Laduni.ID, Jakarta – Dalam memahami Al-Qur’an, sangat penting untuk mempertimbangkan konteks di mana Al-Qur’an diturunkan dan konteks di mana ia akan diterapkan. Hal ini diperlukan agar penafsiran Al-Qur’an relevan dengan realitas sosial yang dihadapi. Tanpa mempertimbangkan konteks ini, sebuah penafsiran tidak akan memberikan dampak nyata terhadap perubahan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Farid Esack, seorang cendekiawan, pemikir Islam asal Afrika Selatan, penafsiran yang bersifat universal dan bebas nilai hanyalah sebuah kekeliruan. Penafsiran Al-Qur’an justru akan lebih efektif jika melibatkan nilai-nilai lokal tempat penafsir hidup.
Nabi Muhammad SAW sendiri merupakan contoh nyata bagaimana beliau memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks masyarakat Arab kala itu. Beliau sangat memahami tradisi, adat, dan budaya bangsa Arab di mana beliau hidup, sehingga ketika menerapkan ajaran Al-Qur’an, beliau mampu menjawab problem sosial yang ada di zamannya.
Hal ini mengajarkan bahwa penafsiran Al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan juga tidak bisa terlepas dari pertimbangan nilai-nilai, adat-istiadat, dan kultur bangsa Indonesia. Memahami Al-Qur’an tanpa melibatkan nilai-nilai lokal Indonesia akan menjauhkan kita dari cara Nabi SAW dalam mengamalkan Al-Qur’an, bahkan bisa dianggap sebagai pemaksaan makna yang tidak sesuai dengan realitas yang ada.
Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang dan kaya akan nilai-nilai budaya, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup. Oleh karena itu, bagi umat Islam Indonesia, bingkai Al-Qur’an juga tentu bisa digunakan untuk memahami konteks Pancasila yang mencakup lima sila yang menjadi inti pandangan hidup bangsa ini: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
https://www.laduni.id/post/read/526190/pemahaman-kontekstual-pancasila-dalam-bingkai-al-quran.html