Kenyataan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan kultural negara kita saat ini menunjukkan bagaimana logika berpikir dan sikap keseharian tak mendasarkan pada nilai humanisme universal yang harusnya menjadi bagian hidup bersama. Kekuasaan dan kekuatan modal dan sosial ditunjukkan dalam berbagai kesempatan demi kepentingan pribadi dan atau golongan, bukan untuk kepentingan masa depan bersama.
Kondisi bangsa saat ini seperti memasuki babak gara-gara dalam pewayangan. Sebuah fase kehidupan yang ditandai dengan ketidakseimbangan anasir alam dan kondisi dimana ‘…sepuh anem salang tunjak numbuk bentus, rebut ing ngarsa luru boga tanpa wigih ringa-ringa. Temah telas tilasing kamanungsan, tilar kapribaden, tebih ing katresnan, datan asih mring sesami, datan metang sangsaraning liyan, angger kasembadan kang sinedya’.
Artinya ‘…tua muda saling menghujat dan menghajar, saling berebut menjadi pemimpin terdepan, berburu rente dengan tanpa malu-malu lagi. Telah lenyap peri kemanusiaan, kepribadian bangsa ditinggalkan, menjauhi kasih sayang antar sesama manusia. Tak pernah menghiraukan kesengsaraan orang lain, yang penting terwujud keinginan pribadinya’ (Sumarsono, 2017).
Kebijakan politik dan ekonomi yang segmentatif, kesenjangan sosial, hingga kualitas hukum menurun drastis karena tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Di balik itu, para elite politik justru memainkan manuver untuk melanggengkan kekuasaan. Semua ingin mengurus pemerintahan, tapi sedikit yang menegakkan demokrasi substansial.
Padahal mereka memiliki pertanggungjawaban etik dan kebangsaan untuk melayani kepentingan publik yang lebih luas. Para pemangku kebijakan tidak memiliki kultur moral dan nilai etis yang dijunjung tinggi. Mereka memiliki posisi sosial politik, tapi kekuasaan digunakan untuk menunggangi kepentingan rakyat demi kepentingan diri dan kelompoknya.
Astina
Dengannya, kita seperti hidup di dunia antah berantah, di negeri wayang dimana tokoh-tokohnya dimainkan dalang yang berkuasa menentukan bagaimana sebuah kisah hendak dimainkan. Dalam cerita pewayangan, realitas semacam ini hadir di negeri Astina yang dipimpin oleh para Kurawa.
Di Astina, pola hidup para punggawanya penuh ambisi dan tipu daya demi kepentingan diri dan kelompoknya. Banyak terjadi kisah keberpihakan pada kepentingan pihak tertentu, penyalahgunaan wewenang hingga pemutarbalikan fakta dilakukan secara vulgar, berulang dan tanpa tedeng aling-aling. Kesan hukum digunakan untuk kepentingan golongan yang mempunyai kuasa, makin terasa, seperti di negeri ini. Publik dianggap anak kecil yang bisa dikelabui dan diabaikan pendapatnya karena tak mempunyai kekuatan untuk merubah keadaan.
Sesekali para cendekiawan, rohaniwan dan rakyat ditampilkan untuk didengar suaranya. Bukan untuk dijadikan bahan pertimbangan, tapi hanya untuk menunjukkan kesetimbangan penguasa dalam menentukan keputusan politik. Praktiknya jauh dari kebutuhan publik, bahasanya retoris dan birokratis untuk mengaburkan maksud dan tujuan utama memuluskan hasrat penguasa.
Seturut Gramsci, hal ini menjadi praktik dominasi kekuasaan yang tidak semata-mata diwujudkan melalui kekerasan fisik. Kekuasaan dapat ditegaskan lewat modus operandi strategi hegemoni melalui kuasa tafsir yang terselubung didalam sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Dengannya, kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial. Dan dengan sistem politik semacam itu, seturut logika Nietzsche, kebenaran tidak diukur dari nilai obyektif yang didukung mayoritas, tetapi nilai subyektif penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan Machiavelis.
Wirya
Hal ini jauh dari kualitas sikap hidup yang tertulis dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 15 sebagai wirya, yang berarti “keluhuran, kekuasaan”. Orang yang luhur berarti seseorang yang dihormati orang banyak. Tapi orang dihormati karena keutamaannya, bukan kekuasaannya. Demikian pula kuasa, bukan berarti kebebasan melakukan apa saja, memaksakan kehendak untuk dituruti semua orang, yang berujung kesewenang-wenangan.
Dalam konteks lebih luas, sistem politik idealnya mampu menjadi salah satu fundamen dasar yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif berbangsa dan bernegara. Tugas politik adalah membangun wacana, melahirkan ilmu pengetahuan dan teori yang aplikatif dalam bentuk undang-undang. Regulasi tersebut bukanlah peraturan yang memanfaatkan keadaan, akan tetapi yang mampu mengubah keadaan.
Hal ini diperlukan untuk mengarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat menjadi lebih baik, sebagai respon riil terhadap kondisi masyarakat. Berefleksi pada kerajaan Amarta yang dipimpin oleh para Pandawa, kehidupan bernegara harus dipahami sebagai usaha untuk merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti politik partisipatif, tanggung jawab sosial, demokrasi, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil.
Kita berharap Indonesia tidak menjadi Astina. Politik kita bukan dipilih untuk memuluskan hasrat ngurawa bagi segelintir orang dan kepentingan dimana semua menjelma Durna – seorang pandita, sosok bijak dan waskita tapi semua kemampuannya digunakan untuk membela kepentingan Kurawa. Atau Duryudana yang kejam, Sengkuni si penghasut, pun si licik Aswatama – mereka yang terus menghamba pada nafsu politik, hasrat korup memperkaya diri dan kelompoknya dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.
Politik kita adalah barisan homo politicon yang mampu membaca seluruh problem bangsa dalam perspektif sosio-kultural yang substansial dan komprehensif oleh pemahaman dan pengalaman yang multidimensional. Itu akan nampak dalam wacana (discourse) yang diutarakannya, dalam kode atau simbol-simbol linguistik (daya literer) yang digunakannya, dalam referensi yang mendasarinya, dalam kristal-kristal bening dan padat gagasannya (Dahana, 2009). Merekalah pelayan bagi keseluruhan (nation), dan bukan ia yang nampak ambisius, manipulatif dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi/golongan.
Baca Juga
https://alif.id/read/purnawan-andra/indonesia-bukan-negara-astina-b249726p/