Maulid Al-Diba’i dan Polemik Persoalan Habaib

Ketika awal mula membaca tulisan Nor Lutfi Fais dalam kanal ini, memancing nalar berpikir saya, untuk menulis persoalan serupa, namun dalam perspektif yang berbeda. Bila Nor Lutfi Fais, mengulas tentang dampak dari isu habaib terhadap pemilihan kitab maulid, saya justru ingin mempertanyakan hal lain.

Saya justru tergelitik dengan sikap sebagian masyarakat muslim Indonesia yang sangat mengagungkan (untuk tidak menyebut mengkultuskan) keturunan nabi yang kerap disebut dengan sebutan “habaib”. Sikap-sikap yang demikian, kemudian berdampak pada ketika isu-isu geneologis tentang salah satu garis keturunan para habaib ini bergulir, melahirkan polemik yang begitu panjang dan takberkesudahan.

Yang bila meminjam istilah dalam fiqih, persoalan ini seperti menjadi  “Attawaquf”, dibiarkan begitu saja sampai ada dalil atau bukti yang lebih jelas dikemudian hari. Dari mana asal usul sikap penghormatan masyarakat ini terhadap orang-orang yang disebut sebagai keturunan Nabi Muhammad ini? saya ingin mencoba mengaitkan hal itu dengan kitab Maulid Al-Diba’i.

Sudah bukan hal yang diragukan lagi bahwa Maulid Al-Diba’i adalah salah satu kitab maulid terkenal dalam masyarakat muslim Indonesia, terutama muslim tradisional. Kita dapat merujuk dalam bukunya Martin Van Bruneissen, yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (1995), yang menyebutkan bahwa kitab-kitab maulid paling terkenal dan banyak digunakan, selain Maulid Al-Barjanzi, adalah Maulid Al-Diba’i. terjemahannya banyak ditemukan dan dicetak dalam jumlah yang relatif banyak.

Persoalannya adalah apa kaiatannya Maulid Al-Diba’i ini dengan sikap masyarakat Indonesia yang menurut pengamatan Van Den Berg, penulis buku Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (1989), sejak dulu begitu mengkultuskan dan menghormati orang-orang Arab terutama yang disebut-sebut sebagai “syekh”, yang mempunyai hubungan geneologis yang bersambung dengan Nabi Muhammad, yang menurut catatan Van Den Berg, bila bertemu dengan orang-orang Arab, kala itu orang-orang pribumi terutama masyarakat kelas bawah, mereka akan memperlihatkan sikap hormat dan menciumi tangannya?

Bila kita mau sekilas mencermati terjemahan dari salah satu puisi yang terdapat dalam kitab Maulid Al-Diba’i kita dapat menemukan bahwa teks tersebut dengan jelas menanamkan kepada masyarakat untuk mencintai dan menghormati keturunan Nabi Muhammad sebagaimana fungsi sastra itu sendiri, sebagai upaya propaganda untuk menyebarkan ide dan pengaruh kepada pembaca yang diselipkan melalui keindahan bahasa sastra.

Maulid Al-Diba’i dengan tegas menyebutkan bahwa Ahlul Bait, keturunan “kanjeng nabi” adalah seseorang yang tidak hanya dipandang sebagai makhluk ‘suci’ tetapi juga mendapatkan tempat istimewa di dalam kehidupan ini yang keberadaannya seolah-olah menjadi lentera dalam kegelapan dunia sekaligus kompas yang mengarah kepada kebaikan dan keselamatan.

 أَهْلُ بَيْتِ الْمُصْطَفٰى الطُّهُرِ ۞ هُمْ أَمَـــانُ الْأَرْضِ فَاذَّكِرِ

Ingatlah, bahwa Ahli bait Nabi, adalah orang-orang yang pilihan lagi disucikan. Mereka itu adalah orang-orang yang memberikan rasa aman pada bumi.

شُبِّهُوْا بِالْأَنْـجُــمِ الزُّهُـــرِ ۞ مِـثْلَمَا قَدْجَآءَ فِي السُّــــنَنِ

Mereka itu bagaikan bintang  gemerlapan. Perumpaman ini sungguh berasal dari hadist nabi.

وَسَـفِـيْنٌ لِلـنَّـجَــــاةِ إِذَا ۞ خِفْتَ مِنْ طُوْفَــــانِ كُلِّ أَذٰى

Dan seakan-akan seperti bahtera penyelamat ketika engkau diterpa rasa ketakutan yang nampak seperti topan badai  dari segala bentuk duka

Begitu pula bila kita mencermati baris yang lainnya, penulis, Al-Diba’i  tak hanya menyerukan kepada muslimin (orang-orang muslim) untuk mencintai ahlul bait, tetapi juga menyebutkan secara eksplisit, nama–nama yang menurutnya sebagai ahlul bait, yang bersih dan suci. Yang dalam buku Ahmad Muthohar, Maulid Nabi Menggapai Keteladanan Rasulullullah SAW (2011), menyebutkan bahwa nama-nama ahlul bait yang disebutkan dalam Maulid Al-Diba’i yaitu  Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Al-Baqir, dan Ja’far Shadiq adalah para imam dari Syiah Ismailliyyah.

وَلَنَـــا خَـــيرُ الْأَنَـــامِ أَبُ ۞ وَعَلِيُّ الْـمُرْتَضٰى حَـسَبُ

Kami mempunyai ayah sebaik-baik makhluk. Dan Ia adalah keturunan Ali yang diridhai.

وَإِلَى السِّبْطَيْنِ نَـنْتَسِبُ ۞ نَـسَـبًا مَّا فِيْهِ مِنْ دَخَنِ

Kepada kedua cucunya kami berketurunan, Keturunan suci bersih dari kotoran.

كَمْ إِمَــامٍ بَـعْدَهٗ خَــــلَفُوْا ۞ مِنْهُ سَـــادَاتٌ بِذَا عُـرِفُوْا

Banyak Imam yang menggantikan sesudahnya, dengan gelar Sayyid mereka dikenal

وَبِهٰذَا الْوَصْفِ قَدْ وُصِفُوا ۞ مِنْ قَدِيْمِ الدَّهْـرِ وَالزَّمَـن

Dengan gelar itu benar-benar mereka disebut. Dari sepanjang tahun dan zaman.

مِثْـــلُ زَيْنِ الْعَــابِدِيْنَ عَلِيْ ۞ وَابْـنِهِ الْبَاقِــــرِ خَــيرِ وَلِيْ

 Walî Seperti Zainal Abidin yakni Ali, dan putranya Baqir itu sebaik-baiknya wali.

وَالْإِمَامِ الصَّادِقِ الْحَـفِلِ ۞ وَعَلِيِّ ذِي الْعُـــلَا الْيَـقِينِ

Dan Imam Ja’far Ash-Shadiq yang penuh keberkahan.

 Dan Ali yang mempunyai ketinggian dan keyakinan

Terlepas dari persoalan apakah benar Maulid Al-Diba’i  apakah dulu merupakan bagian dari teks propaganda kaum syiah atau tidak, kita mesti jujur bahwa Maulid Al-Diba’i memberikan sumbangsih yang besar dalam membentuk sikap-sikap masyarakat terhadap para habaib ini. Lebih-lebih dalam catatan Sholikin dalam bukunya Ritual dan Tradisi Islam Jawa (2002),  menyebutkan pendapatnya bahwa geneologi tumbuh kembangnya tradisi pembacaan teks-teks maulid di Indonesia, terutama Maulid Al-Diba’i ini yang memang berasal dari Yaman,  tidak bisa dilepaskan dengan orang-orang Yaman yang datang ke Indonesia. Yang nyatanya hingga sekarang keturunan  syekh-syekh  tersebut secara realitas empirik, adalah orang-orang yang dengan semangat mempertahankan tradisi pembacaan maulid dalam bentuk festival sholawatan.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/fmh/maulid-al-dibai-dan-polemik-persoalan-habaib-b249891p/