Laduni.ID, Jakarta – بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم. Istri-Istri Rasulullah.
Ummul Mukminin, Zainab Binti Khuzaimah RA
Ia dinikahi Nabi SAW setelah pernikahannya dengan Hafshah, yakni pada bulan Ramadhan tahun 3 hijriah. Tetapi pernikahan beliau ini hanya berlangsung delapan bulan (riwayat lain menyebutkan dua atau tiga bulan), Zainab meninggal pada bulan Rabi’ul akhir tahun 4 Hijriah. Bersama Khadijah, ia merupakan istri Nabi yang meninggal ketika beliau masih hidup.
Zainab dinikahi Nabi SAW dalam keadaan janda. Sebagian riwayat menyebutkan, suami pertamanya adalah Abdullah bin Jahsyi RA yang mati syahid di perang Uhud, tetapi riwayat lain menyebutkan Thufail bin Harits RA atau saudaranya, Ubaidah bin Harits RA, yang keduanya gugur di medan perang Badar.
Sejak sebelum Islam didakwahkan, Zainab binti Khuzaimah telah terkenal dengan sebutan Ummul Masakin (Ibu bagi orang-orang miskin), karena ia sangat suka mendermakan hartanya untuk orang-orang miskin, dan sikap kasih sayangnya kepada mereka.
Ummul Mukminin Ummu Salamah RA
Ummu Salamah RA, atau nama aslinya Hindun binti Abu Umayyah, berasal dari Bani Makhzum, ayahnya termasuk seorang bangsawan Arab yang ternama dan dermawan. Ia dinikahi Rasulullah SAW dalam keadaan janda. Pernikahan pertamanya dengan Abu Salamah, atau Abdullah bin Abdul Asad, didasari dengan rasa saling mencintai seolah tak bisa dipisahkan.
Suatu ketika ia berkata kepada suaminya; “Aku pernah mendengar bahwa jika seorang menikah dan saling mencintai, kemudian suaminya meninggal dan istrinya tidak menikah lagi dengan siapapun, maka istrinya akan masuk surga dan mendapatkan lelaki yang diinginkannya. Begitu juga jika istri yang meninggal dahulu, kemudian suaminya tidak menikah lagi dengan wanita lainnya, maka ia akan masuk surga dan memperoleh wanita yang diidamkannya. Oleh karena itu marilah kita saling berjanji untuk tidak menikah lagi jika salah satu dari kita meninggal dunia.”
Mendengar pernyataan istrinya ini, Abu Salamah berkata, “Apakah engkau mau mentaati perintah saya?”
“Ya,” kata Ummu Salamah, “Karena itu aku bermusyawarah denganmu agar aku bisa menaatimu.”
“Jika aku meninggal dahulu, menikahlah engkau,” kata Abu Salamah.
Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, apabila aku meninggal nanti, nikahkanlah Ummu Salamah dengan lelaki yang lebih baik daripada ku, yang tidak akan menjadikan hatinya bersedih, yang tidak akan memberikan kesulitan kepadanya.”
Allah mengabulkan doa Abu Salamah ini, dan sepeninggalnya ternyata Nabi SAW berkenan untuk menikahi Ummu Salamah. Suami istri ini telah memeluk Islam pada masa awal Islam didakwahkan. Dalam perjalanan hijrah ke Madinah bersama suami dan anaknya, kerabatnya dari Bani Mughirah tidak merelakan kepergiannya dan mereka merebut kendali onta yang membawanya. Anaknya, Salamah bin Abu Salamah yang dalam gendongannya direbut oleh kerabat suaminya dari Banu Abdul Asad, tetapi tidak membiarkan suaminya, Abu Salamah untuk membawanya hijrah ke Madinah. Tinggallah Ummu Salamah bersama kaumnya, tetapi ia selalu dalam keadaan sedih karena jauh dari orang-orang yang dicintainya, suami dan anaknya serta saudara-saudaranya sesama muslim.
Setiap sore Ummu Salamah keluar, duduk di atas batu sambil menangis hingga larut malam. Keadaan yang menyedihkan ini berlangsung hingga setahun, sampai akhirnya salah satu kerabatnya meminta kepada pemuka Bani Mughirah untuk melepaskan dan membiarkannya hidup bersama suaminya, dan permintaan ini disetujui. Saat itu Bani Abdul Asad pun memberikan kembali anaknya. Ia pun menyusul suaminya berhijrah ke Madinah.
Ummu Salamah menunggang unta hanya berdua dengan anaknya. Sampai di Tan’im, tidak jauh dari Makkah, ia berjumpa dengan Utsman bin Thalhah (saat itu belum memeluk Islam), yang kemudian bertanya kepadanya, “Mau kemana engkau, berjalan sendirian?”
“Aku akan menemui suamiku di Madinah?”
“Apakah tidak ada yang menemanimu?” Utsman setengah tidak percaya, karena Madinah jaraknya jauh sekali, sekitar limaratus kilometer mengarungi padang pasir dan memerlukan waktu berhari-hari. Tetapi dengan mantap Ummu Salamah berkata, “Tidak ada siapa-siapa lagi selain Allah!”
Utsman mengambil kendali unta yang ditunggangi Ummu Salamah dan membawanya berjalan ke arah Madinah. Jika tiba waktunya istirahat, ia merendahkan unta di dekat sebuah pohon dan menjauh, sehingga Ummu Salamah bisa turun dengan mudah. Setelah akan berangkat lagi, ia merendahkan unta sampai Ummu Salamah naik, dan memegang lagi kendalinya ke arah Madinah. Begitulah terjadi berulang-ulang dalam beberapa hari. Ketika telah sampai di Quba, Utsman bin Thalhah berkata, “Suamimu berada di sini.”
Utsman membiarkan Ummu Salamah mengendalikan untanya sendiri, dan ia berjalan kembali ke arah Makkah. Ketika telah bertemu dengan suaminya, Abu Salamah, ia menceritakan perjalanannya, dan kemudian berkata: “Demi Allah, selama setahun aku mengalami berbagai kesusahan dan penderitaan, belum pernah aku bertemu orang sebaik dia (Utsman bin Thalhah).”
Abu Salamah, suami Ummu Salamah wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 4 Hijriah, akibat luka parah yang diperolehnya pada perang Uhud, dan kambuh lagi ketika ia memimpin pasukan untuk memerangi Bani Asad. Setelah menjadi janda, iapun teringat akan pesan dan juga doa suaminya, agar ia menikah lagi. Untuk itu, ia dengan tekun melafalkan doa yang pernah diajarkan Rasulullah SAW, doa ketika mendapat musibah, yaitu: “Allahumma Ajirnii fii mushiibatii, wakhlufnii khoiron minha” (Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang saya alami ini, dan gantilah dengan yang lebih baik)
Namun disela-sela doanya, ia sering berfikir, siapakah lelaki yang lebih baik daripada Abu Salamah? Pernah Abu Bakar menyatakan keinginan untuk menikahinya, tetapi Ummu Salamah menolak. Begitu juga ketika Umar bin Khaththab bermaksud menikahinya.
Ketika Nabi SAW meminangnya, ia bertanya dalam hati, inikah pengabulan doa Abu Salamah dan doaku? Namun demikian ia berkata kepada Nabi SAW,
“Wahai Rasulullah, anakku banyak, dan aku mempunyai sifat cemburu yang besar. Selain itu, tidak ada wali yang akan menikahkan aku.”
Mendengar alasan ini, dengan senyum Nabi SAW bersabda: “Yang menjaga anak-anak adalah Allah SWT, dan Insya Allah sifat cemburu itu akan berangsur hilang, karena seseorang tidak akan terus-menerus marah. Mengenai wali, Salamah adalah walimu…!”
Ummu Salamah akhirnya menerima pinangan Nabi SAW ini. Pernikahan ini terjadi pada bulan Syawal tahun 4 Hijriah. Ummu Salamah lahir sekitar sembilan tahun sebelum kenabian, jadi ia berusia sekitar 26 tahun ketika menikah dengan Nabi SAW, wafat pada usia 84 tahun pada tahun 62 hijriah. Ummu Salamah dinikahi Nabi SAW setelah wafatnya Zainab binti Khuzaimah, dan ia menempati rumah yang sebelumnya ditinggali Zainab. Ketika Aisyah RA mendengar pernikahan ini, ia ingin melihat wajah Ummu Salamah, karena kabar yang didengarnya, Ummu Salamah seorang wanita yang sangat cantik.
Secara diam-diam ia berusaha agar bisa melihat wajahnya. Setelah berhasil, ia berkata: “Ternyata memang benar, dia lebih cantik daripada berita yang saya dengar…!”
Ketika bertemu Hafshah, dan menceritakan tentang Ummu Salamah, dan Hafshah berkata, Menurut saya, dia tidaklah secantik apa yang dikatakan orang-orang…!”
Ummul Mukminin Zainab Binti Jahsy RA
Zainab binti Jahsy masih kerabat Nabi SAW, ia terhitung masih keponakan beliau, dan telah memeluk Islam pada masa-masa awal Islam didakwahkan di Makkah. Pada mulanya ia menikah dengan bekas budak dan anak angkat Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah. Zaid adalah kesayangan Nabi SAW, sehingga ia pernah menjadi anak angkat beliau, namanya pun sempat dinisbahkan kepada beliau, Zaid bin Muhammad, sampai kemudian turun larangan untuk menjadikan anak angkat seperti anak kandung. Pernikahan Zainab dengan Zaid tidak bisa terus berlangsung karena berbagai permasalahan, dan berakhir dengan perceraian. Adat jahiliah untuk menjadikan anak angkat seperti anak kandung begitu mengakar, sehingga tidaklah mudah untuk menghapuskannya begitu saja.
Karena itu Allah menurunkan perintah kepada Nabi SAW untuk menikahi Zainab binti Jahsy, janda bekas anak angkatnya tersebut (QS Al Ahzab 37). Dengan pernikahan ini, adat yang mengakar tersebut akhirnya bisa terkikis habis. Zainab merasa bangga dan istimewa dengan pernikahannya ini, sebab istri-istri Nabi SAW yang lain dinikahkan oleh wali-walinya, sedangkan ia dinikahkan langsung oleh Allah SWT dan diabadikan dalam al Qur’an.
Zainab lahir sekitar 17 tahun sebelum kenabian, dinikahi Nabi SAW pada bulan Dzulhijjah tahun 5 hijriah, yakni ketika berusia 35 tahun, dan wafat pada tahun 20 hijriah ketika berusia 50 tahun, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Ia adalah istri Nabi SAW yang pertama kali meninggal setelah kewafatan beliau. Umar bin Khaththab sendiri yang menjadi imam shalat jenazahnya. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah SAW yang biasa bekerja dan menghasilkan uang dengan tangannya sendiri, bahkan hal itu telah dilakukannya sejak sebelum pernikahannya. Tetapi hasil kerjanya ini hanya digunakannya untuk bersedekah di jalan Allah, yakni membantu orang-orang miskin yang sangat membutuhkan dana dan kesulitan keuangan. Dalam kesehariannya ia tetap memilih hidup sederhana seperti dicontohkan Nabi SAW.
Ketika Rasulullah SAW akan wafat, para istri beliau ini bertanya tentang siapa di antara mereka yang paling dahulu menyusul beliau kembali ke hadirat Ilahy SWT? Nabi SAW bersabda, “Dia yang paling panjang tangannya.”
Mereka pun saling mengukur tangan mereka dengan kayu. Tetapi ternyata yang wafat terlebih dahulu di antara mereka adalah Zainab binti Jahsy, padahal bukan dirinya yang tangannya paling panjang ketika diukur dengan kayu saat itu. Istri-istri Nabi SAW yang lainpun sadar bahwa yang dimaksud Nabi SAW dengan ‘paling panjang tangannya’ adalah yang paling banyak sedekahnya. Semasa Umar bin Khaththab menjadi khalifah, kekayaan melimpah ruah memenuhi baitul mal, sehingga semua istri Nabi SAW diberi tunjangan sebesar 12.000 dirham setiap tahunnya. Ketika Zainab menerima tunjangan ini, ia menolaknya dan minta agar diberikan kepada istri-istri Nabi SAW lainnya saja. Ketika dijelaskan bahwa mereka juga memperoleh jumlah yang sama, ia begitu heran, sambil menutup mulutnya dengan ujung kain, ia hanya berkata: “Subhanallah!!”
Ia memerintahkan utusan khalifah itu meletakkan uang di pojok kamar, dan menutupinya dengan kain tanpa sedikitpun menoleh pada tumpukan uang tersebut. Kemudian ia memerintahkan pembantunya, Barzah, untuk membagikan uang tersebut pada beberapa orang fakir miskin, janda dan anak yatim dengan menyebutkan jumlahnya masing-masing. Ketika uang tersebut tinggal sedikit, Barzah menyatakan keinginannya untuk memilikinya, dan Zainab berkata,”Ambillah sisa uang di bawah kain itu.”
Barzah mengambil dan menghitungnya, ternyata jumlahnya 84 dirham. Setelah habis dibagikan, Zainab kemudian berdoa,”Ya Allah, tahun depan, janganlah harta sebanyak itu akan datang kepada ku, yang kedatangannya bisa menyebabkan fitnah bagiku.” Allah mengabulkan doanya. Sebelum pembagian tahun berikutnya, ia telah wafat, dan tidak meninggalkan sedikitpun harta dan uang di dalam rumahnya.
Ummul Mukminin, Juwairiyah Binti Harits RA. Juwairiyah binti Harits adalah putri dari pemimpin bani Musthaliq dari Suku Khuza’ah, Harits bin Abu Dhirar. Bersambung, Insya Allah. Sallu ala Nabi.
Oleh : Sayid Machmoed BSA (sumber tulisan dari utasan @sayidmachmoed)
Editor : Ali Ramadhan
https://www.laduni.id/post/read/72656/sirah-khulafa-ar-rasyidin-bagian-ketiga.html