Kanjeng Nabi Muhammad dalam Ritual Selametan Orang Jawa

Bukan sebatas penyelenggaraan acara maulidan setiap tahun, penghormatan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW oleh orang-orang Jawa adalah satu kesatuan dalam tradisi yang telah membudaya. Dalam konsep tata kota Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat peradaban Jawa misalnya, alun-alun utaranya ditanami pohon beringin sejumlah 63 yang mengingatkan pada usia Nabi Muhammad SAW saat wafat.

Selain itu, orang-orang Jawa dalam menyanjung Nabi Muhammad SAW selalu menggunakan diksi-diksi metafora yang tak kalah dahsyat dengan “anta syamsun anta badrun”-nya Maulid Al Barzanjie. Betapa tidak, orang Jawa menyebut “mustakaning bawana sekaring jagad” yang begitu syahdu, bila terus disambung dengan “Kanjeng Nabi Agung Muhammad…”, sontak para khalayak ramai yang mendengarnya akan berucap “shallallahu ‘alaihi wasallam”.

Ungkapan “mustakaning bawana sekaring jagad” dapat dimaknai dengan “mahkotanya bumi, bunganya alam semesta”, meski rasa-rasanya maknanya tak sedalam ungkapan aslinya dalam bahasa Jawa. Pada akhirnya, penghormatan pada Kanjeng Nabi mendarah daging menjadi sugesti dan menjelma dalam alam bawah sadar orang Jawa.

Orang Jawa selalu punya banyak cara untuk bersedekah, berbagi dengan sesama dalam setiap hajat, momentum, atau bahkan menjadi wadzifah yang rutin ditunaikan. Dalam prosesi sedekah itu, akan digelar walimahan atau makan bersama dalam berbagai hajat: ulang tahun kelahiran (wetonan), tasyakuran, peringatan kematian, atau sekedar doa bersama untuk keselamatan keluarga dan tolak balak, sampai pada doa bersama atas kelahiran bayi (puputan). Itu untuk keperluan pribadi orang perorangan.

Belum lagi serangkaian adat istiadat yang temporal: peringatan isra’ mi’raj (rajaban), merti desa, peringatan maulid nabi (mauludan), bebersih makam leluhur sebelum Ramadhan (ruwahan), idul fitri (badanan), doa bersama di bulan Shafar (saparan), doa bersama menyambut lailatul qadar (selikuran), serta masih banyak lagi.

Kadangkala masih ada juga kegiatan kemasyarakatan yang diawali dengan walimahan, misalnya doa bersama sebelum pembangunan fasilitas publik (pembangunan jalan, gorong-gorong, dan lain sebagainya). Satu hal yang perlu dicatat, beragam kegiatan itu tak akan lepas dari apa yang disebut dengan selametan, karena setiap rangkaiannya pasti disertai dengan ikrar walimahan yang kemudian diakhiri dengan doa selamat.

Walimahan adalah seperangkat hidangan yang disiapkan secara khusus dengan beragam kelengkapannya (ubo rampe). Ubo rampe yang disiapkan tidaklah sama dalam setiap acara, melainkan selalu disesuaikan dengan simbol-simbol dan makna serta maksud dari tujuan masing-masing ubo rampe. Dalam setiap gelaran selametan, selalu ada ubo rampe yang disebut dengan ulam lembaran. Ulam lembaran merupakan ayam jantan yang dimasak lempah kuning, diikat, serta dihidangkan secara utuh, atau lebih populer disebut ayam ingkung.

Penyebutan ingkung berasal dari kata njekungkung, yang berarti posisi rukuk dan sujud saat shalat. Bila dicermati, ayam jantan yang dijadikan ingkung diikat dan diposisikan seolah-olah seperti orang yang rukuk. Pemaknaan ini merupakan salah satu dakwah kultural, bahwa sebagai muslim jangan sampai kita meninggalkan shalat.

Ternyata tidak semua ayam jantan boleh dihidangkan sebagai ingkung atau ulam lembaran tersebut, sebab ada persyaratan yang mutlak harus dipenuhi. Pertama, ayam jantan harus disiapkan sedari kecil dan diniatkan oleh pemiliknya bahwa ayam tersebut akan dijadikan ingkung. Kedua, ayam jantan tersebut harus senantiasa “dikarantina” di dalam kandang dan tidak diperbolehkan bebas berkeliaran. Pada usia remaja, ayam tersebut siap untuk dijadikan ingkung. Prosesi karantina ini tentu mengandung makna filosofis yang begitu dalam.

Penjagaan ayam jantan dengan proses “karantina” menunjukkan bahwa tak semua ayam jantan boleh dijadikan ingkung, harus ada proses panjang sehingga ayam menjadi yang terpilih. Pada akhirnya, di dalam ikrar walimahan, sesepuh akan mengikrarkan: “wontenipun ulam lembaran menika bebekti dhateng bendara kita mustakaning bawana sekaring jagad, Kanjeng Nabi Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, saha para kaluwarganipun sak tedhak turunipun sepriki, mugi-mugi lantaran menika kita saged kagolong ummatipun ingkang mbenjang pinaringan syafa’atipun”.

Maknanya bahwa “persembahan” ayam ingkung ini merupakan bentuk berbakti kepada junjungan kita mustakaning bawana sekaring jagad, Kanjeng Nabi Agung Muhammad SAW, beserta para keluarga dan keturunannya hingga saat ini, semoga dengan (ingkung) ini, kita dapat tergolong sebagai ummatnya yang kelak akan memperoleh syafa’atnya.

Lalu dikemanakan ingkung itu? Ditaruh di bawah pohon besar di tengah hutan kah? Atau dibuang ke laut? Atau dimasukkan ke dalam sumur keramat di tengah kampung? Tentu tidak. Ayam ingkung itu kemudian di-suwiri, untuk dikonsumsi bersama-sama, jika ada sisanya suwiran ayam itu akan dimasukkan ke dalam berkat yang nanti akan dibawa pulang oleh para hadirin. Ritual ini dilakukan terus menerus hingga kini yang merupakan bentuk penghormatan orang-orang Jawa kepada Nabi Muhammad SAW.

Jika masih ada yang menganggap ritual ini musyrik, tentu anggapan itu rak beralasan sama sekali. Bukankah kita diwajibkan bersholawat kepada Nabi Muhammad? Sholawat adalah untaian doa keselamatan bagi Nabi Muhammad, yang dengan doa itu semoga curahan keselamatan juga tersampaikan kepada kita yang memanjatkannya. Demikian halnya kita dapat menganalogikannya dengan ritual selametan ini. Bahwa shohibul hajat bersedekah untuk para hadirin yang sedekahnya diatasnamakan Kanjeng Nabi, yang dengan itu shohibul hajat berharap memperoleh keberkahan dari Allah dan syafa’at Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bukankah kita sangat dianjurkan untuk bersedekah dengan mengatasnamakan sedekah itu untuk kedua orang tua kita? Lalu betapa mulianya apabila kita bersedekah untuk punggawa-nya para nabi, yang tanpanya alam semesta ini tak akan diciptakan Gusti Allah?

Orang Jawa tak pernah sembarangan dalam merumuskan tradisi dan adat istiadat, sebab di dalamnya terkandung makna filosofis-sosiologis-religis yang dalam. Begitu halnya ritual selametan yang mempunyai aturan khusus dalam pemilihan ayam jantan untuk dijadikan ingkung. Penjagaan ayam jantan merupakan simbol bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terjaga dari dosa-dosa (ma’shum), dan untuk mempersembahkan sedekah yang diatasnamakan Beliau, harus dipilih pula ayam jantan yang terjaga.

Dengan begitu, orang Jawa diajarkan untuk selalu menjaga diri dari berbagai kemaksiatan dan perbuatan dosa. Ayam yang “dipersembahkan” kepada Nabi Muhammad saja, harus senantiasa dijaga dari tabiat ayam pada umumnya. Maka, kita kalau ingin diakui sebagai ummatnya sudah sepantasnya menjaga diri dari perbuatan dosa. Sedikit demi sedikit, sekuat tenaga, menjauhi larangan Gusti Allah dan Kanjeng Nabi.

Daftar Referensi

Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, “Alun-Alun Lor Yogyakarta”, diakses melalui https://pariwisata.jogjakota.go.id/detail/index/348 pada 21 September 2024.

Wawancara dengan Kyai Muchammad Ikhsanudin, Ketua Tanfidiyah Nahdlatul Ulama (NU) Ranting Desa Kaligono, Kaligesing, Purworejo, pada 25 Januari 2024.

Wawancara dengan Sumardi, Sesepuh Padhukuhan Jetis, Desa Kaligono, Kaligesing, Purworejo, pada 20 September 2024.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mti/kanjeng-nabi-muhammad-dalam-ritual-selametan-orang-jawa-b249860p/