Munajat Indah Habibah al-Adawiyah, Wali Perempuan dari Bashrah
Nama wanita mulia ini terekam dalam banyak kitab. Namanya bisa ditemukan di Thabaqtush Shufiyyah karya Abu Abdurrahman as-Sulami (w. 412 H), Shifatush Shafwah karya Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), Tanbihul Mughtarin karya Abdul Wahhab asy-Sya’rani (w. 973 H), Ithafus Sadatil Muttaqin karya Murtadlo az-Zabidi (w. 1205 H), dan kitab-kitab lainnya.
Sayangnya, dalam kitab-kitab yang disebutkan, tidak ada informasi mengenai kehidupannya. Kapan ia lahir dan kapan ia wafat tidak diketahui. Namun, jika merujuk pada kitab-kitab tersebut, terutama kitab Thabaqatush Shufiyyah karya Abu Abdurrahman as-Sulami an-Naisaburi, masa hidup Habibah al-Adawiyyah bisa dipastikan sebelum abad ke-4 Hijriyah, atau awal abad ke-4 Hijriyah. Karena Abu Abdurrahman as-Sulami lahir pada tahun 325 Hijriyah. Itu artinya, Habibah al-Adawiyah termasuk generasi awal Islam (salafus shalih).
Menurut Abu Abdurrahman as-Sulami, Habibah al-Adawiyah merupakan salah satu wanita arif besar dari Basrah (min kibaril ‘arifat) yang gemar bermunajat sepanjang malam. Bercengkrama dengan Tuhan melalui bahasa yang indah dan menawan.
Dalam Thabaqatush Shufiyyah, Imam Abu Abdurrahman as-Sulami mencatat munajat Habibah al-Adawiyah. Setiap kali ia shalat di sepertiga malam yang awal (al-‘atamah), ia berdiri mengencangkan pakaian dan kerudungnya. Ia shalat dalam waktu yang sangat lama. Setelah selesai, ia berujar:
إِلَهِي غَارَتِ النُّجُوْمُ، وَنَامَتِ الْعُيُوْنُ وَغَلَقَتِ الْمُلُوْكُ أَبْوَابَهَا، وَبَابُكَ مَفْتُوْحٌ، وَخَلَا كُلّ حَبِيْبٍ بِحَبِيْبِهِ، وَهَذَا مَقَامِي بَيْنَ يَدَيْكَ.
Artinya: “Tuhanku, bintang gemintang telah memudar. Mata-mata telah terlelap. Para raja telah menutup pintu istananya. Sedangkan pintu-Mu tetap terbuka. Setiap kekasih menyendiri bersama kekasihnya. Dan di sinilah aku, berdiri di hadapan-Mu.” (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003, hal. 414)
Untaian kata munajat yang indah tersebut mengandung makna yang mendalam jika diuraikan satu persatu. Dalam munajat ini, Habibah al-Adawiyyah mengatakan: “Tuhanku, bintang gemintang telah memudar. Mata-mata telah terlelap (tidur)”. Hal tersebut menunjukkan waktu malam yang telah menua, atau memasuki sepertiga malam, menjadikannya waktu yang sangat baik untuk memulai munajat dan doa.
Dalam sebuah hadits dikatakan:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Artinya: “Tuhan kita setiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga malam dan berkata: “Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya, dan siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka akun akan mengampuninya.” (H.R. Imam al-Bukhari)
Kemudian Habibah al-Adawiyah mengatakan: “Para raja telah menutup pintu istananya.” Kalimat tersebut menggambarkan bahwa para penguasa dan pejabat yang dianggap kuat oleh manusia menarik diri dari peran publik dan beristirahat. Hal ini menunjukkan setinggi apapun kekuasaan mereka, mereka adalah manusia biasa yang tidak bisa selalu ada untuk rakyatnya. Karena manusia memiliki keterbatasannya sendiri.
Pada kalimat berikutnya, Habibah al-Adawiyah berujar: “Sedangkan pintu-Mu tetap terbuka.” Hal ini menunjukkan bahwa Allah selalu ada untuk hamba-Nya. Pintu rahmat dan ampunan-Nya selalu terbuka lebar.
Kebanyakan manusia tidak sadar bahwa pintu Allah selalu terbuka, tidak seperti pintu para raja, pejabat, dan manusia pada umumnya. Pintu Allah tidak pernah tertutup sesaat pun. Siapapun bisa memasukinya tanpa perlu mengetuk. Yang diperlukan hanya kemauan dan hati yang bersih.
Dalam pandangan Habibah al-Adawiyah pintu Allah selalu terbuka. Tidak pandang waktu dan orang. Siapapun dia dan kapanpun waktunya. Pintu Allah selalu terbuka, baik untuk orang yang berlumur dosa, maupun orang yang penuh pahala. Karena ampunan-Nya tidak berbatas (Q.S. An-Nashr: 3): “innahu kâna tawwâba” (sesungguhnya Allah maha penerima tobat), dan rahmat-Nya tidak berbilang (Q.S. Al-A’raf: 156): “wa rahmatî wasi’at kulla syai’” (dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu).
Berikutnya Habibah al-Adawiyah berucap: “Setiap kekasih menyendiri bersama kekasihnya. Dan di sinilah aku, berdiri di hadapan-Mu.” Habibah al-Adawiyah menampilkan kehambaannya yang penuh cinta dan kepasrahan di hadapan Tuhannya. Ia menunjukkan ketergantungan total pada cinta, rahmat dan ridha Tuhannya.
Di saat waktu sahur hampir tiba, Habibah al-Adawiyah melanjutkan munajatnya dengan berucap:
اللَّهُمَّ وَهَذَا اللَّيْلُ قَدْ أَدْبَرَ، وَهَذَا النَّهَارُ قَدْ أَسْفَرَ، فَلَيْتَ شِعْرِي هَلْ قَبِلْتَ مِنِّي لَيْلَتِي فَأَهْنَى أَمْ رَدَدْتَهَا عَلَيَّ فَأَعْزَى، فَوَعِزَّتِكَ لِهَذَا دَأْبِي وَدَأْبُكَ أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِي، وَعِزَّتِكَ لَوِ انْتَهَرْتَنِي مَا بَرِحْتُ مِنْ بَابِكَ وَلَا وَقَعَ فِي قَلْبِي غَيْرُ جُودِكَ وَكَرَمِكَ.
Artinya: “Ya Allah, malam telah menyempit dan siang telah mengintip. Sungguh aku ingin tahu, apakah Kau menerima malamku sehingga aku berbahagia, ataukah Kau menolaknya sehingga aku berduka? Demi keagungan-Mu, beginilah kebiasaanku selama Kau masih menghidupkanku. Demi keagungan-Mu, bahkan jika Kau memarahiku, aku tak akan pergi meninggalkan pintu-Mu. Tidak terlintas sedikit pun di hatiku selain kebaikan dan kemurahan-Mu.” (as-Sulami, hal. 414)
Dengan indah Habibah al-Adawiyah mengatakan: “Ya Allah, malam telah menyempit dan siang telah mengintip. Sungguh aku ingin tahu, apakah Kau menerima malamku sehingga aku berbahagia, ataukah Kau menolaknya sehingga aku berduka?”
Di dalamnya terkandung dua perasaan mulia, yaitu raja’ (pengharapan) dan khauf (rasa takut). Keduanya merupakan perasaan yang harus ada di hati seorang hamba. Dua perasaan itu memberikan output yang berbeda. Raja’ (pengharapan) bersifat optimistik bahwa Allah dengan rahmat dan ampunan-Nya yang sangat luas, pasti akan mengampuni dosa-dosanya, menerima amalnya dan melepaskannya dari segala kesulitan.
Khauf (rasa takut) bersifat preventif atau pencegahan. Dengan rasa takut kepada Allah seorang hamba akan berusaha menjauhi dosa dan menjalankan perintah-perintah-Nya. Khauf juga menyeimbangkan jiwa agar tidak menyepelekan kemaha-ampunan dan rahmat Allah yang luas sehingga dia gampang melakukan dosa.
Dengan mengatakan, “apa Kau menerima?” dan “apa Kau menolak?” merupakan bentuk dua perasaan tersebut. Pengharapan sekaligus rasa takut yang membaur menjadi satu dalam diri Habibah al-Adawiyah.
Pada kalimat berikutnya, Habibah al-Adawiyah berkata: “Demi keagungan-Mu, beginilah kebiasaanku selama Kau masih menghidupkanku. Demi keagungan-Mu, bahkan jika Kau memarahiku, aku tak akan pergi meninggalkan pintu-Mu. Tidak terlintas sedikit pun di hatiku selain kebaikan dan kemurahan-Mu.”
Dalam kalimat tersebut Habibah al-Adawiyah menunjukkan komitmen yang kokoh, bahwa selama Allah membiarkannya hidup, ia akan melakukan hal ini secara terus-menerus, karena ini adalah kebiasaannya. Komitmen semacam ini merupakan bentuk keteguhan hati dan keberanian luar biasa. Bagi seseorang yang belum teguh hatinya, ia akan takut berkomitmen seperti ini.
Di sisi lain, Habibah al-Adawiyah mempersembahkan keyakinan penuh kepada Allah. Ia tidak ragu sedikit pun kepada kasih sayang Allah. Andaikan Allah memarahinya dan mengusirnya dari pintu-Nya, ia tidak akan pergi. Dalam hatinya dipenuhi keyakinan atas kebaikan dan kasih sayang Allah.
Hal ini jika disederhanakan, seperti seorang anak yang bertanya pada Ibunya: “Apakah Ibu menyayangiku?” Lalu sang Ibu menjawab, “Tidak”. Dan anak itu marah mendengar jawaban Ibunya. Kemudian sang Ibu berkata: “Apa kau tidak merasakan kasih sayangku selama ini? Dari menyediakanmu makan setiap hari? Mengantar jemputmu saat kau sekolah dulu? Mendampingimu saat kau sakit? Menangis penuh haru saat kau menikah? Hanya karena kata ‘tidak’ yang Ibu katakan, kau lupakan semua kasih sayang yang Ibu berikan selama ini. Padahal Ibu hanya ingin kau belajar menerima penolakan. Karena tidak semua orang akan berkata ‘iya’ kepadamu.”
Perumpamaan lainnya adalah doa. Bisa jadi kebahagiaan yang kita rasakan sekarang merupakan hasil dari doa kita di masa lalu. Hanya saja kita tidak mengingatnya. Kita hanya ingat saat doa kita tidak dikabulkan, padahal itu hanyalah persepsi. Bisa jadi kenikmatan yang kita dapatkan hari ini merupakan hasil doa kita dulu. Itulah pentingnya keluasan persepsi seperti yang dilakukan Habibah al-Adawiyah, yang berujar dengan indah: “Demi keagungan-Mu, bahkan jika Kau memarahiku, aku tak akan pergi meninggalkan pintu-Mu. Tidak terlintas sedikit pun di hatiku selain kebaikan dan kemurahan-Mu.”
Dengan kata lain, Habibah al-Adawiyah memandang Allah dengan persangkaan yang baik. Karena selama ini ia telah begitu banyak merasakan nikmat dan anugerah yang Allah berikan, sehingga ia yakin bahwa apapun yang dipandangnya buruk adalah ujian untuk mendewasakan dirinya. Karena sejatinya, kenikmatan dan anugerah yang ia terima jauh lebih banyak dari apapun. Wallahu a’lam bis shawab.
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.