PR. Delima: Satu-satunya Bangunan Pabrik Rokok di Kudus yang Kini Menjelma Pesantren

Kudus lekat dengan aroma rokok cengkeh yang dilinting pertama kali oleh H. Djamhari lalu dibakarnya lintingan itu hingga berbunyi “kretek…kretek…” (Badil, 2011). Kudus juga tidak terpisahkan dengan perjalanan religi Sunan Kudus yang kini mewariskan monumen gagah Menara Kudus dan etos Gusjigang (bagus pekerti, pintar ngaji, dan dagang). Selama berpuluh-puluh tahun keduanya berpadu dalam atmosfer kota Kudus yang khas dan penuh sejarah. Dan tanpa pernah diketahui sebelumnya, ada bangunan bersejarah pabrik rokok—yang kelak ketika hujan, aroma cengkeh berpadu tembakaunya masih acap kali menguar di udara bersahutan dengan suara ngaji para santri.

Gang kecil yang kanan kirinya terhimpit tembok-tembok tinggi itu menjadi gelap dan suram ketika malam hari. Konon katanya berbagai peristiwa angker sering terjadi. Warga setempat memilih tidak melewati gang kecil itu saat malam hari—takut kalau mitos siluman harimau yang terucap dari mulut ke mulut tiba-tiba menjadi nyata.

Kami selalu bergidik mendengar cerita angker tentang tempat yang kami tinggali saat itu. Apalagi cerita-cerita itu sering diulang ketika malam Jum’at—waktu dimana kami sering berkumpul bercerita karena besok pagi sekolah libur. Tapi kami selalu meyakinkan diri, terlepas benar atau tidak, cerita-cerita angker itu tidak akan terjadi lagi.

Tempat yang kami tempati saat ini adalah pesantren yang setiap saat akan selalu terdengar suara mengaji santri dari sudut manapun. Memang beberapa kali kejadian mistis masih sering terjadi. Tapi nyatanya kejadian mistis serupa sering terjadi di pondok pesantren manapun, tidak hanya di pesantren kami. Jadi bukan semata-mata karena bangunan pesantren kami adalah bekas bangunan pabrik rokok yang sudah lama tidak berpenghuni. Ya, pesantren kami yang berada di Desa Demangan, Kudus adalah bekas bangunan pabrik rokok besar yang berjaya pada masanya.

Sejarah PR. Delima

Albar (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Masyarakat Industri Rokok Kretek Studi Kasus Perusahaan Rokok Kretek “Delima”, Kudus 1914-1952” menuliskan bahwa P.R. Delima didirikan oleh H.M. Ashadie (1894-1952) yang merupakan putra sulung M. Atmowidjojo yang juga merupakan pengusaha rokok cap Goenoeng Kedoe (1913). Beliau memulai usaha rokok sekitar tahun 1914 dalam usia relatif muda (20 tahun) dan pada saat itu beliau telah menunaikan ibadah haji di usia yang ke 19 tahun.

Pada awalnya, H.M. Ashadie mendirikan pabrik rokok dengan merek “Terong”(1916) dan kemudian menggantinya dengan merek “Delima” sekitar tahun 1919. Pabrik rokok Delima menjadi salah satu pabrik rokok besar kala itu yang berdiri di atas tanah seluas 12.000-an m2 dengan 20 gedung yang dinamai dengan abjad A-M. H.M. Ashadie menjadi pengusaha rokok muslim pribumi yang dapat dikatakan mewarisi semangat etos Gusjigang; sebuah kearifan lokal warisan Sunan Kudus.

Kawasan PR. Delima Sekarang

PR. Delima diperkirakan beroperasi hingga tahun 1990 usai meraih masa kejayaannya pada tahun 1926-1939. Bertahun-tahun setelah itu, kini sebagian kawasan pabrik rokok Delima telah berubah menjadi perumahan. Pada tahun 2012, sebagian bidang tanah beserta bangunan pabrik resmi dibeli oleh Yayasan Mu’allimat Kudus dan diubah menjadi pondok pesantren. Kawasan yang kini menjadi Ma’had Mu’allimat juga berdampingan dengan situs cagar budaya ‘Langgar Bubrah’. Bangunan seperti menara yang tampak “bubrah” atau rusak sebagian ini diperkirakan menjadi bangunan tertua di Kudus yang dibangun sekitar tahun 1456 M.

Atas perjanjian dua pihak, semua bangunan bekas pabrik rokok Delima tidak dirubuhkan atau diganti, melainkan hanya diperbaiki dan dicat ulang. Kawasan pabrik rokok Delima yang kini menjelma menjadi Ma’had Mu’allimat terdiri dari 6 bangunan, termasuk kamar mandi. Salah satu bangunan P.R. Delima  terbesar dan megah adalah gedung F (dalam gambar) yang tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Pada bagian bawah pilar-pilar yang berada di pintu masuk, terdapat logo buah Delima yang tetap dipertahankan. Kekokohan pondasi serta struktur bangunan pabrik tidak perlu diragukan lagi. Hal ini juga yang mendasari alasan untuk tidak ragu mempertahankan semua bangunan yang ada. Bahkan kayu jati yang digunakan sebagai dasar lantai 2 pun masih kuat dan tidak rusak dimakan rayap.

Keberadaan Ma’had Muallimat yang menempati bekas bangunan P. R. Delima yang berlokasi di Kudus Kulon—sentra keagamaan Kota Kudus, memperkuat wajah Kudus dengan warisan Gusjigang-nya. Sejarah perkembangan pabrik kretek di Kudus telah membawa Kudus sebagai Kota Kretek. Sementara wajah religius Kudus telah melekat sejak lama, tak terlepas dari keberadaan dua Wali Songo, Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sebagai kota industrial-religius dengan slogan kota ‘religius-modern’, Kudus tidak bisa menghindar dari problem industrialisasi, globalisasi, fregmentasi, dan religiusitas yang dinamis dan memengaruhi keadaan masyarakat (Jalil, 2013). Oleh sebab itu, kearifan lokal Gusjigang perlu dilestarikan selayaknya jiwa Kota Kudus, agar masyarakat mampu berdikari di tengah arus global dengan tetap mempertahankan identitas diri sebagai masyarakat religius dengan budi pekerti baik, spirit mencari ilmu, serta berwirausaha dengan jujur.

NB : Dokumentasi kejayaan P.R. Delima dapat dilihat di akun instagram @hmashadi_delima (https://www.instagram.com/hmashadi_delima/) yang dikelola langsung oleh generasinya.

Referensi :

Badil, R. 2011. Kretek Jawa Gaya Hidup Lintas Budaya. Jakarta: KPG.

Jalil, A. 2013. Spiritual Enterpreneurship Transformasi Spiritualitas Kewirausahaan. Yogyakarta: LKiS.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/hsz/pr-delima-satu-satunya-bangunan-pabrik-rokok-di-kudus-yang-kini-menjelma-pesantren-b249723p/