Moderasi Beragama Sekolah Islam Sub-Urban: Harmoni Siswa di Yayasan Pendidikan Islam Al-Hidayah

Dalam banyak kajian budaya keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia, lensa analisis lebih banyak diarahkan untuk menyoroti wilayah perkotaan atau pedesaan. Sedangkan potret tentang masyarakat di wilayah pinggiran kota atau sub-urban masih relatif jarang dieksplorasi. Padahal, wilayah pinggiran ini cukup menarik karena bisa menunjukkan adanya proses transformasi budaya masyarakat desa menjadi budaya kota. Wilayah sub-urban menjadi area “di antara” yang mempertemukan kebudayaan desa dan perkotaan.

Salah satu wilayah sub-urban yang akan dilihat dalam tulisan ini adalah Rajeg, sebuah daerah pinggiran di Kabupaten Tangerang yang mengalami pertumbuhan rata-rata jumlah penduduk setiap tahunnya mencapai 10.000 orang dan menjadikan wilayah ini sebagai salah satu kecamatan terpadat di Tangerang. Seiring dengan penambahan jumlah penduduk yang relatif tinggi setiap tahunnya, komposisi sosiologis di daerah itu juga ikut berubah menjadi lebih beragam.

Sebagai gambaran, Penduduk Rajeg pada tahun 2023 sudah mencapai jumlah 188.209 jiwa, padahal lima tahun sebelumnya, penduduk Rajeg masih berjumlah 137.272 jiwa. Dalam lima tahun terjadi penambahan jumlah penduduk yang sangat signifikan karena peningkatan jumlah perumahan yang terus menjamur di wilayah ini.

Penambahan jumlah penduduk kemudian membuat identitas penduduk menjadi semakin beragam dari sisi latar belakang agama. Dalam data yang dimiliki oleh Pemerintahan Kabupaten Tangerang, pada tahun 2019, jumlah penduduk Rajeg yang beragama Kristen serjumlah 2.861, Katolik 821, Hindu 93, Budha 136, dan Konghucu 4 orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2023, dengan jumlah penduduk Kristen menjadi 4.542, Katolik 1.172, Hindu 100, Budha 239, dan Konghucu 7 orang.

Semakin beragamnya identitas keagamaan di wilayah ini, dengan sendirinya membuat ruang publik di wilayah ini juga diisi oleh orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Salah satu ruang publik yang menjadi tempat pertemuan itu adalah sekolah. Sekolah menjadi lokus pertemuan antara masyarakat lama dengan masyarakat baru dengan beragam identitasnya.

Sebuah fenomena cukup menarik terjadi di lingkungan sekolah Yayasan Pendidikan Islam Al-Hidayah (Yaspih), yang terletak di desa Tanjakan, Kecamatan Rajeg. Dalam lingkungan yayasan tersebut terdapat tiga sekolah yaitu SMP, SMA, dan SMK. Meskipun sebuah yayasan Islam, sekolah-sekolah di institusi pendidikan ini terbuka bagi setiap siswa dari beragam latar belakang.

Menurut Hendrik Susanto, kepala sekolah SMK Yaspih, terdapat beberapa siswa di SMK dengan latar belakang agama yang beragam. Ada siswa yang beragama Kristen, Katolik, dan Budha. Ia menjelaskan, “pada dasarnya sekolah kami terbuka untuk umum, meskipun berada di lingkup yayasan Islam, tapi format sekolah tidak secara spesifik menjadi sekolah agama seperti Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah atau sekolah Islam terpadu.”

Salah satu siswa beragama Katolik, Aloysius Chrisnanto, mengatakan bahwa ia merasa nyaman bersekolah di SMK Yaspih. Aloy, begitu siswa kelas 12 jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) biasa disapa, mengaku tidak pernah ada masalah atau gangguan berarti terkait identitas agamanya selama bersekolah di sekolahnya itu. “Toleransi ada, guru juga baik-baik,” ucapnya saat ditanya tentang kesannya selama belajar di lingkungan sekolah Yaspih. Kedua orang tua Aloy adalah perantau yang datang ke Tangerang sejak belasan tahun yang lalu, ia sendiri lahir di tanah rantau, bukan di kampung halaman orang tuanya.

Siswa lain yang beragama Kristen, Adit Saputra Sihotang, juga menyatakan kesan yang serupa. Adit yang kini duduk di kelas 11 SMK jurusan Teknik dan Bisnis Sepeda Motor (TBSM) bahkan telah bersekolah di Yaspih sejak jenjang SMP. “Awalnya sempat khawatir, tapi taunya ada juga teman seangkatan yang Kristen,” ujar Adit saat menceritakan perasaannya waktu awal bersekolah di jenjang SMP dulu. Menurutnya, selama bersekolah di lingkungan pendidikan Yaspih, ia selalu memiliki teman-teman dekat Muslim yang akrab dan sering bermain bersama.

Menurut kedua siswa di atas, mereka juga selalu hadir dalam setiap acara keagamaan yang diadakan di lingkungan sekolah. Baik yang diadakan rutin setiap pekan, maupun acara peringatan hari besar Islam. Mereka mengikutinya tanpa paksaan dan merasa tidak masalah untuk mengikuti program-program yang diadakan sekolah.

Yayasan pendidikan Yaspih memang memiliki kegiatan keagamaan rutin setiap pekan, yaitu yasinan yang dilanjut membaca tahlil dan do’a bersama pada Jum’at pagi. Pada hari-hari besar Islam, seperti maulid Nabi Muhammad Saw, Isra Mi’raj atau tahun baru hijriyah, yayasan pendidikan ini sering mengadakan acara khusus untuk memperingatinya. Termasuk melakukan kegiatan apel bersama saat peringatan hari santri setiap tahunnya. Saat memperingati hari santri, para siswa dan guru mengenakan pakaian warga pesantren seperti sarung, baju koko, dan peci untuk laki-laki dan gamis untuk perempuan.

Dari apa yang bisa dilihat dari potret interkasi siswa di lingkungan sekolah Yaspih, nampak bahwa perubahan sosial yang terjadi di wilayah sub-urban ini dapat berlangsung dengan cukup mulus. Para siswa dari beragam latar belakang agama dapat berbaur dan berteman dengan menjunjung rasa toleransi dan saling menghormati.

Tingkat toleransi yang cukup tinggi di antara para siswa ini serupa dengan gambaran toleransi di wilayah urban yang lebih kosmopolit. Seperti dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Setara Institute pada 2015 lalu terhadap persepsi toleransi siswa di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Dalam survei tersebut didapati bahwa 75% siswa di kedua wilayah urban tersebut memiliki pandangan yang toleran terhadap perbedaan identitas di antara siswa. Sebagian besar siswa itu menerima perbedaan dengan memaknainya sebagai sebuah usaha menghindari konflik (pluralisme kewargaan).

Sikap guru yang toleran di lingkungan sekolah Yaspih juga menunjukkan adanya sebuah titik terang tentang gambaran pendidik di wilayah sub-urban, terutama jika dibandingkan dengan potret persepsi toleransi guru secara nasional yang cukup memprihatinkan. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada tahun 2018 tentang pandangan dan sikap guru di Indonesia, terdapat 50,87% guru memiliki opini yang intoleran dan 6,30% sangat intoleran. Sebanyak 33,21% guru memiliki intensi untuk melakukan aksi intoleran dan 4,56% sangat intoleran.

Toleransi Intra Umat

Secara kultural, lingkungan masyarakat lembaga pendidikan ini berada di tengah masyarakat Islam tradisional. Di sekelilingnya banyak terdapat pesantren tradisional yang sudah berdiri sejak lama. Sebagian siswa yang bersekolah di Yaspih juga bermukim di pesantren yang ada di sekitar sekolah. Tidak jauh dari kompleks sekolah, ada pula makam seorang ulama yang dihormati oleh masyarakat sekitar. Makam K. H. Mohamad Dahlan, seorang kyai yang silsilah keilmuannya dapat ditarik sampai Syekh Abdul Karim Banten, murid dari Syekh Ahmad Khatib Sambas. Setiap Jum’at pagi, kompleks maqbarah itu ramai diziarahi oleh santri-santri pesantren tradisional yang ada di sekitar desa Tanjakan.

Kentalnya nuansa corak Islam tradisional juga terlihat dari kebiasaan siswa laki-laki yang banyak mengenakan peci saat belajar, meskipun tidak disarankan oleh pihak sekolah. Namun, di sekolah ini terlihat juga beberapa siswa yang mengenakan cadar saat bersekolah. Pemandangan sekilas itu setidaknya menunjukkan bahwa ada beberapa corak Islam yang hidup di lingkungan sekolah ini. Hal ini setidaknya menandakan bahwa terjadi pula toleransi intra umat Islam di lingkungan yayasan pendidikan ini.

Melihat potret toleransi intra umat Islam ini sendiri penting, karena dalam survei yang dilakukan oleh PPIM pada tahun 2017 lalu, siswa dan mahasiswa memiliki kecenderungan intoleran terhadap sesama Muslim dari kelompok berbeda dengan angka intoleransi sebesar 51,1%. Pada sisi lain, tingkat toleransi terhadap pemeluk agama lain lebih besar dengan angka 51,9% sementara toleransi terhadap sesama Muslim yang berbeda kelompok hanya sebesar 31,1% saja.

Menurut Dea Julaiha Najwa, salah seorang siswi kelas 12 SMA Yaspih yang mengenakan cadar, lingkungan sekolah tidak pernah mempermasalahkan penampilannya yang menggunakan cadar. Teman-teman dan guru tidak pernah memandangnya dengan stigma negatif. “Kalau guru, hanya ada yang bertanya, kenapa bercadar dan apakah keluarga juga bercadar,” tutur Dea. Menurut pengakuannya, keputusan bercadar itu datang dari dirinya sendiri, dan keluarganya tidak ada yang berpakaian serupa dengannya.

Dengan bercadar, Dea mengaku tetap aktif mengikuti setiap kegiatan sekolah, sempat ikut kegiatan ekstrakurikuler pencak silat dan Palang Merah Remaja (PMR). Hal ini berlainan dengan persepsi umum yang menganggap perempuan bercadar cenderung menutup diri. Bahkan Dea pernah menjadi ketua Rohis yang beranggotakan siswa dengan beragam latar bekalang keagamaan, sebagian besar anggota laki-laki merupakan santri yang belajar di pesantren tradisional.

Akomodasi terhadap kepemimpinan perempuan di organisasi Rohis ini terbilang cukup unik, karena biasanya Rohis dipimpin oleh seorang laki-laki. Mungkin, ini juga menjadi sebuah gambaran tentang nilai inklusif dalam hal pengakuan hak-hak perempuan di ruang publik yang hidup di lingkungan sekolah Yaspih.

Sebagai sebuah ruang publik, sekolah menjadi salah satu lokus utama pluralisme kewargaan, karena menjadi tempat pertemuan beragam individu dan kelompok yang berbeda. Dalam ruang publik di sekolah, wacana keislaman saling berkontestasi untuk saling memengaruhi. Sebuah riset yang dilakukan oleh Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) pada 2011 lalu terhadap beberapa sekolah di Yogyakarta, menunjukkan adanya usaha dominasi wacana yang dilakukan oleh Rohis untuk menjadikan sekolah lebih Islamis. Usaha tersebut kemudian mendapat tantangan dari siswa dan siswi lainnya dengan bentuk ekspresi Islam yang berbeda-beda.

Namun hal yang berbeda terjadi di lingkungan sekolah Yaspih, Rohis di sekolah ini nampak tidak menunjukkan intensi untuk mendominasi wacana keagamaan yang ada di lingkungan sekolah. Mereka lebih banyak memfokuskan kegiatan untuk peningkatan mutu kesalehan anggota sendiri. Keterlibatan Rohis di ruang publik sekolah ini cukup menonjol hanya saat acara peringatan hari besar Islam, karena mereka sering diminta untuk mengisi acara.

Dari apa yang terpotret pada kehidupan publik para siswa di lingkungan pendidikan Islam Yaspih Rajeg, setidaknya ada sebuah gambaran kecil tentang bagaimana sebuah praktik keagamaan yang moderat bisa tumbuh secara organik di wilayah sub-urban. Keterbukaan dan keleluasaan yang diberikan oleh pihak sekolah terhadap ekspresi keagamaan siswanya dapat menumbuhkan sikap saling menghormati terhadap ragam identitas yang berbeda. Pada sisi lain, karakter utama masyarakat Muslim tradisional yang menjadi akar budaya penduduk lokal tetap bertahan, berdampingan dengan ekspresi keagamaan lain yang datang bersamaan dengan proses transformasi Rajeg yang menjadi semakin terasa urban.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/gfj/moderasi-beragama-sekolah-islam-sub-urban-harmoni-siswa-di-yayasan-pendidikan-islam-al-hidayah-b249941p/