbuat baik dengan konsisten. 
 

أنفقوا في سبيل الله، ولا تلقوا بأيديكم – فيما أصبتم من الآثام – إلى التهلكة، فتيأسوا من رحمة الله، ولكن ارجوا رَحمته واعملوا الخيرات
 

Artinya, “Belanjakanlah hartamu di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dengan berbuat dosa-dosa yang telah kamu lakukan. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan berbuatlah kebaikan, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan, [Makkah, Darul Tarbiyah wa Turats, tt], jilid III, halaman 587).
 

Ajaran Islam tidak hanya melarang umatnya untuk menyakiti diri sendiri (melalui tindakan mencelakakan diri) dalam Al-Qur’an, tetapi juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai hadits. Salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Nabi saw mengajarkan pentingnya menjaga keselamatan diri dan mencegah penyebaran penyakit.
 

Nabi Muhammad saw memerintahkan menjauhi orang yang menderita penyakit menular seperti kusta, demi mencegah penularan penyakit tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, menjaga jarak dari orang yang terinfeksi virus atau penyakit menular lainnya merupakan bentuk kehati-hatian dan upaya pencegahan yang dianjurkan. Nabi Muhammad saw bersabda:
 

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ 
 

Artinya, “Larilah dari penderita kusta sebagaimana kamu lari dari singa.” (HR Al-Bukhari).
 

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, perintah menjauhi dan melarikan diri darinya (penyakit menular) dimaknai sebagai anjuran kehati-hatian. Perintah untuk lari dari orang yang terkena kusta dianalogikan seperti lari dari singa, yang menunjukkan betapa seriusnya perintah tersebut. Singa adalah hewan yang sangat berbahaya dan mematikan, sehingga manusia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya.
 

Hadits ini tidak hanya menekankan pentingnya menjaga kesehatan diri sendiri, tetapi juga tanggung jawab untuk melindungi orang lain dari bahaya penyakit menular. Hal ini termasuk melakukan tindakan pencegahan seperti menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi.
 

Pesan ini mencerminkan kepedulian Islam terhadap kesehatan umum dan kesejahteraan masyarakat. Islam mendorong manusia untuk selalu waspada dan berhati-hati terhadap potensi bahaya kesehatan demi menjaga diri dan orang lain.
 

Kusta, juga dikenal sebagai lepra, adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Tindakan medis yang dapat mencegah atau mengurangi risiko terinfeksi kusta meliputi pengobatan dini dan lengkap bagi mereka yang terdiagnosis dengan kusta, yang dapat menghentikan penularan bakteri ke orang lain. 
 

Selain itu, pemberian vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) diketahui memiliki efek protektif terhadap kusta. Upaya lain termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gejala awal kusta dan pentingnya mencari pengobatan medis segera, serta mempromosikan kebersihan pribadi dan lingkungan yang baik untuk mengurangi paparan bakteri.

Pada hadits lain, terdapat nasihat Rasulullah saw untuk menjaga keselamatan diri, terutama saat menghadapi wabah penyakit. Nabi Muhammad saw pernah menyampaikan hal ini melalui hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah. Diceritakan, Umar bin Khattab ra sedang dalam perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh ia mendapat kabar bahwa wilayah Syam dilanda wabah. 
 

Abdurrahman bin Auf mengingatkan Umar tentang sabda Rasulullah saw yang menyatakan, jika mendengar wabah di suatu daerah, jangan masuk ke daerah tersebut, dan jika wabah terjadi di daerah tempat orang berada berada, jangan tinggalkan tempat itu. Mendengar penjelasan ini, Umar memutuskan untuk berbalik arah meninggalkan Sargh.
 

 عن عبد الله بن عامر بن ربيعة؛ أنَّ عُمَرَ، خَرَجَ إلى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أنَّ الوَبَاءَ قدْ وَقَعَ بالشَّامِ، فأخْبَرَهُ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ، أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ: إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ، فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وَقَعَ بأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه فَرَجَعَ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ مِن سَرْغَ
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Rabi’ah, sungguh Umar bin Khattab berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh ia mendengar kabar bahwa wabah penyakit telah melanda Syam.

Abdurrahman bin Auf kemudian mengingatkannya dengan sabda Rasulullah saw: “Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, janganlah kalian pergi ke sana; dan jika wabah telah terjadi di suatu negeri di mana kalian berada, janganlah kalian melarikan diri darinya.” Lalu Umar bin Khattab kembali dari Sargh.” 

Masih merujuk Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, terdapat perbedaan pendapat mengenai larangan memasuki wilayah yang terkena wabah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut hanya makruh (tidak haram) dan tidak dianjurkan, tidak sampai haram. Ulama lain, dan ini diunggulkan oleh mazhab Syafi’i dan lainnya, berpendapat bahwa keluar dari kota saat wabah adalah haram berdasarkan teks larangan dalam hadits.
 

Adapun pendapat kuat dan dianut Mazhab Syafi’i adalah pendapat kedua yang mengatakan haram. Ini diperkuat dengan hadits dari Aisyah ra yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Khuzaimah.
 

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad saw menyamakan orang yang tinggal di kota saat wabah dengan orang yang mati syahid, sedangkan orang yang melarikan diri dari kota saat wabah disamakan dengan orang yang melarikan diri dari medan perang. Hal ini menunjukkan bahwa keluar dari kota saat wabah adalah tindakan yang tercela dan haram dilakukan.
 

ومنهم من قال: النهي فيه للتنزيه فيكره ولا يحرم، وخالفهم جماعة فقالوا: يحرم الخروج منها لظاهر النهي الثابت في الأحاديث الماضية، وهذا هو الراجح عند الشافعية وغيرهم، ويؤيده ثبوت الوعيد على ذلك : فأخرج أحمد وابن خزيمة من حديث عائشة مرفوعا في أثناء حديث بسند حسن قلت يا رسول الله فما الطاعون؟ قال غدة كغدة الإبل، المقيم فيها كالشهيد والفار منها كالفار من الزحف 

Artinya, “Beberapa ulama berpendapat bahwa larangan tersebut hanya bersifat makruh (tidak haram) dan tidak dianjurkan, namun tidak sampai haram. Pendapat ini dibantah oleh sekelompok ulama lain yang menyatakan bahwa keluar dari kota saat wabah adalah haram berdasarkan teks larangan yang jelas dalam hadits-hadits sebelumnya.

Pendapat ini lebih diunggulkan oleh mazhab Syafi’i dan mazhab lainnya. Pendapat ini diperkuat dengan adanya ancaman bagi orang yang keluar dari kota saat wabah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Khuzaimah dalam hadits dari Aisyah ra.
 

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad saw menyamakan orang yang tinggal di kota saat wabah dengan orang yang mati syahid, dan orang yang melarikan diri dari kota saat wabah dengan orang yang melarikan diri dari medan perang.”  (Ibnu Hajar, Fathul Bari, [Kairo, Darul  Rayyan wa Turats: 1986], jilid X, halaman 197]. 
 

Mengapa menjaga keselamatan jiwa begitu penting dalam Islam?
 

Jawabannya terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri. Kehidupan adalah cerminan kasih sayang Allah, dan setiap jiwa adalah manifestasi dari cinta-Nya yang tak terhingga. Membahayakan jiwa, sama artinya dengan menodai kasih sayang Ilahi yang teramat suci. 
 

Dalam surat Al-Isra’ ayat 70 Allah menjelaskan kemuliaan manusia:
 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ 
 

Artinya, “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirul Munir menjelaskan, manusia dimuliakan oleh Allah dengan penciptaan dalam bentuk terbaik. Keistimewaan ini diwujudkan dalam pemberian akal sebagai sarana untuk meraih ilmu, pengetahuan, kemajuan, dan peradaban. Akal ini menjadi alat untuk memahami hakikat segala sesuatu, cara berproduksi, bertani, berdagang, dan masih banyak lagi.   
 

Pemberian akal juga menjadi anugerah bagi manusia untuk memahami bahasa, merenungkan anugerah Allah di bumi, memanfaatkan energi, menundukkan apa yang ada di angkasa dan di bumi. Dengan akal, manusia mampu menciptakan berbagai sarana angkutan, sarana kehidupan dan penghidupan, serta membedakan hal-hal yang bermanfaat dan berbahaya bagi agama dan dunia. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikri Al-Mu’ashir: 1991], jilid XV, halaman 121).
 

Dalam era modern yang penuh tantangan, pesan Islam tentang pentingnya menjaga keselamatan jiwa menjadi semakin relevan. Dalam dunia yang bergerak cepat dan kompetitif, seringkali manusia terjebak dalam rutinitas yang membuat mereka mengabaikan kesehatan fisik. Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang merugikan, seperti mengonsumsi makanan berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan. Wallahu a’lam.

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat

https://islam.nu.or.id/tafsir/larangan-membahayakan-keselamatan-jiwa-dalam-al-quran-5TPfU