KPAI Tekankan Pentingnya Guru Membentuk Mental Peserta Didik agar Bisa Lindungi Diri Sendiri
Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono menekankan pentingnya para guru mampu membentuk mental peserta didik untuk bisa melindungi dirinya sendiri.
Sebab, Aris menyebutkan bahwa hingga saat ini masih rawan perundungan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Bahkan, masih terdapat peserta didik yang kematangan mentalnya masih kurang dan tidak sebanding dengan tantangan yang diterima.
“Hal itu bisa dipengaruhi oleh pengasuhan anak yang bermasalah, kurang memperhatikan anak, yang pada akhirnya tumbuh kembang mental anak jadi terhambat,” ungkap Aris dalam Sarasehan Pendidikan Dalam Rangka Memperingati Hari Anak Nasional 2024 di, Jakarta Selatan, pada Sabtu (27/07/2024).
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu mencontohkan bentuk perhatian kepada anak, salah satunya dengan dibiasakan salaman pagi yang dilakukan seorang guru dengan peserta didik dengan tatapan rasa penuh kasih sayang.
Hal itu perlu dilakukan karena dikhawatirkan si anak belum mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya di rumah, sehingga dapat berakibat pada mental anak.
“Selain itu, pertumbuhan mental anak terhambat karena tidak memunculkan jiwa pemberani, tidak percaya diri, dan mudah putus asa. Itu bisa dipengaruhi oleh berbagai tayangan di media digital yang tidak dibatasi dan dikontrol. Kasus judi online yang melibatkan anak-anak yang berawal dari main bareng (mabar) lalu saling mengajak untuk instal aplikasi judi online,” tegas Aris di depan para guru dan kepala sekolah yang hadir.
Bahkan, kata Aris, KPAI bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sangat membutuhkan guru untuk melakukan pencegahan dosa besar pada satuan pendidikan. Tanpa guru, tegasnya, tidak bisa terjadi pencegahan.
Menurut Aris, guru yang mengetahui dan peduli terhadap anak harus mempunyai literasi perlindungan anak yang kuat. Hal itu penting karena masih banyak guru tidak punya sensitivitas dan kepedulian terhadap situasi anak.
“Selain kewajiban melayani pendidikan secara tuntas terhadap pembelajaran, guru juga punya kewajiban memberikan pelayanan kepedulian terhadap peserta didik,” ujarnya.
Kemudian, Aris menekankan bahwa tidak akan ada situasi yang mengancam para guru apabila di sekolahnya terdapat situasi yang aman. Interaksi di kelas dan di lingkungan pendidikan justru diperlukan dengan suasana yang harus saling melindungi.
“Selama ini (KPAI) selalu menggandeng organisasi profesi guru seperti Pergunu, P2G (perhimpunan, pendidikan dan guru), FSGI (federasi serikat guru Indonesia) FSGI, dan lainnya. Itu untuk mengatasi berbagai macam perilaku tidak baik peserta didik terutama karena pengaruh media digital,” kata Aris.
Adapun pemenuhan hak anak menurut Aris di antaranya; Hak Sipil dan Kebebasan, Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya, dan Perlindungan Khusus.
“Perlindungan khusus itu ketika anak menjadi korban perundungan, kekeran seksual, intoleransi, judi online dan kejahatan siber lainnya. Itu membutuhkan perlindungan khusus,” jelas Aris.
Lebih lanjut, Aris menjelaskan dasar hukum perlindungan anak di satuan pendidikan di antaranya.
1. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain sesuai pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014.
2. Anak di dalam satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain sesuai pasal 54 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014.
3. Perlindungan yang dimaksud dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat sesuai pasal 54 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2014.
4. Untuk melindungi anak di antaranya; anak itu sendiri sebagai subyek atas hak-haknya, kemudian orang tua, selanjutnya masyarakat dan pemerintah sesuai pasal 20 UU Nomor 35 Tahun 2014.