Setiap tanggal 28 Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Hari Sumpah Pemuda tahun ini mengusung tema “Maju Bersama Indonesia Raya”. Tetapi, apa yang kita maknai dari tema tadi? Apakah makna Sumpah Pemuda sebagai momentum lahirnya watak nasionalisme di kalangan jong-jong waktu itu?; Sumpah Pemuda sebagai pelajaran gagalnya perjuangan pahlawan nasional yang wataknya etnosentris sehingga mengakui rasa satu bangsa?; Atau, makna peristiwa Sumpah Pemuda sebagai peletakan batu pertama atas bangunan bahasa Indonesia sebagai pemersatu untuk perjuangan?
Agenda Baru Menteri Baru
Pernyataan terakhir di atas, “harusnya” menjadi perhatian kita umumnya dan khususnya buat institusi penyelenggara pendidikan dasar dan menengah yang, diasuh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Alhamdulillah. Para guru dan murid bersyukur. Menteri urusan pendidikan di kabinet presiden kita yang baru, adalah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. Seorang tokoh yang sudah tidak kita ragukan lagi kepakarannya dalam urusan pendidikan—berbeda dengan menteri pendidikan sebelumnya.
Perihal bahasa dan Sumpah Pemuda, kita menyimak pernyataan Pak Mu’ti ketika memberikan sambutannya ketika Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2024 di Jakarta. “… Pernyataan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menegaskan kedaulatan budaya dan identitas bangsa yang majemuk. Bahasa menunjukkan bangsa. Pepatah itu mengandung pengertian. Bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan bahasa adalah identitas, jati diri bangsa, dan kepribadian kita. Keindonesiaan kita diukur dari komitmen dan kemahiran berbahasa. Dalam konteks Sumpah Pemuda, bahasa menjadi sarana perjuangan untuk meraih kemerdekaan.”
Cuilan pidato di atas begitu menarik. Pilihan kata dan kalimatnya tidak njlimet, mudah dipahami, dan sastrawi. Dari pidato itu, kita diajak untuk memaknai Sumpah Pemuda sebagai momen untuk mengakui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan meneruskan perjuangan sebagai bangsa di tengah deru globalisasi yang mengemas watak kebarat-baratan, tentunya akan mengikis bahasa Indonesia dan tentunya bahasa-bahasa lokal yang terbentang di pelbagai suku-bangsa.
Makanya, Pak Mu’ti menuntaskan pidatonya: “Dengan mengucap Bismillahirohmanirohim. Dan memohon rida Tuhan Yang Mahaesa. Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Bersama ini saya canangkan gerakan untuk banga, mahir, dan maju dengan bahasa Indonesia.”
Hakulyakin di Tengah Ancaman
Agenda Pak Mu’ti di atas, mestinya harus kita kumandangkan dan dilaksanakan seluruh lapisan masyarakat. Pasalnya, bahasa menjadi identitas kebudayaan masyarakat. Bahasa mencerminkan akhlak seseorang.
Kita ambil bahasa Jawa. Bahasa terbagi atas: kromo dan ngoko. Kromo dipakai ketika kita berbicara dengan orang yang lebih tua maupun terhormat. Kalau ngoko, digunakan untuk teman sebaya maupun orang yang lebih muda dari diri kita. Tetapi, pakem tadi sekarang sudah tidak berlaku. Anak-anak zaman sekarang sudah sama sekali berbeda.
Kita jamak menjumpai anak-anak sekolah yang tidak punya tata krama: tidak bisa kromo ketika bercakap dengan guru maupun orang tua; tidak menunduk ketika lewat di depan guru; dan memanggil orang yang lebih tua dengan panggilan yang setara dengan sebaya. Ini menandakan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas dan kebudayaan.
Terlebih, lagi, kita menjumpai watak keminggris. Keminggris muncul atas pembuktian diri kepada khalayak media sosial, bahwa ia menemukan kosa kata bahasa Inggris yang baru. “Mbok kamu itu yang exited kepada pacarmu”, “Aku insecure dengan status WhatsApp-nya yang suka main ke kafe”, dan masih banyak lagi kalimat yang keminggris.
Contoh di atas bersumber dari sesuatu yang trending di media sosial. Masyarakat hanyut dan terperangkap dalam bui algoritma yang sudah membius otak kita. Jika kita sudah terperangkap mungkin butuh waktu lama untuk bebas. Bebas dari gawai yang berjam-jam sehari mengurung kita.
Gejolak ini juga dialami Joko Priyono, seorang fisikawan dan budayawan bermukim di Pasar Kleco, Solo. Ia menulis esai Fenomena “Nginggris” dan Politik Bahasa Kita (Alif.ID, 18 September 2024). Mas Joko menyibak selubung lain atas fenomena keminggris ini. Ia tidak menghakimi masyarakat maupun Gen Z yang lebih memilih menggunakan istilah atau kata bahasa Inggris dalam beraktivitas.
Tetapi, watak keminggris disebabkan oleh kaum cerdik-cendekia di perguruan tinggi mengabsenkan penggunaan bahasa Indonesia yang terbukti dalam ranah publikasi ilmiah bertaraf internasional yang terpaku kepada bahasa Inggris. Selain itu, dalam esainya, Mas Joko menunjuk media pers yang malah keblinger dengan mencampuradukan kata atau istilah bahasa Inggris ke dalam sebuah kalimat berbahasa Indonesia.
Kita agaknya kecewa dengan perguruan tinggi dan media pers. Sebagai produsen pengetahun dan informasi terkini, seharusnya mereka lebih mempopulerkan bahasa Indonesia agar lebih dipahami masyarakat. Toh, mungkin di antara masih miskin kosa kata bahasa Indonesia. Lalu, apa tugas lembaga pengembangan bahasa? Juga, apa gunanya ada duta bahasa?
Begitulah. Hantaman ombak terus menerpa bahasa Indonesia dengan keras. Namun, kita harus tetap optimis dengan Sumpah Pemuda sebagai landasan pacu untuk belajar dan mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan perjuangan di tengah ancaman global. Kita harus hakul yakin dengan itu. Sebab, kalau kita sampai tidak hafal teks Sumpah Pemuda dan mandek mengeksplorasinya, kita hanya akan menjadi sampah pemuda. Wallahu a’lam.
Baca Juga
https://alif.id/read/fanam/sumpah-pemuda-bahasa-persatuan-dan-bahasa-perjuangan-b250028p/