Laduni.ID, Jakarta – Pada masa lampau, khususnya di abad pertengahan, ketika dinasti-dinasti Islam Berjaya di berbagai pusat peradaban seperti Baghdad, Damaskus (Suriah), Andalusia (Spanyol), dan Turki, kaum Muslimin menjalin kerja sama yang erat dalam pertukaran ilmu pengetahuan dan budaya dengan berbagai “Liyan”, terrutama Yunani, Persia, India, dan China.
Yang kami maksud sebagai “liyan” ini merujuk kepada individu atau kelompok yang dianggap sebagai the other atau orang lain, dalam pengertian sosial atau kultural. Secara umum “liyan” mengacu kepada orang-orang yang berbeda dari kelompok mayoritas atau yang dianggap “luar” dari identitas budaya, agama, atau kebangsaan yang dominan.
Lebih jelasnya “liyan” merupakan seorang atau para sarjana dan cendikiawan dari latar belakang budaya, agama, atau kebangsaan yang berbeda dengan kaum Muslim pada masa dinasti-dinasti Islam.
Para “liyan” ini, meskipun berasal dari kelompok yang berbeda (Yunani, Persia, India, dan China, atau agama lain seperti Nasrani, Majusi, Nestorian), diterima dan dihormati karena kontribusi intelektual mereka.
Mereka diundang oleh para khalifah untuk menerjemahkan karya-karya ilmiyah asing, dan tidak hanya berperan sebagai penerjemah, tetapi juga menjadi penasihat, dokter, kepala lembaga dan lain-lain.
Artinya adalah, meskipun mereka “orang asing” dari segi identitas, mereka memiliki kontribusi penting dalam masyarakat dan pemerintahan karena keahlian mereka.