Jual Beli dengan Sistem Pembayaran COD dalam Kajian Fiqih

COD atau Cash on Delivery termasuk sistem pembayaran dalam transaksi jual beli online yang familiar digunakan saat ini di e-commerce. Sesuai dengan namanya, transaksi ini menerapkan model pembayaran tunai ketika barang telah diterima oleh pembeli.
 

Umumnya, COD diketahui sebagai jual beli yang pembayarannya terjadi saat barang telah sampai di tempat, tanpa mengizinkan pembeli untuk membuka paket sebelumnya. Tapi setelah membayar, si pembeli masih memiliki hak untuk mengembalikan barang jika tak sesuai foto atau deskripsi produk. Model ini dikenal dengan COD bayar di tempat.
 

Namun akhir-akhir ini, beberapa platform mulai menawarkan fitur COD Cek Dulu, untuk mengatasi berbagai masalah dari opsi pembayaran COD sebelumnya. Karakteristik COD Cek Dulu adalah metode pembayarannya yang dapat dilangsungkan setelah peminat melihat barang terlebih dahulu.
 

Jadi, sistem pembayaran COD terbagi dua, COD bayar di tempat dan COD Cek Dulu.
 

Lantas bagaimana hukum jual beli dengan dua metode COD ini. Apakah fiqih muamalah Islam terutama mazhab Syafi’i membolehkannya atau melarangnya? Jika terlarang, maka bagaimana solusinya
 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, hendaknya terlebih dahulu kita mengetahui bahwa hukum dasar jual beli adalah boleh dan halal sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 125. 
 

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
 

Artinya, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” 
 

Kendati demikian, apabila perdagangan melibatkan unsur-unsur yang diharamkan semisal ketidakpastian (gharar), spekulasi (maisir), riba, penipuan, atau produk jualan adalah komoditas yang dilarang untuk dijual maka hukum asal tadi beralih menjadi haram. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub Al-Misriyyah: 1964 M], jilid III, halaman 347).
 

Selanjutnya, hal yang penting untuk dipahami sebelum menentukan hukumnya, adalah mengetahui kapan akad jual beli berlangsung di dua macam COD tersebut, sebab dengan memahami letak akadnya secara tepat kita dapat menentukan hukumnya dengan benar. Kaidah menyebutkan :
 

الحكم على الشيء فرع عن تصوره
 

Artinya, “Penghukuman pada sesuatu adalah cabang dari penggambarannya.”

 

1. COD Bayar di Tempat

Sejatinya, letak akad jual beli dari COD model ini masih diselisihkan oleh para pengamat ekonomi Islam. Apakah akad jual belinya berlangsung tatkala online antara penjual dan pembeli, atau berlangsung antara kurir (sebagai wakil penjual) dan pembeli ketika barang telah tiba di alamat.
 

Beberapa tokoh memandang bahwa akad transaksinya terjadi saat online antara penjual dan pembeli melalui pesan, dan setelah itu barang diantarkan oleh kurir. Hal ini didukung dengan pasal 1458 dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
 

Disebutkan dalamnya bahwa jual beli dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang beserta harganya, meskipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayarkan. (Tim Redaksi BIP, 3 Kitab Undang-Undang KUH-per-KUHP-KUHAP Beserta Penjelasannya, [Jakarta, Bhuana Ilmu Populer: 2017 M], halaman 394).
 

Tentunya dalam Islam terkhusus mazhab Syafi’i, transaksi semacam ini adalah haram karena masuk dalam ranah jual beli utang dengan utang sebagaimana hadits Rasulullah saw: 
 

أن النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن  بيع الكالىء بالكالىء
 

Artinya, “Bahwa Rasulullah melarang jual beli utang dengan utang.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughul Maram, [Riyadh, Darul Qhabas lin Nasyr wat Tauzi’: 2014 M], halaman 323).
 

Pasalnya setelah melakukan akad, pembeli dan penjual berpisah tanpa ada serah terima barang dan harga. Serah terima barang dan harga baru terjadi ketika kurir telah sampai di alamat tujuan. Hal inilah yang membuat transaksi ini masuk dalam jual beli utang dengan utang yang terlarang.
 

Meskipun demikian, sesuatu yang perlu digarisbawahi, akad tersebut terealisasikan via pesan atau tulisan (kitabah). Sedangkan tulisan dalam akad menduduki posisi kinayah yang mengharuskan dua belah pihak berniat jual beli kala itu.
 

والكتابة لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر .فَلْيَقْبَلْ فَوْرًا عِنْدَ عِلْمِهِ (قَوْلُهُ: وَالْكِتَابَةُ إلَخْ) وَمِثْلُهَا خَبَرُ السِّلْكِ الْمُحْدَثِ فِي هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ فَالْعَقْدُ بِهِ كِنَايَةٌ فِيمَا يَظْهَرُ
 

Artinya, “Dan tulisan di atas sesuatu yang bukan benda cair atau yang bukan di atas angin adalah kinayah. Karenanya sah berakad dengannya namun harus disertai niat, meskipun untuk pelaku akad yang hadir di majelis akad. Karenanya, ia wajib qabul (menerima) sesegera mungkin ketika mengetahuinya.
 

Yang serupa dengan tulisan adalah kabar via kabel saat ini, akad dengan alat tersebut adalah kinayah menurut pendapat yang unggul. [Ibnu Hajar dan Az-Syirwani, Tuhfatul Muhtaj dan Hawasyis Syirwani, [Mesir, Al-Maktabah At-Tijariah Al-Kubra: 1983 M], jilid IV, halaman 221-222).
 

Dengan begitu, solusi yang dapat ditempuh bagi para pengguna fitur COD ini adalah hendaknya mereka tidak meniatkan akad saat berkomunikasi online dengan penjual, tapi hanya berniat janji akan membeli. Karena ketika salah satu dari dua pihak tidak berniat akad, maka gugurlah konsekuensi hukum dari akad tersebut.
 

Selain itu, sekalipun akad seperti ini terlarang karena berakibat pada jual beli utang dengan utang, namun seorang muslim yang menganut mazhab Syafi’i boleh taqlid pada pendapat ulama lain yang membolehkannya, seperti mazhab Maliki. Berikut paparan Syekh Muhammad As-Syatiri: 
 

والطرق التجارية اليوم، التي تتم بين التجار ومندوبي الشركات، هل هي سلم؟. تجد التاجر يتفق مع مندوب الشركات على توريد سلعة معينة يتفقان عليها إما بالوصف أو بمشاهدة عينة نموذج منها. لكن لا يتم قبض القيمة في المجلس فعلى مذهب الشافعي لا يصح هذا العقد. لكن هناك أقوالا في المذهب الأخرى تحملهم. ومنهم مالك يقول: يجوز أن يتأخر قبضه يومين وثلاثة وأكثرما لم يكن ذلك شرطا
 

Artinya, “Dan cara perdagangan yang terjadi hari ini antara pedagang dan wakil perusahaan, apakah termasuk akad salam?
 

Kalian akan menemukan seorang pedagang bersepakat dengan wakil perusahaan untuk mendatangkan komoditas tertentu yang disepakati oleh kedua pihak, baik diketahui melalui sifat-sifat barang atau dengan melihat contoh-contoh yang serupa dengan komoditas tersebut. Akan tetapi, tidak ada serah terima harga di majelis akad, maka menurut mazhab Syafi’i jual beli tersebut tidaklah sah. Namun ada beberapa pendapat yang membolehkannya. 
 

Di antaranya mazhab Imam Malik yang menyebutkan bahwa boleh harga barang telat dibayar hingga dua hari, tiga  atau lebih lama lagi, selama tidak menjadi syarat ketika akad terjadi.” (Syarhul Yaqutin Nafis, [Hadramaut, Darul Hawi lit Tiba’ah wan Nasyr wat Tauzi’: t.t], jilid II, halaman 35).
 

Seirama dengan itu, Imam Ar-Ruyani dalam Bahrul Mazhab menyebutkan pendapat Imam Malik namun hanya mencukupkan tiga hari sebagai batas maksimal:
 

وقال مالك: إن قبض رأس المال بعد الافتراق بزمان قريب إلى مدة ثلاثة أيام يجوز وإلا فلا يجوز
 

Artinya: “Dan berkata Imam Malik: “Jika serah terima harga terjadi setelah berpisahnya pembeli dan penjual namun dalam waktu yang ringkas yaitu 3 hari maka diperbolehkan, dan jika lebih maka tidak diperbolehkan.” (Bahrul Mazhab, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiah: 2009 M], jilid V, halaman 119).
 

Karena itu, selain solusi sebelumnya, pembeli juga bisa mengambil opsi yang satu ini, yaitu berniat taqlid pada pendapat Imam Malik yang membolehkannya, ketika bertransaksi COD.
 

Di samping itu, jual beli utang dengan utang tidak selamanya dilarang. Sebab dalam sebagian kasus semisal hawalah, yang notabene termasuk jual beli utang dengan utang, namun Islam membolehkannya. Alasannya adalah karena butuhnya manusia pada akad itu.
 

والأصح أنها بيع دين بدين جوز للحاجة
 

Artinya, “Dan pendapat Al-Ashah menyatakan bahwa akad hawalah tergolong jual beli utang dengan utang, namun dibolehkan karena kebutuhan manusia pada akad tersebut.” (Abu Bakar Syatha, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr lit Tiba’ah wan Nasyr wat Tauzi’: 1997 M], jilid III, halaman 89).
 

Maraknya penggunaan sistem pembayaran COD dalam jual beli online di era ini menunjukkan bahwa manusia amat butuh pada fitur seperti ini. Sehingga dengan alasan yang sama dengan hawalah, pembayaran COD mungkin menjadi boleh sekalipun ia adalah jual beli utang dengan utang. Demikian seperti disampaikan oleh KH Zahro Wardi, pemerhati fiqih kontemporer asal Trenggalek Jawa Timur.
 

Adapun pandangan kedua menyatakan bahwa akad jual beli terjadi ketika kurir (wakil penjual) bertemu langsung dengan pembeli, sedangkan proses saling bertukar pesan antara penjual dan pembeli hanyalah sekedar janji. 

Bertolak dari pandangan kedua ini maka fitur COD tak menjadi masalah karena tak ada unsur jual beli utang dengan utang, justru yang terjadi adalah jual beli pada umumnya, yakni jual beli kontan. 
 

2. COD Cek Dulu

COD model ini menawarkan pada konsumen untuk mengecek dan memeriksa barang yang diminati terlebih dahulu. Apabila barang tidak sesuai dengan foto atau deskripsi produk maka konsumen boleh menggugurkan niatnya untuk membeli.
 

Dengan potret seperti ini, ada dugaan kuat bahwa ijab-qabul berlangsung setelah kurir yang sebagai wakil penjual mengantarkan pesanan kepada konsumen. Ketika konsumen melihat, mengecek dan memeriksa barang terkait kesesuaiannya dengan foto atau deskripsi produk, kemudian ia membayar maka di sinilah transaksi jual beli terjadi.
 

Jual beli seperti ini disebut jual beli kontan (bai’un naqdi) yang tak ada larangan dalam fiqih Islam selama tak ada unsur keharaman seperti riba, spekulasi (maisir), ketidakpastian (gharar), dan lain sebagainya.
 

Dengan demikian, jual beli menggunakan fitur COD baik COD Cek Dulu atau COD Bayar di Tempat adalah boleh dan sah. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Muhamad Sunandar, Alumni Universitas Al-Ahgaff

https://islam.nu.or.id/syariah/jual-beli-dengan-sistem-pembayaran-cod-dalam-kajian-fiqih-QhqnD