Laduni.ID, Jakarta – Pertempuran berkecamuk di Surabaya dan dengan cepat menyebar hingga ke wilayah-wilayah sekitarnya. Jombang, salah satu titik strategis dalam peta pertempuran, kini berada dalam lingkaran bahaya. Penduduk mulai meninggalkan kota, mencari tempat yang lebih aman. Keadaan begitu genting, Jombang terlalu beresiko untuk ditinggali.
Di tengah ketegangan yang melanda, para petinggi Laskar Hisbullah dan tentara rakyat berkumpul untuk menemui ulama besar, KH. Hasyim Asy’ari, di pondok pesantrennya Tebuireng.
Di antara mereka ada Bung Tomo, sang orator perlawanan yang membakar semangat rakyat, dan Gus Yusuf Hasyim, putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi Laskar Hisbullah. Para perwira datang bukan hanya untuk meminta saran, tetapi juga untuk membujuk KH. Hasyim Asy’ari agar ikut mengungsi, karena Tebuireng dianggap terlalu rawan untuk ditinggali.
“Kami tidak punya cukup kekuatan untuk mempertahankan Tebuireng, kyai” Kata Bung Tomo, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Namun, KH. Hasyim Asy’ari tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku akan bertahan di sini. Ini adalah tanahku, rumahku. Aku tidak akan pergi.”
Para perwira lascar saling berpandangan, diliputi dengan perasaan bingung dan cemas. Satu di antara mereka, dengan nada semakin mendesak, bertanya penuh sopan kepada sang kyai,
“Tapi, bagaimana jika pertahanan kami jebol dan sekutu menyerang sampai ke sini?”
https://www.laduni.id/post/read/66219/tahun-1945-m-kh-hasyim-asyari-dan-sebuah-senapan.html