Sejarah penerjemahan al-Qur’an di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam dua hal, yakni lisan dan tulisan. Penerjemahan lisan menjadi jenis tersendiri karena memang secara faktual Islamisasi Indonesia telah beriringan dengan proses penerjemahan lisan al-Qur’an itu sendiri. Demikian pula pada saat ini, dalam konteks dakwah maupun studi penerjemahan lisan juga telah biasa dilakukan. Sedangkan dalam konteks lain, para sarjana muslim membagi penerjamahan kedalam dua jenis yakni at-Tarjamah al-harfiyyah dan at-tarjamah al-ma’nawiyyah atau al-Tafsīriyah (Riddell 2009: 7).
Dengan demikian, salah satu problem teori penerjemahan al-Qur’an mengantarkan pada kesimpulan, bahwa tidak ada penerjemahan al-Qur’an yang murni terjemahan, yang ada hanyalah tafsir. Meski demikian, pada akhirnya masyarakat tetap menganggap bahwa produk ini tafsir, produk itu terjemahan. Menurut Ridell, melihat pertumbuhan adanya penerjemahan al-Qur’an di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan adanya perdebatan yang secara umum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya, seperti di Turki dan di Mesir.
Adanya usaha-usaha penerjemahan al-Qur’an setidaknya sudah dilakukan sejak tahun 1920 sampai 1970-an, yang mengakibatkan adanya lonjakan sejumlah produk-produk terjemahan yang banyak ditulis oleh para tokoh terkemuka. Pada periode ini, muncul sejumlah para tokoh penerjemah al-Qur’an seperti Ahmad Hasan (1887-1958), Mahmud Yunus (1899-1983), Zainuddin Hamidi (1907-1957), dan Hs. Fachruddin (lahir 1908), Bachtiar Surin (w. 1926), Hasbi Ash-Shiddiqy (1904-1975), Osman Bakar, dan HB. Jassin (1917-1969) (Faizin 2020: 5). Dalam pengelompokannya, al-Qur’an tidak hanya diterjemahkan secara individual melainkan juga diterjemhakan secara tim atau dibawah naungan lembaga pemerintahan yakni Departemen Agama yang secara bertahap berubah menjadi Kementrian Agama.
Dalam konteks perkembangan penerjemahan al-Qur’an di Indonesia muncul dan berkembang pada tahun 1909, ketika Mufti Batavia yaitu Sayyid Ustman (1882-1913) yang memberikan larangan penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa lokal atau bahasa Jawa. Dari salah satu karyanya yang cukup populer yaitu Hukm al-Rahman bi al-Nahy’an Tarjamti al-Qur’an banyak mendapat tanggapan dari beberapa kalangan sarjana muslim, yang kemudian disusul dengan karya kontroversi lainnya seperti The Holy Qur’an karya Muhammad Ali yang diterjemahkan oleh HOS. Tjokroaminoto yang tak lain merupakan (ketua Serikat Islam) dengan menerjemahkan kedalam bahasa Melayu tahun 1925-an (Nur Ichwan 2001: 147).
Dalam beberapa dekade, kemunculan karya kontroversi terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Munculnya sebuah karya dari HB. Jassin yang merupakan terjemahan al-Qur’an puitis juga tak luput dari perdebatan sejarah penerjemahan al-Qur’an di Indonesia (Faizah 2017). Dengan melihat perjalanan sejarah, nampaknya perkembangan penerjemahan al-Qur’an di Indonesia memiliki perjalanan yang rumit yang mengakibatkan adanya perdebatan panjang yang sampai hari ini perdebatan itu masih berlanjut.
Perkembangan Percetakan al-Qur’an
Melihat potret sejarah percetakan al-Qur’an, belum begitu diketahui kapan dan dimana al-Qur’an pertama kali dicetak. Dalam dunia islam sendiri, percetakan al-Qur’an mengalami ketertinggalan dan bahkan hingga awal abad ke-19 M, al-Qur’an masih tersebar dalam bentuk tulisan tangan. Di Indonesia sendiri, penyalinan al-Qur’an sudah terjadi sekitar akhir abad ke 13, ketika Pasai, sebuah daerah di ujung timur laut Sumatera menjadi kerajaan pesisir pertama yang memeluk agama Islam melalui pengislaman sang raja.
Meskipun demikian, literatur sejarah yang masuk hari ini mengatakan, bahwa mushaf tertua berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya ber-titimangsa Jumadil Awal 993 H (1585), dari koleksi Wiliam Marsden. Sedangkan mushaf tertua kedua tertanggal pada 7 Dzulqa’dah 1005 H (1597), yang ditulis oleh seorang ulama al-Faqih as-Shalih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni, di Ternate, Maluku Utara (Faizin 2012: 144).
Tradisi penyalinan al-Qur’an secara tradisional setidaknya berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Dengan beragam karya yang dihasilkan, kini warisan para leluhur itu menjadi bagian penting yang banyak tersimpan di berbagai Museum, Masjid, Perpustakaan maupun koleksi pribadi. Setelah berakhirnya tradisi tulis, kini kepulauan Melayu memulai percetakan al-Qur’an pada tahun 1916 ketika Belanda mulai menduduki wilayah Batavia (Rohimin 2016).
Menurut Faizin, pada masa ini percetakan al-Qur’an cenderung menggunakan percetakan litografik yang diperkenalkan oleh missionaris Inggris bernama Medhurst, dan pada tahun 1828, Medhurst mulai mencetak manuskrip-manuskrip Melayu, Arab, Jawa dan Cina. Madhrust bekerja sama dengan salah seorang ulama yaitu Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang juga belajar tentang percetakan kepadanya
Pada tahun 1860-an, percetakan al-Qur’an mengalami perkembangan dan beberapa pencetak muslim mendirikan toko percetakan litograf di Singapura. Lebih dari itu, adanya ketertarikan kalangan muslim dalam perkembangan percetakan al-Qur’an rupanya memberikan ruang baru hingga abad ke-19. Pada saat itu, singapura memang terkenal sebagai pusat percetakan umat Islam Asia Tenggara, yang kemudian seiring berjalannya waktu percetakan itu kini menjadi kendali umat Islam yang pada akhirnya pada abad ke 20 banyak naskah al-Qu’ran dicetak di Bombay ketimbang di Singapura (Faizin 2012: 146).
Menurut versi lain, percetakan al-Qur’an di Indonesia dimulai sejak tahun 1950 oleh penerbit Salim Nabhan dari Surabaya dan Afif dari Cirebon. Penerbit ini berdiri sejak tahun 1904 yang sebelumnya merupakan tempat pemasok buku-buku berbahasa Arab. Sedangkan dalam artikel lain, yang menarik dalam sejarah percetakan al-Qur’an dalam menyoroti karya Ali Akbar tertulis, bahwa generasi pertama percetakan al-Qur’an di Indonesia adalah Abdullah bin Afif dari Cirebon tahun 1930-an (Suparyanto dan Rosad 2015: 248-253).
Perkembangan berikutnya adalah, munculnya upaya pemeriksaan al-Qur’an cetak yang dimana hal ini dimaksudnya guna memastikan kebenaran dan tidak ada kesalahan dalam percetakan al-Qur’an. Pada tahun 1951, pimpinan Institut Agama Islam Negeri Jakarta atau sekarang dikenal UIN Jakarta, M. Adnan membentuk kelompok pentashih al-Qur’an. Kelompok ini dibentuk bertujuan guna memeriksa dan mentashih al-Qur’an cetak agar tidak terjadi kesalahan (Akbar 2015: 281) Dengan demikian adanya pembentukan tim pentashihan al-Qur’an ini sebagai bentuk perhatian para ulama dalam kehati-hatian dalam menjaga al-Qur’an. Berbagi bentuk perkembangan, percetakan al-Qur’an mampu menghadirkan sebuah paradigma baru dalam penyebaran nilai-nilai al-Qur’an dalam jumlah yang lebih banyak dan mudah dipahami.
Baca Juga
https://alif.id/read/sfr/penerjemahan-mushaf-al-quran-di-atas-panggung-sejarah-b249876p/