Laduni.ID, Jakarta – بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم. Istri-Istri Rasulullah.
Ummul Mukminin, Saudah Binti Zam’ah RA
Saudah binti Zam’ah bin Qais sebelumnya diperistri oleh Sakran bin Amar RA, salah seorang sahabat Nabi SAW lainnya. Mereka berdua telah memeluk Islam pada masa awal ketika di Makkah. Karena kerasnya siksaan dan halangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, mereka berdua hijrah ke Habasyah bersama beberapa sahabat lainnya.
Suami Saudah meninggal pada tahun 10 kenabian, beberapa hari sebelum meninggalnya Khadijah RA, ketika masih berada di Habasyah. Sebagian riwayat menyebutkan Sakran telah kembali ke Makkah, kemudian meninggal. Beberapa bulan setelah wafatnya Khadijah, Nabi SAW menikahinya, inilah pernikahan pertama beliau setelah Khadijah wafat. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan, Nabi SAW terlebih dahulu menikah dengan Aisyah, walau saat itu belum berkumpul bersama Nabi SAW.
Ketika dinikahi Nabi SAW, Saudah sudah agak tua dan telah berkurang kecantikannya, badannya agak gemuk. Karena itu ia menjadi istri Nabi yang paling akrab dengan Aisyah, karena tidak ada sesuatu alasan yang bisa membuatnya dicemburui oleh Aisyah. Bahkan seringkali Saudah memberikan gilirannya dikunjungi Nabi SAW kepada Aisyah. Keakraban mereka ini kadang terjadi ketika Nabi SAW berada di antara mereka. Suatu ketika Nabi SAW datang ketika Aisyah sedang bersama Saudah, beliau duduk di antara mereka berdua.
Aisyah bangkit untuk membuatkan kue khazirah, kue dari bahan tepung dan susu. Setelah siap, ia menghidangkannya untuk Rasulullah SAW. Aisyah tahu kalau Saudah tidak suka dengan kue khazirah, tetapi justru itu ia berkata setengah memaksa kepada Saudah, “Engkau harus memakan kue ini, kalau tidak, aku akan mengolesi wajahmu dengan khazirah!”
Saudah menolak mati-matian karena memang ia tidak suka. Aisyah terus merajuk dan akhirnya mengoleskan kue itu ke wajah Saudah. Melihat hal ini, Nabi SAW merendahkan kedua lutut dan memberi isyarat kepada Saudah untuk menuruti permintaan Aisyah. Tetapi belum sempat Saudah melakukannya, Aisyah mengambil sepotong kharijah dan mengoleskannya ke wajahnya sendiri. Nabi SAW tersenyum geli melihat wajah dua istrinya yang berlumuran tepung, Aisyah dan Saudah ikut tertawa karenanya.
Di waktu senggangnya, Nabi SAW menyibukkan diri dengan shalat sunnah. Saudah sangat senang ikut shalat di belakang beliau, walau tidak diperintah mengikutinya. Pernah terjadi, ketika beliau shalat dengan ruku yang sangat panjang, hidungnya mengeluarkan darah. Saudah wafat pada tahun 54 atau 55 hijriah, sebagian riwayat menyebutkan, ia wafat pada akhir kekhalifahan Umar bin Khaththab RA.
Ummul Mukminin, Aisyah Binti Abu Bakar RA
Aisyah binti Abu Bakar RA merupakan istri yang paling dicintai Nabi SAW setelah Khadijah RA, dan satu-satunya wanita yang dinikahi Nabi SAW dalam keadaan gadis. Ia mendapat panggilan kesayangan dari Nabi SAW, Khumaira, artinya, yang pipinya kemerah-merahan. Ia adalah seorang wanita yang cerdas, sehingga setelah Nabi SAW wafat, banyak sahabat yang bertanya kepada Aisyah tentang berbagai permasalahan.
Aisyah dinikahi Nabi SAW ketika ia masih berusia 6 tahun di Makkah, dan mulai berkumpul dengan beliau ketika berusia 9 tahun di Madinah. Riwayat lainnya menyebutkan, ia dinikahi Nabi SAW pada usia 9 tahun, dan berkumpul dengan beliau pada usia 11 tahun. Rasulullah menikahi Aisyah tepat pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian di Makkah atau sekitar tiga tahun setelah sang istri pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat. Mahar yang diberikan Rasulullah untuk Aisyah sebesar 12 uqiyyah atau 400 dirham. Ketika Nabi SAW wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun. Ia lahir pada tahun ke 4 kenabian, dan wafat pada usia 66 tahun, malam selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 Hijriah.
Awal mula pernikahan ini, adalah ketika Khaulah binti Hakim menemui Nabi SAW beberapa waktu setelah meninggalnya Khadijah RA. Ia menanyakan kesediaan Nabi SAW untuk menikah lagi, dan ia memberikan pandangan, jika janda, adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais, dan jika gadis, adalah Aisyah binti Abu Bakar. Nabi SAW menyerahkan urusan ini pada Khaulah. Ketika Khaulah menemui orang tua Aisyah, baik ibunya, Ummu Ruman atau bapaknya Abu Bakar sempat terkejut, karena Aisyah masih termasuk keponakan Nabi SAW sendiri.
Jika nasabnya ditelurusi hingga ke atas, maka nasab Aisyah bertemu Rasulullah yaitu pada Murrah bin Ka’ab. Khaulah menemui Nabi SAW tentang status Aisyah yang masih keponakan beliau, tetapi beliau menyampaikan bahwa Aisyah tidak termasuk keponakan yang terlarang untuk dinikahinya. Abu Bakar dan Ummu Ruman dengan gembira menerima lamaran Nabi SAW lewat Khaulah ini. Nabi SAW datang ke rumah Abu Bakar, dan beliau dinikahkan sendiri oleh Abu Bakar dengan putrinya, Aisyah. Beberapa bulan lamanya setelah tinggal di Madinah, Abu Bakar bertanya kepada Nabi SAW, tentang putrinya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak Aisyah tinggal bersama engkau?”. Saya tidak mempunyai peralatan rumah tangga..!” Kata Nabi SAW.
Mendengar jawaban beliau itu, Abu Bakar membeli peralatan rumah tangga yang diperlukan, dan membawanya ke rumah Rasulullah SAW. Setelah semuanya siap, Abu Bakar mengantarkan Aisyah ke rumah beliau, di bulan Syawal tahun 1 atau 2 hijriah di waktu dhuha. Setelah ditinggal wafat Nabi SAW, Aisyah sering memperoleh hadiah uang dari para sahabat, seperti Muawiyah, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dll., sehingga sebenarnya ia tidak dalam keadaan kekurangan. Tetapi didikan Nabi SAW atas dirinya tidak sedikitpun berubah.
Kemurahan dan kesederhanaan tetap menjadi pola hidupnya sebagaimana yang dijalaninya bersama Nabi SAW, sehingga hidupnya cenderung dalam kekurangan. Suatu ketika Aisyah memperoleh hadiah dua karung uang yang masing-masing berisi 100.000 dirham. Ia membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin dari pagi hingga sore sehingga tidak tersisa sama sekali. Hari itu Aisyah sedang berpuasa, saat masuk waktu maghrib, pembantunya datang membawa makanan untuk berbuka berupa sepotong roti dan minyak zaitun.
Ia berkata kepada Aisyah, “Seandainya engkau tadi menyisakan satu dirham, tentu aku bisa menyediakan sepotong daging untuk menu berbuka.”
“Mengapa engkau baru mengatakannya sekarang,” kata Aisyah, “Andai tadi engkau mengatakannya, tentu kusisakan satu dirham untukmu.”
Suatu ketika Aisyah dalam keadaan puasa, dan hanya memiliki sepotong roti untuk persiapan berbuka. Tiba-tiba datang seorang lelaki miskin meminta makanan kepadanya, Aisyah pun menyuruh pembantunya menyerahkan sepotong roti yang ada.
Pembantunya berkata, “Jika kita memberikan roti ini, kita tidak memiliki makanan lagi untuk berbuka puasa…!”
“Biarlah, berikan saja roti itu kepadanya,” kata Aisyah.
Keadaan seperti itu seringkali terjadi, sehingga menyulut rasa kasihan dari keponakannya, Abdullah bin Zubair. Karena hidupnya yang dalam keadaan miskin dan serba kekurangan. Sebenarnya bukannya tidak ada harta dan uang yang datang, tetapi karena gemarnya bersedekah, sehingga tidak ada yang ‘sempat’ menginap walau hanya semalam, sebagaimana seringkali dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Abdullah bin Zubair adalah anak dari saudaranya, Asma binti Abubakar, dan sejak kecil Aisyah ikut mengasuhnya hingga ia amat sayang pada bibinya tersebut. Atas sikap kedermawanan bibinya ini, ia pernah berkata pada salah seorang sahabat: “Saya harus menghentikan kebiasaan bibi yang selalu banyak bersedekah ini…”
Ucapannya itu ternyata sampai kepada Aisyah, dan ia merasa sangat marah kepada keponakannya, ia berkata, “Mengapa engkau melarang aku bersedekah?”
Sambil berkata seperti itu, ia bersumpah tidak akan berbicara lagi dengan Abdullah bin Zubair. Bagaimanapun juga sikap dermawannya itu adalah didikan dan juga dukungan penuh Rasulullah SAW selama ia hidup bersama beliau, sehingga tak mungkin ia meninggalkan atau merubahnya. Ibnu Zubair menyadari kesalahannya, ia berusaha untuk meminta maaf dan meminta bibinya membatalkan sumpahnya tersebut, tetapi Aisyah tetap teguh dengan sumpahnya. Beberapa sahabat datang untuk membujuknya membatalkan sumpahnya tetapi tidak berhasil juga.
Akhirnya ia meminta bantuan Hasan dan Husain, dua cucu kesayangan Rasulullah SAW. Dengan suatu siasat Ibnu Zubair berhasil menemui Aisyah, Hasan dan Husain mengingatkanmya berulang-ulang akan larangan Nabi SAW memutuskan silaturahmi, sehingga akhirnya Aisyah luluh juga. Ia membebaskan dua orang budaknya sebagai kafarat membatalkan sumpahnya. Aisyah seringkali menangis jika mengingat masalah ini. Pertama karena ketergesaannya dalam bersumpah, sehingga membawa dampak yang luas bagi orang-orang di sekitarnya, dan kedua karena ia harus melanggar dan membatalkan sumpah yang diucapkannya sendiri. Begitu menyesalnya, sehingga air matanya mengalir deras membasahi kain yang dipakainya.
Aisyah adalah seorang yang sangat cerdas,masa kanak-kanak dan remajanya bisa dikatakan dihabiskan bersama Rasulullah.Namun demikian ia mampu menghafal begitu banyak Hadits, juga Al Qur’an, padahal saat itu belum populer alat tulis dan buku catatan sebagai sarana penyimpan informasi.
Ummul Mukminin Hafshah Binti Umar RA
Hafshah binti Umar bin Khaththab RA, sebelumnya adalah istri Khunais bin Khudzafah, seorang sahabat yang memeluk Islam pada masa awal. Mereka menikah ketika masih di Makkah, sempat hijrah ke Habasyah, dan langsung berhijrah ke Madinah, ketika Nabi SAW dan para sahabat lainnya hijrah ke sana. Khunais meninggal akibat luka parah yang diperolehnya ketika perang Badar (riwayat lain menyebutkan perang Uhud).
Hafshah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, dan wafat di Madinah pada Jumadil Ula tahun 45 hijriah dalam usia 63 tahun (Riwayat lain menyebutkan, tahun 41 hijriah dalam usia 60 tahun). Khunais meninggal pada tahun 2 atau 3 Hijriah, beberapa bulan kemudian Nabi SAW menikahi Hafshah, ketika itu ia berusia sekitar 21 tahun. Ketika Hafshah menjadi janda, Umar bin Khaththab menjadi sedih dengan keadaan anaknya tersebut, karena itu ia menemui Abu Bakar dan memintanya untuk menikahi Hafshah, tetapi Abu Bakar hanya diam tanpa berkata apapun.
Melihat reaksi ini, Umar menemui Utsman bin Affan, yang saat itu baru saja ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah RA, putri Rasulullah SAW. Ia meminta Utsman menikahi Hafshah, tetapi Utsman berkata, “Saat ini, aku belum ada keinginan untuk menikah lagi!”
Mendengar penolakan dari dua orang sahabatnya, yang juga dua orang muslim terbaik, kesedihan Umar menjadi bertambah, karena itu ia mengadukan persoalan ini pada Rasulullah SAW. Mendengar keluh kesah dan kegundahan hati Umar ini, Nabi SAW hanya tersenyum, kemudian beliau bersabda: “Akan aku tunjukkan padamu, suami bagi Hafshah yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman, dan bagi Utsman ada istri yang lebih baik daripada Hafshah…”
Umar sempat bingung dan tidak mengerti dengan ungkapan Nabi SAW. Tetapi kemudian menjadi kegembiraan tak terkira ketika beliau mengatakan akan menikahi Hafshah, dan menikahkan Utsman dengan putri beliau lainnya, Ummu Kultsum.
Setelah pernikahan Nabi SAW dengan Hafshah tersebut, Abu Bakar menemui Umar dan meminta maaf atas sikapnya tersebut, ia menjelaskan kalau Nabi SAW menyatakan kepadanya, berniat menikahi Hafshah. Karena itu tidak mungkin ia menerima permintaan Umar untuk menikahi anaknya tersebut, tetapi ia tidak ingin mengatakan rahasia Rasulullah SAW. Atas penjelasan ini Umar berkata, “Sesungguhnya diamnya Abu Bakar, lebih mengejutkan dan menyedihkan daripada penolakan Utsman!”
Hafshah adalah seorang wanita ahli ibadah yang sangat wara’. Namun demikian, seperti halnya Aisyah, ia juga seorang istri dengan kecintaan yang begitu besar kepada Nabi SAW, sekaligus rasa cemburu yang besar kepada istri beliau lainnya. Atas kecemburuan putrinya yang berlebihan ini, Umar pernah menasehatinya, “Hai Hafshah, insyaflah, apa arti dirimu dibanding Aisyah, apalah arti bapakmu ini dibanding Abu Bakar!!”
Pernah juga ia membantah Nabi SAW, sehingga beliau sempat marah selama satu hari. Ketika Umar mendengar hal ini dari istrinya, Umar begitu murka, ia mendatangi Hafshah dan berkata, “Ingatlah wahai Hafshah, akan akibat kemurkaan Allah dan kemarahan RasulNya, jangan engkau merasa iri dengan wanita yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan Rasulullah SAW kepadanya. Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah tidak mencintaimu, kalau tidak karena aku, tentu engkau telah dicerai!!”
Nasehat dan juga kemarahan ayahnya ini ternyata belum cukup untuk mengurangi sikap cemburunya hingga batas wajar, sampai akhirnya Allah menurunkan teguranNya: Sebagaimana tercantum dalam surah Tahrim 3-5. Apa yang dilakukannya bersama Aisyah RA, sempat menyebabkan terganggunya ketentraman rumah tangga Rasulullah SAW. Beliau sempat mengasingkan diri bersama pembantunya, Abu Rafi RA, menjauhi semua istri-istrinya.
Bahkan sempat berkembang isyu bahwa beliau menceraikan semua istrinya. Sekali lagi Umar memperoleh kabar bahwa penyebab semua ini adalah Hafshah. Dengan luapan marah, bercampur sedih dan malu, Umar mendatangi putrinya tersebut dan berkata: “Barangkali Rasulullah telah menceraikanmu… jika beliau merujukmu, setelah menjatuhkan talak satu, itu hanya karena beliau mengasihani diriku. Jika beliau sampai mentalakmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya!”
Memang, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW menceraikan Hafshah setelah peristiwa itu, hanya kemudian datang Jibril membawa perintah Allah agar beliau merujuk Hafshah, untuk menghilangkan kesedihan Umar. Umar menjumpai Nabi SAW di tempat penyendirian beliau bersama Abu Rafi, ia sempat menangis melihat keadaan Nabi SAW yang begitu menyedihkan, dan meminta maaf atas sikap putrinya. Beliau hanya tersenyum, dan menyatakan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, tetapi hanya menjauhi mereka selama satu bulan. Setelah peristiwa ini, dan teguran keras Allah lewat Surat At Tahrim 3 – 5, barulah Hafshah menyadari bahaya yang ditimbulkan dengan sikap cemburunya, dan ia tak pernah lagi mengulanginya.
Ummul Mukminin, Zainab Binti Khuzaimah RA. Zainab binti Khuzaimah berasal dari Bani Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah. Bersambung, InsyaAllah. Sallu ala Nabi.
Oleh : Sayid Machmoed BSA (sumber tulisan dari utasan @sayidmachmoed)
Editor : Ali Ramadhan
https://www.laduni.id/post/read/72655/sirah-khulafa-ar-rasyidin-bagian-kedua.html