Laduni.ID, Jakarta – Postingan yang baru terdahulu, kami sampaikan contoh (tentang kurban) bagaimana Islam menganjurkan kita untuk melanjutkan tradisi baik yang dilakukan orang-orang saleh sebelum kita.
Pada saat yang sama dalam tradisi yang baik itu sepanjang sejarah peradaban, telah terjadi berbagai penyimpangan ritual maupun pengaburan makna. Maka syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad memilah mana tradisi yang harus kita lanjutkan dan mana yang harus kita benahi.
Manhaj dakwah semacam itu pula (melanjutkan yang baik, dan meluruskan yang menyimpang) yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara. Sebagai contoh ayat mengenai perintah untuk memakai pakaian yang bagus dan indah saat memasuki rumah Allah. Maka, setelah bekerja seharian mengenakan pakaian yg kotor berdebu dan keringatan, tradisi Nusantara mengajarkan memakai sarung saat salat. Yang perempuan mengenakan pakaian khusus untuk salat, yaitu mukena. Ini semua agar terpelihara aturan syariat untuk suci dari najis, maupun terpenuhi anjuran untuk mengenakan pakaian yang bagus saat memasuki masjid.
Tradisi sarung dan mukena ini tidak terdapat di Mekkah. Namun bukan berarti tradisi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan tradisi mengenakan pakaian baru saat lebaran, ini merupakan aplikasi ayat di atas dalam konteks kearifan lokal.
Mau pakai baju batik atau blankon, sorban dan gamis, atau peci hitam–peci putih, salat kita sama-sama sah. Islam Nusantara tidak akan menganggap hanya yang pakai batik dan peci hitam serta sarung yang sah salatnya. Para ulama juga tidak akan menganggap hanya mereka yang pakai sorban dan gamis saja yang sah salatnya. Selama salatnya menutup aurat dan suci dari najis, maka pakaian apa pun yang dianggap baik menurut adat setempat bisa dipakai untuk salat. Tapi kalau Anda telanjang bulat masuk ke masjid seperti orang jahiliah dulu, tentu ini tidak dibenarkan.
Begitu juga ungkapan akhi-ukhti dalam interaksi sehari-hari, sesungguhnya itu sederajat dengan panggilan mas atau mbak. Mau panggil istri Anda dengan ummi atau mama atau ibu atau panggilan mesranya lainnya, silakan saja. Tidak perlu anti-Arab, tapi juga tidak perlu memaksakan orang lain untuk seperti orang Arab. Mau makan nasi kebuli, silakan. Mau makan jengkol dan pete, ya silakan. Islam di Nusantara mengakomodir semuanya.
Begitu pula kearifan lokal ketika Kanjeng Sunan Kudus melarang warga Kudus untuk menyembelih sapi. Larangan menyembelih sapi oleh Sunan Kudus pada saat itu sangat beralasan. Pada awal datangnya Islam di Kudus sebagian besar masyarakat Kudus masih memeluk agama Hindu dan sebagian lainnya beragama Budha. Dalam kepercayaan umat Hindu, sapi adalah binatang yang sangat dihormati dan dimuliakan.
Meski dalam Islam menyembelih sapi adalah hal yang dihalalkan, tapi untuk menjaga perasaan umat Hindu yang tinggal di Kudus saat itu dan menghindari pertumpahan darah antar-umat beragama, Sunan Kudus melarang masyarakat Kudus menyembelih sapi saat Idul Adha. Terlebih isu agama adalah isu yang paling rentan memicu pertikaian antar-umat beragama.
Hingga sekarang masyarakat Kudus masih menghormati larangan itu, meski sebagian besar masyarakatnya sudah beragama Islam. Hal ini mereka lakukan untuk melestarikan pesan yang tersirat dari larangan tersebut.
Bayangkan seandainya fatwa Sunan Kudus bukan seperti itu, tapi misalnya karena Nabi menyembelih unta, maka kurban harus berupa unta. Tentu ini sulit mencari unta di tanah Jawa. Itulah sebabnya para ulama fiqh telah menetapkan hadyu itu berupa hewan ternak (bahimatul an’am). Ini tentu memudahkan buat kita yang berada di luar Arab. Unta bisa diganti dengan sapi atau kerbau.
Kambing Jawa atau sapi Madura, meski belum pernah ke Arab, hukumnya sah sebagai hewan kurban. Sekali lagi, yang sampai kepada Allah bukan darah dan daging hewan kurban, tetapi ketakwaan kita.
Apa yang dilakukan oleh ulama Nusantara itu persis mengikuti metode dakwah yang digariskan oleh al-Qur’an: melanjutkan tradisi yang baik dari para orang baik sebelum kita, pada saat yang sama memilah-milah mana tradisi yang harus dibenahi dan didakwahi dengan lemah lembut, dan mana yang nyata-nyata harus ditinggalkan, dan bisa juga mana hal-hal baru yang lebih baik yang bisa kita pelajari dan kita amalkan.
Selamat menjalankan tradisi yang baik di bulan zulhijjah ini, sebagaimana Hadits Nabi SAW mengingatkan kita untuk mengerjakan dan melanjutkan tradisi yang baik:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam tradisi yang baik, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengkutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikitpun.” (HR Muslim)
Semoga Allah menerima ibadah kurban yang sebentar lagi kita lakukan dalam rangka melanjutkan tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad kama shalayta ‘ala Sayyidina Ibrahim.
Dikutip dari Gus Nadirsyah Hosen
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/72639/gus-nadir-qurban-dan-tradisi-bagian-2.html