Alhamdulilah, rehab “mushola bersejarah” ini selesai juga akhirnya setelah sempat tertunda karena wabah Covid-19. Sejak awal didirikan, sudah beberapa kali mushola ini direhab. Mushola ini merupakan “langgar historis”. Awalnya dulu dibangun oleh almarhum bapak persis di depan rumahnya di kampung, lereng gunung di Kecamatan Bandar, Kab. Batang, Jawa Tengah. Dikatakan sebagai “langgar historis” karena ini mushola pertama yang dibangun di kampung.
Saat pertama dibuat dulu mushola ini berbentuk ala kadarnya terbuat dari papan saja, tanpa tembok, keramik, genting. Bagi bapak, yang juga seorang modin (“petugas agama” di kampung), yang penting ada tempat untuk ngumpul salat dan ngaji. Beralas tanah dan pakai tikar pun tak masalah. Beratap ilalang pun jadi.
Yang membuat tikar adalah simbok dan kakaknya yang memang tukang membuat tikar (“keloso”) dulu dari daun pandan untuk dijajakan keliling sebelum menekuni profesi sebagai bakul warung gorengan di kampung.
Dulu, mushola ini dibangun dengan penuh perjuangan heroik. Menurut kisah almarhum, pembangunan mushola ini awalnya ditentang keras oleh “para pembesar” dan warga kampung. Warga juga banyak yang meledek dan melecehkan. Hampir tiap malam, ada saja “telek” (berak) manusia di mushola itu, selain bau pesin karena dikencingi warga. Setiap pagi bapak pun harus membersihkannya dengan sabar.
Warga kampung dulu tidak memiliki afiliasi ke agama atau kepercayaan apapun. Bapak adalah orang pertama di kampung itu yang mengimani “Islam campuran Kejawen” setelah belajar dengan “wong pinter” di lain desa. Bapak pula orang pertama yang mengajari sembahyang (salat), doa, tahlilan, dan ngaji “turutan” (bagian surat-surat pendek dalam Al-Qur’an) pada warga kampung yang mau tentunya.
Sebelum ada mushola, aktivitas keagamaan itu ia lakukan di gubuknya yang dulu terbuat dari papan, bambu, dan “bleketepe” (anyaman dari daun kelapa atau “blarak”). Di gubuk inilah saya dilahirkan dan dibesarkan: tidur di atas papan beralas tikar pandan buatan simbok.
Karena bukan santri pesantren, keislaman yang ia ajarkan pun ala kadarnya. Doa dilakukan dengan campuran bahasa Arab-Jawa ala kadarnya. Al-Fatihah ya bilangnya “alpatekah”, “bismillah” bilangnya “semilah”, “Allah” bilangnya “Aloh” dan seterusnya.
Amalan keagamaan juga campur aduk antara “syariat Islam” dan “syariat Kejawen”. Puasa Ramadan ya, tirakat ngebleng dan mutih juga jalan terus. Salat ya, semedi juga ya. Membaca turutan ya, baca mantra-mantra Jawa juga ya. Pokoknya campur-aduk.
Pada mulanya hanya tiga orang warga kampung yang tertarik dengan “dakwah” bapak. Nah, “ketiga santri” bapak itu yang kemudian ikut membantu mendirikan mushola. Sekitar pada pertengahan atau akhir 1970-an, mushola mendapat bantuan dari Departemen Agama sebesar 1 jutaan.
Tapi sayang, uang itu “disunat” nyaris habis oleh para pejabat kampung semprul simelekete yang menolak pembangunan mushola itu. Meski hanya terima dikit, uang tetap digunakan oleh bapak untuk memperbaiki mushola seadanya.
Yang menarik waktu itu, selain dibantu oleh tiga orang santri tadi, saat awal membuat mushola, bapak juga ikut dibantu oleh seorang guru SD yang beragama Kristen yang kebetulan, oleh pemerintah, diperbantukan untuk mengajar di SD kampung.
Pak guru yang dikenal baik hati itu berasal dari kabupaten lain di Jawa Tengah. Dan kebetulan juga Pak Guru itu, selama bertugas mengajar di kampung selama beberapa tahun, “ngekos” tinggal di gubuk bapak makan sama-sama seadanya. Jadi sudah seperti saudara saja.
Persahabatan modin Muslim-guru Kristen ini tergolong “kentel”. Keren abis pokokmen. Bapak dulu sering cerita tentang dia. Makanya, saat Pak Guru kemudian dipindahkan bertugas ke daerah lain, bapak sepertinya sangat sedih dan kehilangan.
Mungkin, supaya bisa terus mengenang kebaikan Pak Guru tadi –sekaligus harapan mungkin supaya kelak saya bisa menjadi seorang guru SD– bapak memberi nama anaknya yang baru lahir (saya) dengan nama “Sumanto”, yaitu nama Pak Guru Kristen tadi.
https://alif.id/read/sa/rehab-mushola-bersejarah-persahabatan-islam-kristen-b238932p/