Bulutangkis merupakan salah cultural performance menurut para antropolog. Berbagai-bagai tindakan manusia termasuk yang berseni, aktif maupun kompetitif, dan bisa kombinasi dari semua (Besnier, Browniel, Carter, 2018). Aktivitas-aktivitas ini mulai dari masa purba (Turner, 1988) hingga kini merupakan bagian dari ekspresi kemanusiaan.
Performa yang ditunjukkan atlet dalam sebuah pertandingan meliputi semua hal yang di dalamnya selalu ada belitan-belitan yang menarik dalam drama pertunjukan di lapangan hijau pertandingan maupun pada masa persiapannya. Apalagi untuk pertandingan paling besar yang diidam-idamkan para atlet dari cabang manapun yaitu berkompetisi di olimpiade.
Performa terbaik di sana adalah keinginan yang maha penting dari keseluruhan perwujudan latihan yang didukung oleh seluruh support system dan pertandingan yang sudah diasah sejak masa kanak-kanak hingga berada dalam besutan pelatihan nasional. Semua pengorbanan untuk prestasi terbesar dalam olimpiade yaitu raihan emas akan tunai jika itu terwujud.
Bahkan beberapa atlet yang dianggap sangat berbakat, didorong untuk mengikuti ajang terbesar tersebut di usia muda sehingga bisa merasakan beberapa kali olimpiade dan torehan prestasi terbaik back to back emas.
Negara-negara dengan atribut administratifnya dan secara ikonik menunjukkan performa dalam inklusi kumpulan organisasi-organisasi cabang olahraga, dan para pengurus serta atlet di dalamnya. Negara hadir dengan disematkannya bendera pada jersey yang digunakan dalam pertandingan, ritual penganugerahan medali, dan parade kontingen pada pembukaan serta penutupan perhelatan (Collins, 2013).
Perolehan tally medali yang diperjuangkan per individu maupun kelompok atlet dalam ‘perang’ di lapangan pertandingan merupakan cara unjuk kekuatan yang lebih ‘damai’ sebagai ganti peperangan bersenjata yang merusak dan mematikan hak hidup manusia–meskipun kenyataannya cita-cita ini saat olimpiade Paris 2024 tidak tercapai–ketika pelaksanaan olimpiade masih melanggengkan dengan nyaman tim negara yang melakukan genosida terhadap Palestina.
Lalu bagaimana kekuatan Indonesia dalam ‘perang’ olimpiade? Sudah sejak olimpiade Barcelona 1992, ketika pertama kali bulutangkis dipertandingkan, Indonesia mendapatkan pengakuan kedigjayaan pada cabor tersebut, peta Indonesia dalam dunia olahraga di dunia nampak dan diperhitungkan. Sampai-sampai Indonesia pernah disebut the power house of badminton.
Olahraga itu faktanya meskipun tidak berasal dari nenek moyang negeri nusantara, tetapi telah tersemat menjadi identitas Indonesia. Sejak 1992 hingga 2020 kemudian dalam setiap 4 tahunan pesta olimpiade, medali emas terus-menerus didulang kecuali pada 2012 di London. Raihan emas tersebut dalam waktu yang lama, membuat kita semua berpikir tentang tradisi emas. Sesuatu yang sudah lazim didapatkan oleh negara yang besar dengan bulutangkis.
Tradisi yang terputus pada tahun 2012 itu membuat masyarakat gelisah dan bersedih, hingga dimunculkan cara-cara agar tradisi tersebut kembali. Dua periode olimpiade kembali emas terpenuhi dari atlet-atlet yang telah menjadi legenda bulu tangkis. Akan tetapi, medali emas itu kembali baru saja hilang pada Olimpiade Paris 2024.
Catatan prestasi terbaik diraih oleh Gregoria Mariska Tunjung pada sektor tinggal putri dengan perolehan perunggu. Apakah emas memang akan tinggal menjadi artefak yang disimpan para legenda yang pernah meraih penghargaan tertinggi atlet olahraga? Apakah negara berpredikat the power house of badminton tersebut telah menghancurkan kekuatannya sendiri dan tinggal keping-keping?
Jangankan olimpiade, bahkan untuk ‘peperangan’ tingkat Asia saja, pada Asian Games 2023, bulutangkis pun gagal menyumbang emas. Di tingkat Asia Tenggara, Thailand, Singapura, dan pesaing sejiran, Malaysia berlomba menjadikan badminton salah satu senjata ‘peperangan’ dengan pernah dan sedang mengambil beberapa mantan ‘kombatan’ terbaik Indonesia.
Mengapa kita sendiri justru lengah dengan bersikap keras kepala pada sistem yang jelas-jelas sudah dihitung dan diperhatikan banyak pihak sangat bermasalah?
Dari perjalanan penulis bertandang ke klub-klub mulai dari klub besar hingga klub kecil di pulau Jawa, dan beberapa contoh kasus di luar Pulau Jawa, isu yang sering muncul salah satunya adalah pembatasan rangking untuk pemain non-pelatnas. Isu ini tanpa digali di klub-klub pun sudah merebak menjadi protes di media sosial.
Banyak atlet-atlet yang ingin mendaftar mengikuti pertandingan internasional dijegal di Indonesia oleh aturan rangking yang tidak mencukupi. Syarat rangking untuk mengikuti turnamen BWF bagi atlet non pelatnas adalah sampai 200. Padahal kesempatan ketika pertandingan International Challenge dan International Series yang digelar di Indonesia, atlet-atlet dapat bertanding.
Berhubung turnamen tersebut kebanyakan dilangsungkan di Eropa yang berbiaya mahal. PBSI menolak mendaftarkan atlet tersebut karena alasan yang dinyatakan bahwa Federasi Badminton International melarang pertandingan yang tidak memenuhi standar. Apakah alasan ini kuat atau tidak, faktanya negara-negara lain banyak yang mengikutkan atletnya ketika menjadi tuan rumah tanpa melihat rangking mencukupi atau tidak.
Pertandingan Indonesia challenge dan International Series masih terdapat sekian slot yang kosong, dan dibiarkan kosong. Padahal banyak atlet-atlet muda Indonesia yang bisa mengikuti pertandingan ini untuk mendapatkan pengalaman pertandingan internasional. Kurangnya pengalaman pertandingan ini merugikan Indonesia sendiri.
Mahalkan Saja Transportasi antar Pulau di Indonesia untuk Semua Orang Termasuk Atlet
Salah satu yang terdampak mahalnya biaya transportasi udara adalah atlet-atlet muda yang baru merintis karir atlet. Biaya pertandingan yang harus dikeluarkan mahal untuk pertandingan di luar pulau. Atlet-atlet muda yang tidak atau belum mendapat beasiswa klub besar, belum ada sponsor, dibiayai oleh orangtua untuk mengejar mimpi mereka sebagai atlet.
Pertandingan dengan poin-poin besar banyak diselenggarakan di pulau Jawa. Atlet-atlet luar pulau Jawa sangat terkendala dengan biaya transportasi, sementara di satu sisi mereka sangat membutuhkan pengalaman bertanding dengan lawan-lawan kuat yang kebanyakan berada di pulau Jawa.
Tidak beruntung lagi, provinsi jarang membiayai atlet-atlet yang berprestasi pun alih-alih yang baru mulai karir, di daerah misalnya mengikuti kejurnas atau piala presiden yang mewakili provinsi, Beberapa Atlet menanggung pembiayaan sendiri. Mungkin mengusahakan mendapat sponsor, atau sekedar mengusahakan kebijakan diskon harga tiket pesawat saja tidak.
Jalan yang kebanyakan ditempuh para atlet ini kemudian adalah mengusahakan pindah klub di pulau Jawa, sebelum mengusahakan beasiswa dari klub besar. Entah siapa yang bisa mengusahakan diskon harga tiket pesawat bagi atlet-atlet muda!
Dua masalah ini saja sudah cukup menghambat regenerasi atlet bulutangkis Indonesia, cabor yang ingin tradisi emas tetap terjaga. Silahkan terus-menerus diabaikan hingga emas olimpiade tinggal artefak di lemari para legenda!
Artikel Ketika Emas Olimpiade Cabor Bulutangkis Tinggal Artefak di Lemari Para Legenda ini ditulis oleh Dina A. Susamto dan pertama kali diterbitkan di Alif.ID